Perkawinan Anak, Upaya Memundurkan Target Kedewasaan Berpikir

Perkawinan Anak, Upaya Memundurkan Target Kedewasaan Berpikir
Perkawinan Anak, Upaya Memundurkan Target Kedewasaan Berpikir. (Foto Ilustrasi/Istimewa)

Perkawinan Anak, Upaya Memundurkan Target Kedewasaan Berpikir

Oleh: Tawati, Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Aktif Dakwah Muslimah Majalengka

Pernikahan seorang gadis kelas 1 SMP di Sidrap, Sulawesi Selatan, Sri Wahyuni (13) viral di media sosial. Abdul Mu’ti, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengatakan, pernikahan tersebut melanggar undang-undang (Detiknews, 17/6/2019).

Menikah usia anak-anak saat ini tidak relevan dengan kondisi zaman, karena anak-anak tidak matang mentalnya. Tak dipungkiri bahwa generasi muslim saat ini mengalami masa kelambatan berpikir, sementara fisik mereka digempur oleh situasi yang mempercepat kedewasaan biologis.

Kita seolah terbiasa memandang anak-anak SD kelas 3, 4, 5 dan 6, sebagai ”anak-anak”. Bahkan usia SMP dan SMA pun masih dipandang anak-anak.

Kalimat “jangan rampas kegembiraan usia kanak-kanak mereka”, dipahami sebagai hidup tanpa tanggung jawab. Sarapan pagi masih disiapkan, baju-baju dan sepatu masih dicucikan, semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan pembantu, dan akhirnya anak-anak kita pun terbiasa hidup tanpa kemandirian.

Kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah pun tidak menjamin anak untuk mengalami kematangan berpikir. Ilmu yang dipelajari hanya menjadi memori singkat, tanpa mengerti bahwa ilmu itu harus menjadi alat untuk menyelesaikan masalah kehidupan.

Sasaran Moral

Sementara di sisi lain, kultur kehidupan masyarakat memacu hormon-hormon pertumbuhan termasuk di antaranya hormon seksualitas. Aurat wanita terpampang di mana-mana. Kehidupan bebas antara pria dan wanita semakin memicu kematangan seksual.

Media-media massa membombardir mata masyarakat dengan tayangan-tayangan pornografi, pornoaksi dan kehidupan seks bebas. Sarana internet yang seharusnya menjadi alat bantu bagi dunia pendidikan justru menjadi momok yang mempercepat hancurnya moral bangsa. Betapa mudahnya mendapatkan akses kehidupan bejat semacam pornografi, homoseksual, lesbianisme dan perilaku seks menyimpang lainnya.

Manusia dewasa di sekitar anak-anak kenyataannya juga tidak bisa menjadi contoh yang baik. Hidup di dunia manusia dewasa dalam kacamata anak adalah belajar bagaimana kebohongan-kebohongan dengan mudahnya terucap dari lisan, materi dan kesenangan dunia menjadi fokus perhatian utama. Mengabaikan janji, pelanggaran komitmen, mempertukarkan harga diri dengan prestise dan kedudukan duniawi, korupsi, suap-menyuap, perselingkuhan hingga mengabaikan tanggungjawab menjadi pelajaran-pelajaran yang diserap anak dari dunia manusia dewasa.

Anak tak pernah mendapatkan informasi dan pelajaran bagaimana hidup bertanggungjawab. Anak tak pernah dibekali informasi tentang kewajiban-kewajiban yang harus mereka pikul begitu mereka beranjak dewasa. Orang tua tak pernah mengajarkan bagaimana menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaan diri, bagaimana menutup aurat dan tidak menghinakan diri, bagaimana bergaul dengan lawan jenis, bagaimana  memenuhi kebutuhan hidup dengan baik, halal dan bertanggungjawab serta bagaimana peduli terhadap persoalan yang menimpa kaum muslimin.

Maka wajar bila anak-anak kita tak pernah dewasa, tak mampu menjadi pemimpin bahkan untuk dirinya sendiri. Karena dunia orang tua pun miskin dari sikap dewasa dan bertanggung jawab.

Ketika anak-anak terhambat untuk mencapai kematangan berpikir di usia dewasa, maka negara kehilangan generasi pemimpin yang berkualitas. Wajar jika negeri ini hanya menjadi pecundang. Para pemimpin tak menyadari bahwa musuh-musuh Islam sedang menghentikan laju progresivitas umat Islam.

Memundurkan Target Kedewasaan

Istilah pernikahan dini adalah propaganda Barat untuk menaikan usia pernikahan. Bergulir berbagai UU yang justru bagaikan memutar jarum jam agar berhenti bahkan kalau bisa bergerak terbalik. Istilah anak pun dikaburkan. Ketika Islam menetapkan kedewasaan adalah saat anak mulai akil baligh secara biologis, maka saat itulah sebenarnya potensi kematangan berfikir bisa berfungsi optimal.

UU Perkawinan yang berlaku saat ini sebenarnya telah memundurkan target kedewasaan berpikir seorang anak, dari usia 9 tahun menjadi 16 tahun. Namun itupun masih ditutupi dengan UU Perlindungan anak yang menambah mundur istilah anak menjadi usia 18 tahun.

Di sisi lain, kehidupan bebas mempercepat kematangan biologis anak. Maka disiapkan rancangan yang semakin merusak dengan legalisasi perzinahan yang tersembunyi secara manis di balik program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Ketika remaja putri terjerumus dalam situasi ”Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD)” akibat pergaulan bebas, telah siap pula paket kejahatan legalisasi aborsi yang terlipat rapi di balik program penurunan Angka Kematian Ibu (AKI).

Persoalan anak adalah tanggung jawab negara. Karena seluruh skenario keji untuk menghancurkan sebuah bangsa ini ada di bawah payung kebijakan-kebijakan negara. Kematangan pernikahan tidak tergantung usia, namun usia mempengaruhi kedewasaan dalam berumah tangga.

Saat ini orang tua menjadi penanggungjawab utama kematangan berpikir anak. Konsekuensi ketika seorang anak memasuki usia akil baligh, adalah mereka harus mampu memikul tanggungjawab sebagai seorang muslim dan muslimah dewasa.

Di sinilah orang tua harus memperhitungkan secara cermat bagaimana tahap tumbuh kembang anak dan kapan saat anak-anak mereka memasuki usia dewasa. Untuk itu pendidikan yang pertama adalah tanggungjawab orang tua. Orang tua yang harus mengantarkan anak menjadi seorang muslim dewasa yang sempurna.

Sistem Islam mencegah terjadinya perkawinan anak-anak, karena anak-anak di peradaban Islam fokus belajar, menggembleng diri dengan kematangan berpikir dan mental, sehingga menikah pada usia siap dan matang. Anak yang sudah balig menikah, tidak akan disebut pernikahan anak atau pernikahan dini, karena hakikatnya dia sudah dewasa. (*)

Exit mobile version