ProDEM: Rakyat Butuh Keadilan dan Kesejahteraan Bukan Dibodohi

Aksi ProDEM: Rakyat Butuh Keadilan dan Kesejahteraan Bukan Dibodohi. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/ProDEM)

Aksi ProDEM: Rakyat Butuh Keadilan dan Kesejahteraan Bukan Dibodohi. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/ProDEM)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sekretaris Jenderal Jaringan Aktivis ProDEM, Satyo P mengatakan sesuai pasal 33 UDD 1945 yang menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4), jauh dari harapan.

“Lalu sudahkah diterapkan secara baik dan benar bunyi-bunyian indah dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut pasca 73 tahun Indonesia merdeka? Jauh dari harapan tentu saja. fakta yang terjadi hari ini, rakyat tak ubahnya sebagai pelengkap saja, segala keindahan yang tertuang dalam undang-undang dasar 1945 hanya sebatas tulisan yang nikmatnya dikonsumsi penuh oleh kelompok-kelompok asing dan para neolib,” kata Satyo dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin (19/3/2018).

Karpet merah yang luas terbentang bagi para kapitalis sadis, kata dia, justru hadir oleh polah para penyelenggara negara yang bermental kacung, mengamankan ekspansi dan rampokan asing dari dalam negeri untuk dibawa jauh keluar dan dinikmati sepenuhnya oleh para neolib dan keluarganya, janji hanya tinggal janji, nawacita yang digelorakan demi terpilih sebagai penguasa tertinggi tak ubahnya omong kosong dan dongeng sebelum tidur.

“Lemah dan tak berdaya mengusir antek-antek neolib dari bumi NKRI kian terpancar jelas dengan semakin besarnya jumlah hutang negara hingga menembus 4.000 triliun. Di saat yang bersamaan para pembantu boneka penguasa lantang berteriak bahwa jumlah hutang sebesar itu adalah zona aman, entah dimana logikanya memiliki hutang tapi merasa aman. Hal ini diperkuat dengan kencangnya jumlah impor hampir di segala lini, hasil produksi petani tak lagi dilirik, karena harga impor asing lebih mahal dari harga hasil petani lokal, karena produk petani lokal, yang meskipun tak kalah bagusnya dari produk impor, tak memberi keuntungan bagi para neolib, “tidak ada cawe-cawe”, begitu kalimat yang biasa kita dengar dari media hari-hari ini,” urainya.

Tidak hanya itu, lanjut Satyo, bahkan aturan-aturan yang dilahirkan pun sama busuknya dengan perilaku para neolib, kebebasan berekspresi, memberi kritik dan kebebasan berkumpul dan berorganisasi turut terbunuh dengan lahirnya Undang-Undang anak haram seperti UU ITE, UU MD3, Perpu Ormas dan lainnya.

“Belum puas dengan segala ciptaan haramnya, neolib turut pula menghabisi industri dan para pekerja asli Indonesia, jumlah buruh asing yang menggunung membuat buruh lokal bahkan nyaris tidak memiliki harapan untuk sekedar bekerja dan mencari penghidupan di tanah airnya sendiri. 7,1 juta jumlah penganggur dianggap menurun oleh si boneka dan para pembantunya, entah benar entah tidak, mengingat ribuan perusahaan industri gulung tikar dan jumlah pencari kerja yang terus bertambah setiap tahunnya. Praktik kerja kontrak dan outsourcing menambah pelik permasalahan, karena buruh tak lagi memiliki nilai tawar untuk sekedar bekerja, apalagi berpikir untuk memiliki hunian, pedih, tercabik serasa darah telah habis tumpah di jalanan begitulah isi hati buruh,” ungka dia.

“Lalu hadirnya transportasi online yang seharusnya bisa menjadi solusi dan lapangan kerja baru malah tidak dianggap penting oleh pemerintah republik ini. Besarnya animo masyarakat untuk bekerja di sektor transportasi online malah dianggap pemerintah sebagai solusi dan “tuntutan akan berkurang”, padahal faktanya, masyarakat mengambil peluang bekerja di sektor transportasi online, jurtu karena sulitnya lapangan pekerjaan, dimana negara tidak hadir dan memberikan solusi,” imbuhnya.

Satyo menegaskan, kedunguan pemerintah justru dianggap angin surga oleh para pelaku usaha transportasi online, para pekerja hanya dianggap sebagai mitra untuk menghilangkan kewajiban aplikator memberikan hak para pekerja, entah sebatas hubungan kerja atau jaminan sosial bagi mereka. Pekerja transportasi online yang biasa disebut sebagai driver atau pengemudi. Lambannya pemerintah makin terlihat ketika aplikator yang kabarnya tidak bayar pajak ini membuat peraturan seenaknya dan dengan mudahnya menghukum para driver dengan kalimat “suspend” sehingga hilang sudah harapan para pekerja ini untuk sekedar mencari kebutuhan primernya.

“Selain itu, pemerintah hanya mampu melahirkan peraturan-peraturan prematur yang malah semakin menekan para pekerja transportasi online. Jokowi sebagai Presiden harusnya turun tangan dan memerintahkan para pembantunya untuk menciptakan pola sejenis di bawah payung negara seperti BUMN atau melahirkan undang-undang baru yang mengatur transportasi online dan hak-hak para pekerjanya, bukan hanya diam dan tertawa cengengesan tak karuan,” tandasnya.

Pewarta: Ucok Al Ayubbi
Editor: M. Yahya Suprabana

Exit mobile version