Prevensi di Tengah Pandemi

Prevensi di tengah pandemi
Prevensi di tengah pandemi/Foto NPR

Prevensi di Tengah Pandemi

Mencegah lebih baik daripada mengobati memang tidak pernah sepenuh hati diterapkan di dalam pembangunan kesehatan di Indonesia.
Oleh : R. Wahyu Kartiko Tomo

Sejak saya lahir sampai sekarang nyaris 40 tahun, dari era Presiden Soeharto sampai Presiden Jokowi tabiat pemerintah Indonesia dalam pembangunan bidang kesehatan masih tetap sama, upaya promotif-preventif hanya menjadi urusan belakangan saja. Padahal parameter baik buruknya derajat kesehatan masyarakat salah satunya dilihat dari upaya promosi-prevensi suatu negara.

Hendrik L Blum, salah seorang pengagas reformasi pelayanan kesehatan mengatakan bahwa upaya pencegahan dan pengendalian penyakit merupakan kunci dalam memajukan pembangunan kesehatan suatu negara.

Blum menyimpulkan bahwa terdapat empat faktor penentu derajat kesehatan masyarakat. Keempat faktor tersebut adalah faktor perilaku/gaya hidup, faktor lingkungan (ekonomi, politik, sosial, budaya), faktor pelayanan kesehatan dan faktor genetik.

Setidaknya sejumlah faktor ini memiliki relevansi dengan apa yang kini terjadi di Indonesia. Dari aspek perilaku, sudut pandang kesehatan masyarakat lebih mengutamakan penyembuhan daripada pencegahan penyakit.

Dari segi hukum, peraturan perundang-undangan belum sesuai dengan upaya pembangunan kesehatan promosi-prevensi dan kuratif-rehabilitatif. Undang-undang yang ada masih berwawasan kuratif-rehabilitatif, bukan undang-undang yang berwawasan promotif-preventif.

Dari aspek politik, kebijakan pemerintah yang uga masih berorientasi pada kuratif-rehabilitatif sehingga terlihat jelas bahwa peranan tenaga kesehatan sangat mendominasi. Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam menjalankan pembangunan. Tidak mengherankan bila alokasi dana kesehatan Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain, terutama untuk alokasi kesehatan preventif-promotif.

Terkait Pembiayaan Kesehatan dalam Penguatan Preventif Promotif, Prastuti Soewondo pada 20 Februari 2020 mempublikasikan bahwa 77,1 persen dari total alokasi anggaran kesehatan dipergunakan untuk pembiayaan pelayanan kesehatan kuratif-rehabilitatif. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan porsi pelayanan kesehatan promotif-preventif yang hanya memberikan 19,3 persen dari anggaran kesehatan atau bahkan kurang.

Semua prosentase tersebut adalah sebagian dari 5 persen anggaran kesehatan yang disisihkan dan yang ditetapkan oleh undang-undang. Kecil memang jika dibandingkan dengan negara lain? Para Ahli mengatakan 22 dari 36 negara berkategori low income telah mengalokasikan 11% anggarannya dari APBN untuk kesehatan.

Bahkan tiga negara berpendapatan rendah di Afrika seperti Rwanda, Tanzania, dan Liberia berani mengalokasikan dana untuk sektor kesehatan hingga 15% dari APBN-nya. Bahkan Cile –negara yang notabene sebaya dengan Indonesia– mampu mengalokasikan anggaran kesehatannya hingga 16%.

WHO sendiri telah memasang patokan bahwa alokasi anggaran kesehatan setiap negara minimal 15% dari total APBN atau setara dengan 5% dari PDB.

Sementara anggaran kesehatan negara kita hanya 5% dari anggaran belanja negara. Padahal jika dilihat dalam Undang-Undang kesehatan nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 171 ayat 3 yakni: “Besaran anggaran kesehatan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah”.

Kepentingan pelayanan publik yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan preventif-promotif dan pelayanan kesehatan kuratif-rehabilitatif.

