Pesantren Sebagai Penangkal Paham yang Membahayakan Bangsa

Pondok Pesantren di Jawa/Foto via brilio/Nusantaranews

Pondok Pesantren di Jawa/Foto via brilio/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarat – Penetapan hari Santri Nasional atau disingkat Hasan merupakan wujud penghargaan kepada para ulama dan kiai yang telah terlibat dalam memperjuangkan bangsa Indonesia. Baik sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Para ulama dan kiai pendiri pondok pesantren banyak gugur di medan peperangan saat melawan penjajahan kolonial. Juga perjuangan para santri saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.  Kala itu bersama tentara Indonesia, ribuan santri turut memukul mundur pasukan Britania Raya.

Tak hanya itu, perjuangan para santri juga tampak ketika para kiai dan santri berhasil turut menggagalkan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1948 dan juga tahun 1965.

Perjuangan para santri dan kiai ini tak lepas dari semangat cinta tanah air yang begitu kuat dalam diri mereka. Hubbul watahon minal iman merupakan prinsip yang terus dipegang teguh para kelompok pesantren ini. Pesantren tidak hanya mengajarkan kitab-kitab fiqh, tauhid, hadist maupun ilmu alat, melainkan juga menumbuhkan semangat cinta tanah air.

Tak berlebihan, jika Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj menyebut bahwa pesantren telah terbukti membangun karakter bangsa. Pesantren juga menjadi benteng sekaligus penjaga gawang dalam menangkal berbagai paham yang membahayakan bangsa.

“Jelas dong, pesantren terbukti telah membangun karakter bangsa. Coba kalau tidak ada pesantren, budaya kita hilang dan hancur oleh Islam radikal. Yang sebelah, liar sekuler gak penting agama. Agamanya terlalu tekstual ekstrem. Adanya pesantren itulah, maka lahir generasi yang relejius, nasionalis, moderat, toleran, kalau dalam bahasa Arab tawassud, dan tasammuh. Tawassud moderat dan tasammuh itu toleran,” ungkap Said Aqil di gedung PBNU, Kamis malam (10/8/2017).

Sebagai informasi, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Kelahirannya tidak dapat dipisahkan dari sejarah awal kedatangan Islam ke Indonesia, sejak abad ke-6 M, yakni dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang telah berkembang sebelum kedatangan Islam itu sendiri.

Dengan memainkan peran sebagai instrumen pengembangan ajaran agama Islam, pesantren lahir dari rahim budaya Indonesia yang genuin. Oleh karenanya, dalam amatan almarhum Prof. Dr. Nurcholis Madjid, pesantren tidak hanya menjadi lembaga yang identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).

Sebagai lembaga yang murni berkarakter keindonesiaan, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya, sehingga antara pesantren dengan komunitas lingkungannya memiliki keterkaitan erat yang tidak bisa terpisahkan.

Editor: Romandhon

Exit mobile version