NUSANTARANEWS.CO – Bentrok antara aparat kepolisian dan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Makassar pada Sabtu (6/8) hingga Minggu (7/8) dini hari dinilai keberhasilan provokator mengadudomba aparat keamanan yang berujung saling mengklaim benar kedua institusi.
“Polri harus segera mencari, menangkap, dan menahan provokator dalam bentrokan antara polisi dan Satpol PP di Makassar, Sulsel. Sebab bentrokan antar aparatur di Makassar ini lebih berbahaya dan lebih memalukan dibandingkan dengan bentrokan SARA di Tanjungbalai, Sumut,” kata pengamat kepolisian Neta S Pane dalam keterangan persnya yang diterima Nusantaranews, Jakarta, Minggu (7/8/2016).
Untuk itu, pimpinan kepolisian dan Satpol PP di Makassar didesaknya agar segera minta maaf karena bentrokan sepanjang malam itu membuat masyarakat ketakutan. “Bagaimana bisa aparatur yang seharusnya menjaga keamanan malah bentrokan dan membuat gangguan keamanan bagi masyarakat. Jika dalam kasus kerusuhan SARA di Tanjungbalai, polisi bisa dengan cepat menangkap 20 orang yang dituduh sebagai provokator, dalam kasus Makassar, polisi juga harus bisa bekerja cepat segera menangkap dan mengumumkan provokatornya,” paparnya.
Ia menurutkan, provokator bentrokan di Makassar ini tidak hanya meresahkan masyarakat, tapi juga sudah berhasil mengadu domba antara aparatur keamanan, yang seharusnya sesama aparatur bisa menahan diri dan melakukan dialog jika ada masalah. Bukannya malah mengedepankan arogansi dan melakukan bentrokan massal yang merugikan banyak pihak.
”Polri jangan berdalih bentrokan ini spontanitas karena durasinya sangat panjang diduga bentrokan ini sudah dirancang, sehingga provokatornya harus segera ditangkap,” jelas Neta.
Seperti diberitakan, bentrokan pada 6 Agustus 2016 itu membuat Bripda Michael Abraham anggota Sabhara tewas. Dalam bentrokan antara polisi dengan Satpol PP itu satu Satpol PP luka terkena tikaman dan delapan lainnya luka-luka dipukuli polisi. IPW berharap dalam menangani kasus Makassar, Polri harus transparan seperti menangani kasus Tanjungbalai. (eriec dieda/red)