Pelayanan promotif-preventif dalam hal ini meliputi Komunikasi Informasi Edukasi Kesehatan (KIE), imunisasi, deteksi dini, pemantauan kondisi sehat, surveilans epidemiologi, serta infrastruktur, diklat, dan litbang pendukung pelayanan promotif-preventif. Termasuk menurut saya perluasan cakupan tes virus corona bagi lembaga atau institusi kesehatan secara masif dan merata, sebagaimana yang diungkapkan oleh para Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia.

Menurut CDC, yang seharusnya melakukan tes tersebut adalah orang yang memiliki gejala Covid-19 dan ingin di tes, lalu siapakah diantara kita yang tidak ingin dites ditengah pandemi seperti ini, pasti semua juga menginginkan.

Pelayanan kuratif-rehabilitatif dalam hal ini meliputi layanan yang bertujuan untuk mengobati dan mengurangi tingkat kesakitan, mencakup ranap dan rajal, termasuk biaya visite dokter, perawatan, konsultasi, obat dan Bahan Medis Habis Pakai, pemeriksaan laboratorium, infrastruktur, diklat, litbang pendukung pelayanan kuratif-rehabilitatif.

Jika kita mau jujur bahwa pembiayaan dan perencanaan pembangunan kesehatan selama ini masih terfokus pada sektor kuratif-rehabilitatif dibandingkan promotif-preventif. Dapat dikatakan bahwa watak dari pola pembangunan kesehatan kita masih memposisikan obat, dokter dan rumah sakit sebagai pilihan utama.

Begitupun  dengan paradigma sehat masyarakat: berobat ketika sakit, ke rumah sakit supaya bisa sembuh, hanya obat yang meyembuhkan. Inilah pola pikir yang berkembang di masyarakat tentang bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit.

Kini sudah saatnya kita harus melihat persoalan kesehatan sebagai faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif-preventif tanpa mengesampingkan upaya kuratif-rehabilitatif.

Dalam buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19) Revisi ke-IV, 27 Maret 2020 yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia upaya promosi-prevensi hanya sebatas himbauan, disitu tertulis Pencegahan pada Level Individu (upaya kebersihan personal dan rumah, meningkatkan imunitas diri dan mengendalikan komorbid) dan Masyarakat (pembatasan interaksi fisik dan pembatasan sosial, menerapkan etika batuk dan bersin).

Menurut Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, penanganan Covid-19 harus dilakukan secara komprehensif, penerapan pembatasan sosial atau social distancing tidak cukup untuk mengatasi penularan penyakit yang disebabkan oleh virus corona. Cara paling efektif untuk mencegah infeksi dan menyelamatkan jiwa adalah memutus rantai penularan. Untuk itu perlu melakukan pemeriksaan. Saya terkesan dengan ungkapan Tedros

“Anda tidak bisa melawan api dengan mata tertutup, dan kita tidak bisa menghentikan pandemi ini jika kita tidak tahu siapa yang terinfeksi. Kami punya pesan sederhana untuk semua negara: tes, tes, tes.” Apakah pemerintah kita sudah melakukannya secara masif dan merata?

Dari data yang diperoleh dari laman worldometers sampai hari ini Senin, 20 April 2020 jam 13:47 GMT didapatkan data bahwa penderita Covid-19 dengan gejala ringan sebanyak 97%, kondisi kritis sebanyak 3%. Dengan tingkat kesembuhan 79%, dengan angka kematian 21%.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI NOMOR HK.01.07/MENKES/238/2020 tentang “Petunjuk Teknis Klaim Penggantian Biaya Perawatan Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu Bagi Rumah Sakit yang Menyelenggarakan Pelayanan Coronavirus Disease 2019” tampak besaran klaim terpampang dengan jelas. Dengan nilai Top Up perhari (cost per day) sebagai berikut:

Untuk pasien ODP/PDP/konfirmasi tanpa komplikasi, biaya perawatan di ruang ICU dengan ventilator Rp 15,5 juta per hari dan tanpa ventilator Rp 12 juta per hari. Lalu perawatan di ruang isolasi tekanan negatif dengan ventilator Rp 10,5 juta, tanpa ventilator Rp 7,5 juta. Sedangkan perawatan di ruang isolasi non tekanan negatif dengan ventilator Rp 10,5 juta per hari dan tanpa ventilator Rp 7,5 juta per hari.

