Politik Kita dari Kacamata Sastra Dunia

Berbagi Kursi Kekuasaan di Elit Politik. (Ilustrasi)
Berbagi Kursi Kekuasaan di Elit Politik. (Ilustrasi)

Politik Kita dari Kacamata Sastra Dunia

“Sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri di suatu zaman edan, lebih bahagia orang yang selalu mawas diri.” (Ronggowarsito)

Oleh: Pujiah, pegiat literasi pada organisasi K2PSI (Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia)

Sastrawan Rusia, Dostoyevsky memang sangat mahir meneropong reruntuhan jiwa dan ketegangan manusia modern, membedah kehidupan manusia-manusia hedonis yang haus akan syahwat kekuasaan dan popularitas. Persis seperti membedah problem politik keindonesiaan yang diselimuti sikap mental yang tumbuh subur di negeri kepulauan dengan berbagai macam separatisme dan dialek bahasa yang teramat majemuk.

Beda dengan Solzhenitsyn yang masih membuat kita tersenyum dan tertawa. Dalam novelnya Kesengsaraan di Petersbur Dostoyevsky menyingkap habis-habisan sifat dan watak manusia yang merambah dari tingkat desa, perkotaan hingga metropolitan. Masyarakat dengan jenis kebudayaan yang belum siap menghadapi perubahan namun dipaksa menerima kodrat eksplorasi alam sebagai keniscayaan dari perubahan itu sendiri. Sampai kemudian terbelahlah jiwa-jiwa manusia menjadi pribadi-pribadi yang menderita kehausan penyakit yang patologis.

Yang tidak kalah menarik, seperti halnya karya-karya Alexievich (Belarusia), Dostoyevsky meneropong dengan caranya sendiri ulah dan kelakuan kaum politisi yang gila akan syahwat kekuasaan. Suatu pelukisan deformasi jiwa yang berhasil merekam manusia-manusia rakus dan serakah, menimbulkan psike-individual hingga terbelahnya ideologi dan jurang pemisah antara generasi anak dan orang tua. Retaknya lembaga keluarga, masyarakat dan negara, hingga melahirkan suatu generasi baru yang mengidap paranoid hingga skizofrenia.

Itulah gambaran manusia modern yang dialami masyarakat kita juga, suatu keputusasaan dalam pengertian realistis, otentik, bukan semata-mata melodrama teatrikal semata. Di sisi lain, para komprador penguasa dan orang-orang haus kekuasaan menjelma hewan-hewan buas dan brutal, menjadi garuda dan buaya kapitalis, penumpuk harta dan ribuan hektar tanah yang keranjingan bersekongkol untuk melanjutkan rezim tiran status quo. Para penguasa yang seenaknya melakukan politik transaksional, seakan tak ambil pusing di sekelilingnya bergelimpangan orang-orang miskin dan bodoh yang dininabobokan oleh berita bohong, hoaks, dan fitnah.

Berbeda juga dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Dostoyevsky menuturkan kisah-kisahnya bukan sebentuk manifes protes politik. Ia menampilkan apa adanya tentang karakter dan watak politisi yang merasa kehausan patologis, gila pencitraan dan popularitas. Merasa dirinya hidup dalam amukan zaman kejam dan penderitaan di tengah badai salju di trunda-trunda Siberia. Bahkan, merasa diabaikan oleh kekasih semacam Drupadi yang menuntut Pandawa agar mengambil-alih kekuasaan, hingga kemudian ia mengambil jalan pintas dengan dalih, “Kalau saya tidak ikut gila di zaman edan ini, nanti saya tidak kebagian!”

Di pertengahan abad ke-19, ketika kalangan intelektual dan ilmuan membahas penemuan Karl Marx dalam tataran akademisi, justru Dostoyevsky sudah fasih mengungkapnya dalam bentuk sastra, suatu kreasi imajiner yang melampaui zamannya, menyibak kabut dan menembus ketinggian langit, memberikan nilai dakwah yang elegan. Menyadarkan para sastrawan dan ilmuwan Eropa, hingga menggugat para penguasa modern: mengapa sejarah umat manusia selalu saja tergenangi oleh permasalahan para tuan dan budak, eksploitasi manusia-manusia lapisan bawah, oleh manusia lapisan atas?

