Perempuan dalam Politik: Peran Krusial Megawati dalam Perkembangan Politik Indonesia
Berbicara tentang politik, peran perempuan pada zaman dahulu tidaklah terlalu dilihat. Namun, kesenjangan gender yang terjadi beberapa abad lalu memantik semangat kaum perempuan untuk bangkit.
Oleh: Pang M. Jannisyarief
Teori Feminisme digagas pada abad ke-empat oleh perempuan-perempuan seperti: Judith Butler, Wolstoncraft, dan Simone de Beauvior. Mereka mengagas suatu pemahaman tentang peran perempuan di dalam konstelasi politik. Karena sebelumnya, peran perempuan dibatasi oleh tindakan kaum-kaum patriaki yang seolah tidak menempatkan perempuan pada seharusnya. Setelah gagasan tersebut munculah istilah equal right’s movement atau gerakan persamaan hak yang memiliki arti perempuan dan laki-laki harus diberikan kesempatan yang sama. Hingga pada akhirnya peran perempuan dalam politik semakin dinamis dan terbuka di era saat ini.
Peran perempuan di dalam konstelasi politik di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Dahulu, di Indonesia, perempuan tak ubahnya hanya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahan saja. Terutama saat era penjajahan, peran perempuan di dalam politik tidaklah terlalu dominan dan banyak yang meragukan. Padahal, Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi tidak boleh membatasi hak warganya, sistem demokrasi tidak membatasi seorang perempuan untuk terjun langsung ke dunia politik. Salah satu Teori Demokrasi yaitu demokrasi prosedural berisi bahwa indikator demokrasi di sebuah negara adalah ketika negara tersebut melindungi kebebasan dari seorang individu untuk mengikuti Pemilihan Umum. Oleh karena itu, perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Terlebih lagi konstitusi telah mengamanatkan bahwa setiap Warga Negara Indonesia memiliki hak untuk mengikuti kontestasi politik tak terkecuali perempuan.
Berbicara tentang perempuan politik negara Indonesia, hal ini melekat kepada aktris politik paling fenomenal yang sudah ada sejak orde baru dan bertahan hingga saat ini adalah Megawati Sukarnoputri. Ia lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947 dengan nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri. Sebagai putri Presiden pertama RI, Megawati kecil sudah memiliki pengalaman dengan ikut bertemu tamu-tamu dari luar negeri bersama sang ayah. Sebagai putri Presiden, Megawati sering mengamati cara-cara ayahnya dalam berpolitik dan cara membangun bangsanya. Hal itulah yang membuat Megawati kokoh untuk terjun ke kontestasi politik.
Megawati pertama kali berkarir politik pada tahun 1987. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sedang mencari seorang yang simbolik dan dianggap bisa menaikkan elektabilitas partai. Menurut Teori Klapp, Pemimpin Simbolik adalah seseorang yang dapat mengkomunikasikan bagaimana memperoleh status, prestise, dan reputasi, dengan kata lain untuk memenuhi fungsi dan simbol yang menyatu. PDI menganggap Megawati memiliki kapabilitas untuk mendongkrak hal tersebut karena ia adalah putri Sukarno yang masih dicintai seluruh masyarakat Indonesia. Megawati muda memulai karir sebagai ketua PDI Cabang Jakarta dan sejak saat itu Megawati selalu diikutsertakan dalam kampanye yang dilakukan PDI untuk mendongkrak elektabilitas partai. Tak hanya menjadi pemimpin yang simbolik, Megawati juga terjun langsung di PDI. Saat kongres PDI diselenggarakan tahun 1993, Megawati terpilih menjadi ketua umum dan menyingkirkan lawan politiknya Suryadi. Namun, kubu Suryadi tidak terima dan membuat kongres tandingan di Medan tahun 1996. Megawatipun bereaksi dan membentuk PDI-Perjuangan dan berhasil memenangkan pemilu tahun 1999.
Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia pada tahap pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999 menemani K.H. Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi Presiden. Karir politik Megawati semakin menanjak hingga ia menjadi Presiden Indonesia kelima menggantikan Gus Dur yang dimakzulkan sekaligus mengukuhkan dirinya menjadi Presiden perempuan pertama di Indonesia.