Untuk pasien ODP/PDP/konfirmasi dengan komplikasi, biaya perawatan di ruang ICU dengan ventilator Rp 16,5 juta per hari dan tanpa ventilator Rp 12,5 juta per hari. Lalu perawatan di ruang isolasi tekanan negatif dengan ventilator Rp 14,5 juta, tanpa ventilator Rp 9,5 juta. Sedangkan perawatan di ruang isolasi non tekanan negatif dengan ventilator Rp 14,5 juta per hari dan tanpa ventilator Rp 9,5 juta per hari. Pemulasaraan jenasah Rp 550 ribu, kantong jenasah Rp 100 ribu, peti jenasah Rp 1.750 ribu, plastik jenasah Rp 260 ribu, desinfektan jenasah Rp 100 ribu, transport mobil Rp 500 ribu, desinfektan mobil jenasah Rp 100 ribu.

Jika kita hitung dengan permisalan perawatan pasien ODP/PDP tanpa komorbid di ruang isolasi dengan tekanan negatif tanpa ventilator senilai Rp 7,5 juta. Pasien ODP/PDP dengan komorbid di ruang isolasi dengan tekanan negatif tanpa ventilator senilai Rp 9,5 juta. Dengan asumsi jumlah kasus positif di negara kita sampai dengan hari ini sebanyak 6.760, dengan anggapan bahwa hanya 3 % nya dalam kondisi kritis sebagaimana prosentase dunia yg mengalaminya maka ada 202 pasien yang sedang dalam perawatan khusus baik itu dengan ventilator maupun tanpa ventilator. Berapakah besarnya biaya perawatannya, bisa kita kalkulasi dan perkirakan dengan menghitung lama perawatan dikali besaran biaya dan jumlah pasiennya serta berapa banyak rumah sakit yang merawat pasien Covid-19. Sangat besar biayanya, jikalau kita berfikir bahwa sebenarnya jumlah yang sekarang ini ada hanyalah fenomena gunung es saja, jika dibandingkan dengan biaya promosi-prevensi pada pandemi yang entah kapan berahirnya ini.

Antisipasi dengan program kuratif-rehabilitatif dalam jangka waktu yang panjang sama saja dengan menghambur-hamburkan uang, sama saja menunggu masyarakat menjadi pesakitan.

Sudah saatnya melakukan promosi-prevensi semasif mungkin. Salah satu prevensinya adalah tes covid pada semua penduduk Indonesia yang bisa dijangkau tanpa terkecuali. Dengan deteksi ini maka sebenarnya pemerintah sudah melaksanakan amanat undang-undang dan memenuhi hak warga negara.

Dengan deteksi dini, jelas masyarakat akan lebih sadar akan kesehatannya (isolasi dini sebelum jatuh ketingkat penyakit sedang sampai berat), masyarakat akan kembali bekerja secepatnya, dengan begitu ekonomi akan pulih selain kesehatan yang didapat.

Apa dasarnya jika pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar jika tes Covid-19 ke masyarakat masih diabaikan, isolasi tanpa tes hakekatnya adalah mengurung diri tanpa adanya kepastian waktu dan diagnosis.

Entah sampai kapan usaha promotif-preventif akan seperti ini terus, tanpa tes dan tanpa kepastian diagnosis yang sampai detik ini baru mencapai 43.749 tes di negara kita atau baru 0,01 % tes yang dilakukan. Artinya tindakan preventif kita jika dihitung sejak kasus pertama positif 2 Maret 2020 atau sejak 49 hari yang lalu tidak menunjukkan tanda-tanda peningkatan upaya preventif yang signifikan, apalagi sebelum diumumkannya kasus positif.***

Penulis: R. Wahyu Kartiko Tomo, Dokter dan Praktisi Kesehatan
Exit mobile version