Gugatan paling mendasar pada karya Dostoyevsky, nyaris sehaluan dengan esai-esai Alexievich, mengajak masyarakat dan kalangan penguasa agar mempergunakan akal sehatnya, jangan cuma sibuk memproyeksikan fungsi Tuhan untuk kepentingan politis belaka. Seolah-olah ‘tambal sulam’ dari lubang kesulitan yang tak pernah dibereskan oleh para penganut agama (homo religious). Kerjaan mereka seakan mengharap-harap mukjizat datang agar Tuhan menyelesaikan kekalutan dan kerepotan yang sebenarnya diperbuat oleh ulah tangan-tangan manusia sendiri.

Citra Tuhan yang ditafsirkan, dan disusupkan ke dalam benak masyarakat harus dibersihkan dari proyeksi dan politisasi kaum elite borjuasi yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, ketimbang berkarya membuktikan kemaslahatan dirinya di tengah peradaban umat. Citra Tuhan yang masih diselimuti unsur-unsur politik kotor, ideologi dan kritik-kritik palsu, propaganda kepahlawanan kosong, dicampuri urusan duit dan vested interest yang sama sekali tak ada hubungannya dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang sejati.

Kualitas sastra seperti itu jelas-jelas membawa misi ‘dakwah’, dengan penuh kesadaran menghendaki adanya sasaran yang ingin dicapai. Meskipun hasil ciptaan dan rekaan, totalitas karya sastra mampu bekerja dengan kekayaan linguistik yang dimiliki para pujangga dan sastrawan, seakan-akan Tuhan masih terus berfirman melalui kepekaan dan kepedulian mereka. Ibarat para wali dan pendeta yang merupakan pembawa risalah para Nabi (waratsatul anbiya). Setiap karya sastra yang bertanggungjawab terhadap pembangunan peradaban bangsa, tak lepas dari kecenderungan dakwah yang terus berikhtiar untuk mencerdaskan dan mendewasakan umat.

Kualitas sastra seperti itu, justru semakin menyadarkan dan memperkuat keimanan kita, dari gempuran badai-badai modernitas yang mengepung keseharian, dari ketegangan-ketegangan menghadapi hari esok yang tak menentu. Bahwa kita harus selalu percaya dan optimis, karena setiap problem yang dialami dalam kehidupan manusia, di belahan bumi manapun, ternyata mengandung pertalian dan hubungan kemanusiaan yang sehaluan dialami oleh bangsa-bangsa manapun di dunia ini.

“Kualitas keimanan yang baik bukan semata-mata memercayai apa yang terang, tetapi juga memercayai adanya kegelapan sekaligus berupaya menerangkannya.” Demikian petuah mendiang Y.B. Mangunwijaya dalam ceramahnya di STF Driyarkara, Jakarta.

Dalam buku Sastra dan Religiositas (Penerbit Kanisius, 1982) Romo Mangun menegaskan, bahwa dunia sastra yang secara filosofis banyak menerangi manusia modern yang berjiwa Promotheus, telah berani bereksplorasi seakan mencuri api dari kahyangan para dewata. Dalam obsesi dan ambisi Doktor Faust (Goethe) yang tak mengenal batas bagi nafsu eksplorasinya, tak ubahnya dengan karya-karya dari negeri Prancis seperti Camus dan Sartre sebagai sastrawan pionir penggugah jiwa, bergelora mencipta hari depan seakan-akan tanpa rasa takut dan gentar.

Dari perspektif lain, perlu diakui secara jujur aspek psikologis yang nampak pada watak dan karakteristik Faust yang kesepian, sunyi dan hampa, karena ulah dirinya dalam meniadakan Tuhan. Maka, berfatwalah ilmuan dan pakar biologi modern, Jacques Monod, yang membikin gempar para filosof dan sastrawan Barat: “Bumi dan seluruh isi semesta ini, flora dan fauna, terlebih lagi manusia, hanyalah salah satu hasil kebetulan saja dari suatu proses kebetulan dan perbenturan serba kebetulan menuju kepada sesuatu yang serba kebetulan. Evolusi setiap jenis makhluk tidak terencana sebelumnya sampai kepada titik akhir sang makhluk muncul di permukaan bumi. Setiap perkembangan dalam biosfer terjadi karena penghantaran genetis yang salah sentuh, serba kebetulan belaka, dalam penanganan yang keliru bahkan peniruan yang selalu salah.”

Dalil-dalil yang dikemukakan itu sungguh mengancam filsafat idealisme yang menempatkan sosok manusia sebagai sentrum dan titik pusat di jagat raya ini. Sebagai ekspresi pergulatan pemikiran dari manusia post-industrial yang tetap ingin menjaga nilai-nilai religiositas dan ketakwaan, penulis mencoba mengungkap pergumulan antara eksistensialisme dan idealisme dalam novel Pikiran Orang Indonesia, sebagai salah satu karya sastra yang banyak diperbincangkan publik akhir-akhir ini.

