NUSANTARANEWS.CO – Rezim boneka Washington kini berkuasa di Bolivia. Ribuan pengunjuk rasa pribumi yang sebagian besar adalah petani daun koka berunjuk rasa damai di Sacaba pada Jumat pagi. Tetapi kekerasan dimulai ketika banyak para pengunjuk rasa yang mencoba melintasi pos pemeriksaan militer di dekat kota Cochabamba, tempat para pendukung dan musuh Morales bentrok selama berminggu-minggu.
Lima pengunjuk rasa tewas dalam bentrokan berdarah dengan polisi setempat, lapor AFP. Surat kabar Pagina 7 menambahkan bahwa pada Jumat malam para korban meninggal karena luka tembak. Pihak berwenang tidak memberikan informasi tentang kematian dalam kerusuhan Cochabamba di luar kota Bolivia, mereka hanya menyatakan menahan lebih dari 100 pengunjuk rasa pribumi, tulis Pagina.
Seorang saksi mata, Emeterio Colque Sánchez, mahasiswa (23 tahun), melaporkan bahwa dia melihat mayat-mayat beberapa pemrotes ditembak mati. Morales, yang mengasingkan diri di Meksiko, mengatakan bahwa pembantaian telah terjadi dan dia menggambarkan pemerintahan hasil kudeta Bolivia sebagai sebuah kediktatoran.
Diberitakan oleh para saksi mata bahwa pasukan keamanan Bolivia menembaki pengunjuk rasa pribumi di kota Cochabamba yang melakukan protes terhadap rezim sayap kanan yang mengkudeta Presiden Evo Morales yang terpilih secara demokratis.
Guadalberto Lara, direktur Rumah Sakit Meksiko di kota Sacaba, mengatakan kepada The Associated Press bahwa sebagian besar orang yang tewas dan terluka menderita luka tembak. Saksi mata mengatakan polisi menembaki pemrotes yang menyerukan kembalinya Morales dari pengasingan di Meksiko.
Seperti yang dilaporkan Common Dreams, gerakan demonstrasi massa menentang pemerintah ilegal Presiden Jeanine Añez yang tidak terpilih melalui pemilu telah tersebar di seluruh negeri. Para pemrotes menuntut Añez mundur dan hak Morales sebagai presiden dipulihkan
Pada hari Jumat, warga ibukota Bolivia melihat penduduk kota El Alto berbaris panjang sampai La Paz menuntut pengunduran diri Presiden Jeanine Anez yang memproklamirkan dirinya sendiri, lapor media lokal. Para pengunjuk rasa juga memblokade jalur ditribusi utama bahan bakar dalam barisan panjang di sepanjang jalan El Alto hingga kota La Paz yang menyebabkan terputusnya pasokan bahan bakar ke ibukota.
Bolivia jatuh ke dalam krisis setelah pemilihan presiden yang kembali memenangkan Evo Morales secara demokratis pada 20 Oktober di gagalkan oleh kelompok oposisi yang mendapat dukungan Washington. Pihak oposisi menolak hasil pemilu dengan alasan ada kecurangan (tanpa bukti) dalam prosedur penghitungan suara. Kelompok oposisi yang di dukung Washington berupaya melakukan disinformasi dengan menggunakan media masa mainstream untuk membalikkan fakta sebenarnya.
Morales sangat dibenci karena berhasil menjungkirbalikkan politik di Bolivia yang telah lama diperintah oleh keturunan Eropa berkulit putih. Apalagi Morales berhasil mengatasi ketimpangan kaum pribumi yang telah begitu lama menderita berkat perbaikan ekonomi karena lonjakan harga komoditas yang sangat menguntungkan. Bukan itu saja, Morales bahkan membuat konstitusi baru yang menciptakan Kongres baru dengan kursi bagi kelompok-kelompok masyarakat adat Bolivia yang minoritas agar dapat berpartisipasi dalam pemerintahan.
Semua kebaikan dan keberhasilan Morales di Bolivia sangat dibenci oleh kaum elit keturunan kulit putih. Tidak mengherankan bila media masa mainstream afiliasi barat mengembar gemborkan bahwa Morales akan menghadapi tuntutan hukum bila kembali ke negaranya karena melakukan kecurangan pemilu (meski tidak ada buktinya).
Bahkan Presiden Jeanine Áñez yang mengkudeta Morales mengatakan pada hari Kamis bahwa Morales tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden mendatang.
Ya, kediktatoran mulai tumbuh di Bolivia. Keluarga para korban yang mengadakan nyala lilin di dekat tempat bentrokan meneriakkan: “Perang saudara, sekarang!” Seorang wanita yang menangis meletakkan tangannya di atas peti kayu yang dikelilingi oleh bunga-bunga dan bertanya: “Apakah ini yang Anda sebut demokrasi? Membunuh kita seperti tidak ada apa-apa? Ini bukan angka. Ini adalah kehidupan.” (Agus Setiawan)