Perjalanan Pulang
Pada garis dan lekukan tubuhmu
Runcing mata gelapmu tertancap
Bercak merah kecupan pun meriap
Dalam helai biru daun rambutmu
Di lembaran cokelat janur madah
Langsat lengan bulan pun rebah
Bergantung pada lengkung pelepah
Ranting dan daun runduk ke tanah
Kuderas dengkuran bukit kelabu
Di atas asahan malam jejak saudara serabu
Berlapis lempengan kapur ranggas berdebu
Berlapis lembaran riwayat sedarah seibu
Kusesap bekas merah kecupan
ujung rotan, garis peta kelana
di punggung kenyalmu, juga nasibmu
Serbuk kebahagiaan ditaburkan
Seperti dongeng, tak selesai dikisahkan
Aduhai, wangi rambutmu berjumbai
Dalam belaian ajaib tembakau
Sebelum sangsai kecupan kemarau
Hari-harimu penuh gelak tawa, juga lagu sendu
Basahi ranjang perambah dari belahan sejarah
Bergegas seusai peras payudaramu hingga madu,
Maduramu, tandas habis direguk:
Nira pun tandas dalam balutan renik
sentir lelaki seberang.
Manis wajahmu tinggal seujung cangkul,
molek dan lekukan tubuhmu setambun bakul
Di ambang senja peniti pematang
Bercocok syahadat, menanam Iman
Di bentangan tegalan sisa perahan
“Siapa dia?”
Angin menderai ke batas sangsai
Mengiring lunglai keheningan
Akulah pendatang dari dunia ketiga
Mencarimu dari gemerincing kuping lotreng
Bayang mata celuritmu membias
Di atas punggung dan langsing sapi betinamu,
Oleh serungking penderas madah
“Mereka mengajakku ke panggung tak berpancang?”
Surau beku, rimbun beringin berserek
Akulah pendatang dari seberang, mengenalmu
saat berselempang jaring di pelabuhan Parindu
Abaikan pahatan ukiran Karduluk dalam pilumu
Kusepah jantung dan serpihan kelor
Tanahmu merepih abaikan sulur
Diabai badai hamburan kapur
Nanap pandangan jauh mengabur
“Engkaukah pengetuk kesunyianku?”
Kepingan cahaya fajar pecah menderai
Ke tangga tanah Pendalungan
anak-anakmu memanjat surai
Aku datang dengan dengan selembar daun pisang
Dari Karamian, gerbang anakmu menyeberangkan malang
Kini kujelang dengan pisang berbalur tebu
Dengan bundelan sarung merah kusam kelabu
“Oh, Merah Darah?”
Merah darah, hijau ilalang
Dalam lingkaran tanahmu digenggam
Sepah amarah, tinjau kepalang
Dalam barisan titahmu bersemayam
Kubakar kuning biji kepunyaanku cuma
Bersanding di atas hamparan batu api
Kubiarkan gending dari Pacinan dan Talangsiring menggema
Menghiburku: Paraban tak bertuan
Napasku semanis tebu di Pelabuhan Tua
Dengan ombak, dengan buih putih tulang
Sepur memanjang seperti ular
Berderak parau dari stasiun gusar
Ditegur sayang hati mekar
Seumur kerontang hari bersinar
Namaku Paraban, bermata api
Wajahku ayu berlulur celatong sapi
Lahir dalam lingkaran mata sepi
Ayahku Magma Larva diraja
Di nampan nasib aji bejana
Punggungku punggung
limbung pengunjung
Apiku api mata Alam Raya
Siap riapi gelap Madura
Bila tiba dalam dekapan malam
Kerinduan kulayarkan
Ke samudera cerita layar jukong
Kuacuh seluruh dekapan gelap
Kutimang sayang malang kujelang
Di bentangan fajar untung kudekap
Mata api, api mataku
Nyalang pandangi sumur kalbu
Kelam melintang, riuh kuselami
di mata air keheningan kuresapi
Tapi apa kiranya, Kekasih, menggigil
Dalam dekapan barisan aksara mungil
Sebaiknya singkap kelambu putihmu
Biarlah sejarah tak bias dipangku
Ibuku Mekasan berselimut kerinduan:
Berkonde Lancor, berterompah Iman
Bila kau sudi singgah sejenak, wahai Kekasihku rupawan
Selipkan celurit dalam lipatan manis Kesaksian
Di Gerbang Salam bintang kupetik
Bersama galah, madah dan madu
Biarpun perih mendesis di punggung waktu
Kurengkuh tubuhmu, aduhai, nasibmu parau beserpih
Ke udara hangat bahtera perjumpaan
Di lembaran jerami kadang sapi berkelindan
Dan, helai-helai layar perahu sobek berderai
Ke pangkalan tua hampir sekarat
Disesap asin harpan terlaknat
Tanjung dijunjung, Camplong dijelang
Teduh dikudung doamu Sampang
Terasa meresap jauh ke palung
Tegari batin rantau terkurung
Pada malam ketika aku memintal kegelisahan
Kususuri jenjang lehermu
Kini hambar di bibir. Bias di pandangan
Kurebahkan kerling mataku di tebing Payudan
Bersama dongeng cengeng rerumputan
Tentang keajaiban persilangan
sepasang kekasih buaian Sumenep Kraton
Kutebar garam-garam cintaku ke lautmu,
Meski kutahu burung kutilang tak tertangkap pandang
Tapi payang kerinduanku kepadamu, Madura, sayang
Kutebar, dan terus kudedah hingga petang
Maka dengan baju kusut dan belepotan
Kucari manis senyummu dengan hati luruh
Dingin napasmu yang tak hampir kupercaya :
Saat wangi tubuhmu menyeruak dari sabut sesaji
Menjalar ke sulur-sulur pohon rinduku.
Tangerang, Bandung, 2016
Mahwi Air Tawar, lahir di pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983. Sejumlah cerpen dan puisinya dipublikasikan di Kompas, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Bali Post, Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Sajak, dan lain-lain. Cerpen dan puisinya juga termuat di sejumlah antologi bersama, di antaranya 3 Penyair Timur (2006, puisi), Herbarium (2006, puisi), Medan Puisi, Sampena the 1 International Poetry (2006, puisi), IBUMI: Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (2008, puisi), Sepasang Bekicot Muda (2006, cerpen), dan Robingah, Cintailah Aku (2007, cerpen). Salah satu cerpennya yang berjudul Pulung terpilih sebagai cerpen terbaik dalam lomba yang digelar oleh STAIN Purwokerto dan terkumpul dalam buku Rendezvouz di Tepi Serayu (2008-2009), Jalan Menikung ke Bukit Timah (TSI II, cerpen), Ujung Laut Pulau Marwah (TSI III, cerpen), Tuah Tara No Ate (TSI III, cerpen), Perayaan Kematian (2011, cerpen). Kumpulan cerpen pertamanya, Mata Blater (2010), mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta, 2011. Ia aktif mengelola komunitas sastra Poetika dan Kalèlès, Kelompok Kajian Seni Budaya Madura, di Yogyakarta. Buku cerpennya yang terbaru adalah Karapan Laut (2014), dan buku puisinya yang sudah terbit; “Taneyan”, “Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa” dan “Tanah Air Puisi Air Tanah Puisi”. Sehari-hari ia bekerja sebagai editor Komodo Books.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].