Produksi Energi Baru Terbarukan Semakin Murah

Energi terbarukan dengan memanfaatkan sinar matahari dan angin (udara). foto via climates

Energi terbarukan dengan memanfaatkan sinar matahari dan angin (udara). (Foto: Climates/Istimewa)

NUSANTARANEWS.COGlobal Status Report (GSR) 2016, yang diterbitkan oleh International Renewable Energy Agency (IRENA), yang mana Indonesia juga menjadi anggotanya, melaporkan bahwa antara tahun 2014 dan 2015 secara global telah terjadi peningkatan investasi untuk EBT, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), sebesar hampir 9%. Peningkatan investasi EBT terbesar terjadi pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 28.2% dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) sebesar 17%.

Dalam laporan tersebut bahwa dalam beberapa tahun terakhir, biaya produksi listrik dari energi terbarukan secara konsisten, terus menurun – sehingga energi terbarukan menjadi pilihan termurah untuk membangun jaringan listrik di wilayah yang memiliki sumber EBT yang mencukupi.”

Laporan yang berjudul “Renewable Power Generation Costs” ini juga menyebutkan, biaya energi biomasa semakin terjangkau karena tersedia limbah pertanian dan kehutanan dengan harga murah. Proyek biomasa yang paling kompetitif mampu memroduksi listrik dengan biaya US $0,06 atau Rp 557,8/kWh.

Biaya produksi energi surya dengan cara mengumpulkan cahaya matahari dari wilayah yang luas dan menfokuskannya ke satu pusat generator mampu menghemat biaya hingga US$ 0,14 atau Rp1.348,2/kWh.

Panel surya yang berkembang pesat dalam dua tahun terakhir, semakin banyak dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga. Biaya produksi energi surya kini semakin kompetitif antara US$ 0,16 (Rp 1.540,8) hingga US$ 0,36 (Rp 3.466,8)/kWh.

Simak: Indonesia Termasuk Negara Dengan Cadangan Panas Bumi Terbesar Di Dunia

Pembangkit listrik tenaga angin di darat yang paling kompetitif, mampu memroduksi listrik dengan biaya US$ 0,04 (Rp 385,2)/kwh.

Bandingkan dengan biaya produksi listrik dari bahan bakar fosil di negara-negara maju (OECD – Organisation for Economic Co-operation and Development) yang mencapai US$ 0,06 (Rp 577,8) hingga US$ 0,12 (Rp 1.155,6)/kWh di luar biaya transmisi dan distribusi.

Sementara dalam perkembangan mutakir tren pemanfaatan pembangkit tenaga surya saat ini sedang dilirik banyak pemain besar. Pengusaha Elon Musk di Amerika Serikat misalnya, sedang merancang panel surya untuk konsumen rumahan. Musk berharap panel yang bisa menjamin satu rumah tersedia listriknya sepanjang tahun itu hanya menelan ongkos ringan, yakni setara Rp 300 ribu per meter persegi.

Jika pembangkit listrik tenaga surya semakin efisien dan terbukti berhasil, maka umat manusia tampaknya perlu bersiap-siap meninggalkan nuklir, lalu beralih kepada sumber energi tata surya kita, yang selama ini sudah tersedia di depan mata. (Aya)

Editor: Achmad Sulaiman

Exit mobile version