Petani Jagung dan Peternak Jatim Menjerit, Kinerja Pemprov Jatim Disorot

Petani Jagung dan Peternak Jatim Menjerit, Kinerja Pemprov Jatim Disorot
Petani jagung dan peternak Jatim menjerit, kinerja Pemprov Jatim disorot/Foto: Anggota Komisi B DPRD Jatim Agatha Retnosari.

NUSANTARANEWS.CO, Surabaya – Anggota Komisi B DPRD Jatim Agatha Retnosari mempertanyakan kinerja pemprov Jatim yang terkesan lamban dalam menangani persoalan petani, khususnya petani jagung dan peternak di Jatim yang saat ini alami keterpurukan.  Kritikan dilontarkan Agatha pasca penangkapan seorang pria di Blitar yang membentangkan poster meneriakkan aspirasinya saat kunjungan kerja Jokowi ke Blitar.

“Sebenarnya tidak perlu terjadi bila antisipasi cepat dilaksanakan oleh Pemprov. Pemprov Jatim harus hadir di tengah masyarakat,” kata Agatha, Kamis (9/9)

Menurut Agatha, kondisi petani dan peternak Jatim beberapa waktu belakangan ini memang berat menghadapi Pandemi Covid-19.

“Di satu sisi harga jagung melambung, membuat harga pakan ayam naik tapi harga telur justru turun,” tambah Agatha. Harga memang selalu mengikuti fluktuasi pasar, yang disebut hukum suplai dan permintaan.

Seperti diketahui sejak beberapa bulan lalu harga jagung naik. Ada serangan hama tikus di beberapa kabupaten di Jatim. Bahkan sampai ada lomba menangkap tikus. Artinya produksi jagung ada persoalan.

Menurut Agatha, kondisi semacam ini seharusnya Pemprov Jatim bisa melakukan terobosan kebijakan, misal dengan kebijakan pemberian bansos non tunai, atau membeli produk pertanian dan peternakan dari petani dan peternak jatim untuk dijual di pasar murah.

“Jika kasus harga telur jatuh, harga lombok jatuh, ayam dan lain lain jatuh, tapi disisi lain rakyat miskin pun tak mampu membelinya meski murah karena tak adanya ketersediaan akses, maka sudah wajib hukumnya pemprov Jatim harus hadir disana,” tegasnya lagi.

Apalagi lanjut anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim ini,  jika  menyoroti hasil IKP (Indeks Ketahanan Pangan) 2020 yang dirilis oleh Kementerian Pertanian, ternyata Provinsi Jawa Timur,  sebagai lumbung pangan nasional menduduki peringkat ke-7 dari 34 Provinsi dengan indeks IKP 79.9.  Jatim berada di posisi tujuh setelah Bali, Jateng, Sulsesl, DIY, Gorontalo, dan Kalsel.

Meski produksi berlimpah namun akses rakyat apalagi di tengah masa pendemi tak sama dengan tahun-tahun sebelum pendemi.

“Ibarat tikus mati di lumbung padi,” ujarnya.

Agatha khawatir jika kondisi ini dibiarkan terus maka bukan tidak mungkin peringkat Jatim yang sudah sempat naik akan turun.

“Karena dalam Indeks Ketahanan Pangan menyertakan beberapa parameter yang dijadikan ukuran,” jelasnya.

Agatha mendesak dinas terkait bersinergi, menuntaskan permasalahan petani dan peternak kita. Langkah taktis penyelamatan petani melalui intervensi pemerintah mutlak dilakukan.

“Jangan jalan sendiri-sendiri,” lanjutnya.

Agatha menyarankan, pemerintah mendorong CSR BUMD untuk memberikan stimulus berupa bantuan non tunai, dengan membeli hasil produksi petani dan peternak sehingga mampu memberikan daya ungkit yang berarti untuk sektor-sektor lain.

“Kita selamatkan petani dan peternak dengan memberikan kecukupan gizi anak-anak Jawa Timur sehingga angka stunting bisa ditekan, karena bantuan yang ada, rakyat bisa belanja konsumsi murah, uang mereka bisa untuk bayar SPP sekolah, sehingga anak tidak putus sekolah,” katanya.

Kecukupan gizi pada akhirnya, menurut Agatha diperlukan dalam jangka panjang untuk meningkatkan mutu generasi muda Jawa Timur dalam menyongsong Jawa Timur 2045.

“Ini agar SDM di Jawa Timur sehat, aktif dan produktif,” pungkasnya. (setya)

Exit mobile version