Polemik Hak Konstitusional Mantan Terpidana Sebagai Calon Kepala Daerah di Papua
Sebagai refleksi, Pilkada Serentak 2020 menyisakan sejumlah persoalan. Salah satunya polemik soal keikutsertaan mantan narapidana sebagai bakal calon kepala daerah. Setidaknya kasus ini terjadi di Papua, di mana Yusak Yaluwo tercatat sebagai bakal calon bupati Boven Digoel. Yusak berpasangan dengan Jacobus Waremba yang diusung tiga partai politik di antaranya Golkar, Demokrat dan Perindo.
Oleh: Laode M Rusliadi Suhi
Pada 23 September 2020, jadwal penetapan bakal calon kepala daerah. Berdasarkan catatan KPU Papua, sebanyak 35 bakal paslon bupati dan wakil bupati telah resmi mendaftar. Semuanya menyatakan siap mengikuti Pilkada Serentak yang bakal digelar di 11 kabupaten di Papua mulai dari Keerom hingga Yalimo.
Seperti diketahui, Yusak Yaluwo adalah seorang eks narapidana kasus korupsi pada 2010 silam. Kala itu dia resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan kapal tangker LCT 180 Wambon dan APBD Kabupaten Boven Digoel. Uniknya, Yusak justru terpilih menjadi Bupati Boven Digoel yang memantik polemik secara nasional. Lantas pertanyaan reflektifnya, apakah mantan narapidana dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk menjadi peserta Pilkada?
Pertanyaan tersebut patut diajukan untuk memberikan kepastian hukum. Sebab, pada 2019 lalu Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh lembaga pegiat demokrasi dan pegiat anti korupsi yakni Perludem dan ICW perihal pengujian UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang- Undang (UU Nomor 10 Tahun 2016) Pasal 7 ayat (2) huruf (g). Bunyinya, “Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Putusan MK tersebut merupakan konstitusional bersyarat, sehingga Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 selengkapnya menjadi berbunyi sebagaimana dalam amar pututsan MK tersebut (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Dengan kata lain, MK memutuskan bahwa eks narapidana boleh ikut Pilkada dengan pengecualian dengan memenuhi empat syarat. Salah satunya, mantan terpidana diberi jeda lima tahun sejak masa hukumannya usai untuk mencalonkan diri di Pilkada. Menurut hakim, pertimbangan waktu untuk adaptasi disesuaikan dengan satu kali periode pemilihan umum.
Hemat penulis, tafsir MK adalah hal yang bijaksana dalam sistem demokrasi di Indonesia selama tidak ditafsirkan lain oleh masyarakat dengan menyatakan MK memberi ruang atau celah kepada mantan koruptor untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Sebab, konteks pendapat masyarakat yang melarang mantan koruptor ikut Pilkada Serentak 2020 merupakan kebebasan dan hak asasi manusia sehingga sah-sah saja dalam berdemokrasi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
KPU selaku lembaga penyelenggara pemilihan merespon atas putusan MK dengan mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan kepala daerah tidak sejalan dengan tafsir MK. Hal ini justru menunjukkan inkonsistensi ihwal aturan terkait mantan terpidana dalam PKPU. Pertama, pengaturan syarat pencalonan bagi mantan terpidana yang tertuang dalam PKPU Nomor 1 Tahun 2020 masih mewajibkan kepada terpidana karena kealpaan dan alasan politik untuk “secara jujur atau terbuka mengemukakan kepada publik” sebagai mantan terpidana. Sedangkan menurut tafsir MK, terpidana melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik sebagai pengecualian.
Kedua, ada kewajiban pidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik serta tidak menjalani pidana dalam penjara untuk “secara jujur atau terbuka mengemukakan kepada publik” adalah norma yang tidak berdasar. Sebab, dalam putusan MK kewajiban tersebut ditujukan untuk mantan narapidana, yaitu terpidana yang menjalani pidana penjara atau kurungan badan. Ketiga, PKPU tersebut tidak jelas membedakan anara mantan terpidan dan mantan narapidana sehingga terkesan mempersamakan keduannya. Perlu diketahui, mantan terpidana adalah seseorang yang telah pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan mantan narapidana adalah seseorang yang pernah menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Penjelasan tersebut juga tertuang dalam surat Ketua Muda Pidana MA Nomor 30/Tuaka.Pid/IX/2015.
Di sisi lain, KPU RI terkesan “memaksakan” agar terpidana korupsi tidak ikut mencalonkan diri dalam Pilkada dengan alasan lembaga penyelenggara tidak ingin terpidana yang melakukan tindak pidana korupsi terpilih lagi menjadi kepala daerah yang berpotensi perilaku serupa terulang kembali. Ini sebenarnya dapat diterima dengan wajar, tetapi tidak menghalangi hak politik seseorang sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi kita. Jika cenderung “dipaksakan” malah justru bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, selama tidak ada putusan hukum yang menyatakan hak politik seseorang telah dicabut sebagaimana dalam beberapa putusan tindak pidana yang menyatakan adanya klausul tentang dicabutnya hak politik seseorang.
Perbedaan antara tafsir MK melalui Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 dengan tafsir KPU melalui PKPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan kepala daerah merupakan polemik yang harus diselesaikan dengan langkah meninjau ulang peraturan KPU tersebut agar tidak ada penafsiran hukum yang berbeda dan berkembang di masyarakat sehingga demokrasi kita tetap berjalan dengan sehat.
Oleh: Laode M Rusliadi Suhi – Praktisi Hukum Pemerintahan