Menanggapi artikel yang ditulis Malik Feri Kusuma, selaku Koordinator Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pancasila dan Gebuk, pengarang novel POI menyatakan apa adanya bahwa karya sastra yang ditulisnya memang tak lepas dari gaya pewartaan yang tergenangi nafas para pemikir dan filosof Eropa hingga Amerika Latin. Jika kita menyebut beberapa nama yang paling dominan, misalnya Nietzsche, Steinbeck, Chekov, Dostoyevsky hingga Octavio Paz, dapat disarikan tentang beberapa hal dari pola pikir mereka mengenai ide-ide sekularisme maupun atheisme. Memang bukan tanpa sebab pemikiran dan sikap yang secara konsekuen mereka anut, karena memang paham atheisme itu bersifat universal.

Lalu, atheisme jenis apakah yang diam-diam sedang tumbuh subur merajalela, di tengah amukan badai konflik dua kubu kandidat presiden di republik kita akhir-akhir ini? Sebelumnya, akan saya uraikan dulu beberapa jenis atheisme, hingga pada akhirnya pembaca sendirilah yang menebak corak atheisme terselubung yang sedang marak berpraktik di negeri ini.

Pertama, atheisme Nietzsche, mereka yang menghayati secara konsekuen bahwa Tuhan tidak ada. Hal ini tercermin dalam tokoh-tokoh sastra yang dibangun Nietzsche sendiri, bahkan menghayati ketiadaan dan kematian Tuhan secara religius kemudian menjalani hidup dalam perspektif yang belum pernah ada tersebut. Kedua, atheisme yang tidak konsekuen, dianut oleh mereka yang menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah mati, karena memang tidak pernah ada. Namun di sisi lain, atheisme kedua ini toh percaya pada pengganti-pengganti Tuhan, yakni kekuasaan akal dan rasio (intelektual-isme).

Sementara yang ketiga, justru tersembunyi tetapi marak tumbuh di sekitar kita menjelang perhelatan akbar pemilu April ini. Mereka percaya pada Tuhan yang hidup, namun berpikir dan berprilaku seolah-olah Tuhan tidak pernah hadir di sisinya. Tipologi ini terdapat pada semua kalangan masyarakat, tanpa kecuali, termasuk pada masyarakat yang berpakaian alim dan soleh sekalipun. Terkait dengan itu, penulis novel Pikiran Orang Indonesia pernah menjabarkan dalam orasinya di Pondok Pesantren Modern Al-Bayan, Banten (Kompas, 24 April 2018), bahwa jenis atheisme ketiga inilah yang banyak digambarkan oleh sastrawan Amerika Latin seperti Steinbeck, Octavio Paz, termasuk Gabriela Mistral yang seringkali menokohkan rakyat marjinal, tanpa banyak berteologi maupun berfilsafat.

Tetapi ironisnya, justru karena menolak untuk berpikir mendalam, dan maunya serba urik, dangkal dan enteng saja, mereka tidak menyadari telah menanam pohon-pohon tanpa akar. Mereka seakan menggali lubang galiannya sendiri, bagaikan memintal jaring-jaring yang kelak akan menjerat dirinya sendiri. Para sastrawan Amarika Latin merasa bertanggung jawab, bahkan merasa wajib membongkar atheisme terselubung yang marak dianut masyarakatnya sejak abad ke-18 dan 19 lalu. Ya, siapa lagi yang menjadi bahan analisis mereka, kalau bukan orang-orang – sebagaimana masyarakat kita juga – yang kemudian terjerumus menjadi mangsa para buaya dan garuda-garuda kapitalis dari hutan rimba belantara berikut peraturan the law of the jungle yang menyerimpung keseharian mereka.

Para tuan tanah yang sewenang-wenang terhadap rakyat kecil, elite militer dan politisi korup yang berkolaborasi dengan kaum agamawan agar berdoa bersama kemudian duduk di shaf depan masjid agung pusat kota. Termasuk para ibu pengajian berjilbab solehah, yang terperosok dalam rimba hoaks, fitnah dan kampanye hitam, laiknya para wanita pemuja Bunda Maria yang menjadi penikmat daging-daging panas. Tampil dengan elok dan anggun bersama aksesoris duniawi, menjadi komprador dan pembisik laiknya Drupadi yang mengompori para suami agar bertindak korup dan sewenang-wenang terhadap kepentingan segenap rakyat kita.

Exit mobile version