NUSANTARANEWS.CO – Apa yang disampaikan peneliti Kanopi FEB Universitas Indonesia yakni Safira Majory dan Putra Prima Raka dalam tulisannya berjudul ‘Revolusi Industri Keempat: Memperbaiki atau Justru Menghancurkan?’ sangatlah menarik. Sebagaimana diketahui, revolusi industri keempat, tengah menggejala diberbagai belahan dunia. Inilah periode globalisasi gelombang ketiga bergulir.
Menurut Safira Majory dan Putra Prima Raka dalam tulisannya mengenai revolusi industri terdapat satu hal pasti yang dibawa oleh revolusi, yaitu inovasi. Inovasi yang lahir dari setiap revolusi dapat menimbulkan dua efek yang berlawanan, yaitu antara Capitalisation Effect atau Destruction Effect.
Capitalisation Effect terjadi jika teknologi yang dihasilkan mampu meningkatkan produktivitas para pekerja dan memungkinkan terbukanya pekerjaan baru. Sedangkan, Destruction Effect terjadi jika terobosan teknologi justru menggantikan pekerjaan manusia, menyebabkan ledakan pengangguran dan menghancurkan sistem pekerjaan yang ada.
Pada revolusi industri pertama hingga ketiga, Safira Majory dan Putra Prima Raka menilai kemunculan teknologi memberikan Capitalisation Effect yang jauh lebih besar ketimbang Destruction Effect. Hal tersebut, lanjut dia dikarenakan teknologi yang dibangun masih bersifat people-centric. Artinya, tenaga kerja masih dibutuhkan untuk mengoperasikan teknologi tersebut.
Waktu revolusi yang bertahap membuat tenaga pekerja mampu beradaptasi dan bekerja sama dengan teknologi untuk menghasilkan produk dalam skala yang lebih besar. Hubungan komplementer antara tenaga kerja dan mesin lah yang membuat revolusi industri bersifat membangun. Tetapi dalam revolusi tahap keempat, yang terjadi justru sebaliknya. Inovasi membuat Destruction Effectmenjadi lebih signifikan ketimbang Capitalisation Effect.
Terdapat dua faktor yang membuat revolusi industri saat ini lebih bersifat destruktif. Pertama, karena revolusi saat ini melaju dengan kecepatan yang bersifat eksponensial ketimbang linear. Jika sebelumnya, kata Safira Majory dan Putra Prima Raka, manusia membutuhkan 100 tahun untuk merasakan efek dari revolusi industri, saat ini seseorang hanya butuh waktu kurang dari 10 tahun. Perubahan yang terlalu cepat membuat tenaga kerja hingga institusi tidak memiliki waktu untuk menyesuaikan dengan keadaan.
Inilah yang menurut mereka sebut sebagai disruptive innovation. Sebagai ilustrasi, kemunculan Instagram yang mampu menarik 2 juta pelanggan hanya dalam waktu 5 bulan setelah rilis tidak menyisakan waktu bagi Kodak untuk melakukan inovasi, yang akhirnya membuat Kodak gulung tikar. Begitu juga dengan perkembangan mobil tanpa pengemudi yang hanya membutuhkan waktu 6 tahun, sejak konsep pertama muncul pada tahun 2009, untuk dijual ke publik. Hal tersebut secara langsung mengancam pekerjaan 3,5 juta pengemudi truk dan pekerja transportasi lainnya.
Faktor kedua adalah besarnya perubahan yang dihasilkan. Sifat teknologi yang saat ini telah menjalar pada setiap aspek kehidupan membuat kemunculan inovasi berdampak jauh lebih luas ketimbang sebelumnya. Salah satu yang menjadi perhatian terbesar adalah Artificial Intelligence (AI). Saat ini, AI sedang gencar dikembangkan agar dapat berpikir dan mengambil keputusan layaknya manusia. Berkembangnya AI membuat pekerjaan yang dulu terlihat terlalu kompleks untuk robot — seperti akuntan, pengacara, hingga jurnalis — kini terancam.
Sebuah contoh realistis dapat dilihat pada dunia sepak bola, di mana sebuah teknologi dapat menghilangkan 2 pekerja sekaligus. Goal-Line Technology yang saat ini resmi digunakan di setiap pertandingan, secara langsung menggantikan peran 2 asisten wasit yang biasa berdiri tepat di samping gawang untuk menentukan gol. Terlebih, teknologi Video Asisstant Referee yang sedang dikembangkan FIFA juga berpotensi menggantikan peranan 2 asisten wasit di samping lapangan. Prediksi Universitas Oxford terhadap pekerjaan wasit yang akan terganti oleh teknologi dengan peluang sebesar 98%, terlihat semakin nyata.
Fenomena penggantian ini diprediksi akan terjadi secara global. Negara dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah bahkan memiliki risiko yang sangat tinggi terhadap otomasi. Berdasarkan data dari World Bank, Ethiopia memiliki risiko penggantian tertinggi sebesar 84%. Dengan total penduduk Ethiopia yang hanya sekitar 100 juta orang (per 2013), artinya puluhan juta penduduk Ethiopia berpotensi kehilangan pekerjaannya.
Dengan kondisi penduduk yang dilanda kelaparan, menurut Safira Majory dan Putra Prima Raka, tentu kehilangan pekerjaan bukanlah hal yang diinginkan. Bahkan dari prospek pekerjaan, Oxford Martin Program on Technology and Employment memprediksi bahwa 47% pekerjaan lama akan terancam selama satu dekade ke depan, dengan hanya 0,5% pekerja yang berpotensi bekerja di jenis pekerjaan yang baru. Pekerjaan yang terbuka akan semakin sedikit dan terfokus pada bidang teknologi dan informasi yang membutuhkan keahlian tinggi. (*)
Editor: Romandhon