Pusat Perbelanjaan dan Imajinasi Gaya Kehidupan Urban

NUSANTARANEWS.CO – (Ilham Khoiri) Mal atau Pusat perbelanjaan di Jakarta tak lagi sekadar menjadi tempat transaksi ekonomi, tetapi kian menjelma sebagai jantung kehidupan urban. Di antara gerai-gerai mewah, barang-barang konsumsi gaya hidup, dan kerumunan pengunjung, kegiatan kreatif berlangsung setiap hari.

“Kami sedang membuat laporan,” kata Shinta (30), sambil sibuk mengetik dengan laptop. Di depannya ada Wita (38) yang juga serius memelototi layar komputer jinjing. Keduanya mahasiswi program magister Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Mereka bertemu untuk merampungkan makalah kuliah Kajian Administrasi Rumah Sakit.

Adegan itu tidak terjadi di kampus, tetapi di Starbucks di lantai I Cilandak Town Square, Jalan Jenderal TB Simatupang, Jakarta Selatan. Sambil bekerja, sesekali keduanya menyeruput kopi panas atau mengunyah roti. Kadang, mereka menengok kerumunan orang di pusat perbelanjaan itu, Selasa (4/1) sore. Mengerjakan tugas sambil rekreasi?

Dua hari sudah kedua perempuan itu nongkrong di situ. Sehari sebelumnya mereka bekerja dari sore hingga tengah malam. Selasa itu mereka mengetik sejak pukul 10.00. “Mungkin nanti sampai larut malam, tergantung selesainya laporan ini,” kata Shinta.

Bagaimana mereka bisa bekerja di tengah keriuhan mal? “Kami malah merasa segar menulis di keramaian. Kalau di rumah, bawaannya suntuk. Belum lagi diribeti urusan rumah tangga dan anak. Kalau agak jenuh, kan bisa beli makanan atau jalan-jalan,” kata Wita.

Kegiatan serupa dilakoni Ade Purnama (34), penggiat komunitas Sahabat Museum. Tinggal di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ia mengenal Pondok Indah Mal (PIM) I sejak bersekolah di SMP. Bahkan PIM I disebutnya rumah kedua karena menjadi salah satu tempat dia tumbuh.

“Saya bisa cuci mata, makan, belanja, kerja, sampai rapat di mal. Semuanya bisa dalam satu kunjungan. Saya selalu bawa laptop meski tujuan awalnya belanja. Mal sudah jadi bagian dari hidup saya” Kata lelaki yang bisa hampir setiap hari ke mal itu.

Cerita Shinta, Wita, dan Ade bisa mewakili kisah banyak orang yang memanfaatkan mal untuk bekerja atau kegiatan lain. Ini menandai kian bergesernya masyarakat dalam menilai mal yang tak semata tempat belanja, melainkan juga menjadi ruang bersama untuk berbagai kegiatan kreatif. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam di mal.

Fasilitas

Melihat fenomena itu, pengelola mal di Jakarta berbenah, membangun berbagai fasilitas. Tak saja penampilan dipoles agar lebih memikat, juga dibangun ruang-ruang baru untuk menampung beragam kebutuhan.
Konsultan kreatif beberapa mal di Indonesia, Yoris Sebastian, pernah ikut merancang konsep mal FX, Jakarta. Mal ini punya 12 ruang meeting di lantai dua yang bernama POD. Ukurannya beda-beda dan bentuknya dinamis, seperti oval, bulat, dan kurva.

Ruangan ini dilengkapi peralatan kantor canggih, seperti mesin faksimile, printer, internet connection, telecommunication & conference network, inhouse secretary, atau in-focus. Dinding ruangannya berupa kaca transparan. “Supaya tidak bosan ketika rapat,” tutur Yoris.

Mal lain, Plaza Senayan, juga memproklamasikan diri sebagai pusat mode dan tempat pertemuan. Corporate, Marketing, and Communication Manager Plaza Senayan Natalia Anita Hatmarini menuturkan, mal ini memperbanyak tempat pertemuan yang menyebar di beberapa lantai. Mulai dari foodcourt di basement dan lantai tiga, berbagai kafe di lantai satu, hingga restoran di lantai dua dan tiga.

Ada juga tempat dengan akses tersendiri sehingga bisa buka lebih pagi dari jam operasi mal. “The Coffee Bean pernah buka sejak pukul 07.00 karena banyak permintaan,” katanya.

Fasilitas itu kian menggoda masyarakat yang berpikir praktis. Salah satunya adalah Dwihartini (39), pengusaha biro periklanan. Ia selalu memilih mal untuk bertemu klien.

Biasanya pertemuan itu dilakukan sebelum jam makan siang. Mereka membahas proyek-proyek iklan. Cukup dengan membawa laptop, Dwihartini menyajikan gambar-gambar desain grafis. Tiba jam makan siang, kliennya dijamu dengan makanan di restoran itu. “Kalau rapat di kantor, kadang kita ribet mikirin makanan yang cocok disajikan,” tuturnya.

Ruang publik

Menurut pengamat budaya dari Universitas Indonesia, Bagus Takwin, perkembangan ini menggembirakan sekaligus memprihatinkan. Di satu sisi, mungkin warga semakin kreatif membajak pasar untuk kepentingan lebih produktif. Di sisi lain, semua itu terjadi karena kota Jakarta dan sekitarnya tidak punya ruang publik-seperti taman, trotoar, lapangan, atau ruang terbuka lain yang nyaman.

Pada saat bersamaan, mal menyediakan ruang di tengah kota yang lebih menarik, enak, dingin, dan banyak obyek untuk dilihat. Dengan lokasi di titik-titik strategis, mal lebih mudah diakses di tengah lalu lintas yang macet. Wajar saja jika akhirnya banyak orang suka nongkrong di mal.

Namun, kondisi ini bukan tanpa risiko. Terlalu sering ke mal, tanpa diimbangi kesadaran jernih, bisa menggoda siapa saja untuk terseret dalam putaran konsumsi dan imajinasi gaya hidup. “Kalau kita bisa menggunakan mal untuk pengembangan diri, itu menarik. Tapi, jika terbenam dalam godaan memuaskan hasrat dengan belanja berbagai sarana pencitraan yang semu, itu akan bikin ketagihan tiada habisnya,” katanya.*** Sumber: Kompas, Minggu, 9 Januari 2011

Exit mobile version