Karir politik Megawati sebagai Presiden cukup mendapat sorotan. Banyak pihak yang meragukan kualitas Megawati karena beranggapan karir politik Megawati besar karena ia adalah puteri Sukarno. Ditambah lagi ia adalah seorang perempuan, seorang makhluk hidup yang dianggap lebih lemah dari laki-laki oleh kaum patriaki. Kemudian, saat ia menjabat sebagai Presiden, Megawati diserang oleh lawan-lawan politiknya sebagai Presiden yang gemar menjual aset-aset negara demi kepentingan politik pribadinya. Selain itu, banyak krisis yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, hal yang tidak disorot oleh banyak orang adalah keberhasilan Megawati dalam menaruh pondasi untuk pemberantasan korupsi sangat penting. Ia membentuk sebuah badan independen yang memiliki nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, persoalan korupsi harus ditangani secara serius oleh suatu lembaga yang independen dan bebas dari kepentingan politik. Pendirian KPK ini memiliki payung hukum UU RI. No. 30 tahun 2002. KPK yang didirikan di era Megawati ini memiliki pedoman dalam melaksanakan tugas berdasarkan lima asas: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Pondasi yang dibangun oleh Megawati cukup memberikan signifikansi bagi perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Hingga saat ini KPK banyak melakukan langkah-langkah preventif maupun tindakan terhadap orang-orang yang berniat mencuri uang rakyat.
Pondasi tersebut membuat Megawati terus berkarir di dunia politik melalui partainya PDI-P. Nama Megawati semakin mencuat dan ia pede untuk mengikuti pemilihan umum selanjutnya. Namun, Megawati tidak bisa meneruskan karir politiknya sebagai Presiden karena ia kalah dalam dua pemilu selanjutnya. Ia kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono dua kali berturut-turut. Padahal, SBY merupakan salah satu mentri pada saat Megawati menjadi Presiden. Walaupun gagal menjadi Presiden kembali, Megawati terus berkarir di dunia politik. karirnya di dalam politik sudah bukan lagi menjadi calon Presiden ataupun calon Wakil Presiden. Sebagai perempuan, ia mengubah peranan menjadi seorang “ibu” yang membimbing anak-anaknya menjadi pemimpin yang dapat memajukan bangsa ini untuk kedepannya. Langkah awal Megawati yang fenomenal adalah saat ia mengajukan Joko Widodo menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 yang berpasangan dengan Basuki Cahaya Purnama dari Partai Gerindra.
Setelah Joko Widodo menang, Megawati disorot karena ia berhasil membawa kadernya yang bukan merupakan politisi terkenal tetapi berhasil menjadi pemimpin ibu kota. Tak lain karena Megawati sebagai Ketua Umum pengusung Joko Widodo memakai gaya politik “Wong Cilik” yang memiliki arti, siapapun pemimpin di sebuah negara atau daerah, pemimpin tersebut harus memiliki prinsip bahwa kepentingan rakyat kecil harus diutamakan. Melalui ide pendekatan politik merakyat inilah Joko Widodo yang merupakan kader PDI-P ia berhasil menjadi pemimpin di DKI Jakarta saat itu.
Karir Jokowi sebagai kader PDI-P semakin meningkat, terbukti pada Pilpres 2014, Megawati berhasil membawa kadernya tersebut menjadi Presiden Republik Indonesia ke-7 Sekaligus membuktikan walau Megawati tidak dipilih lagi menjadi Presiden, namun, ia berhasil mengangkat anak didiknya menjadi Presiden. Saat Jokowi bertarung di Pilpres, banyak sekali fitnah muncul terhadap dirinya. Tak jarang strategi politik identitaspun dijalankan oleh kubu lawan dari PDI-P yang mengatakan PDI-P adalah antek-antek asing dan musuh bagi orang Islam. Politik identitas sendiri menurut Josep di dalam bukunya memiliki pengertian suatu strategi politik untuk menyerang identitas seseorang dengan menyerang Identitas, Suku, Agama, dan Ras. Hal ini ditentang oleh Megawati karena ia menganggap ketika suatu konstelasi politik mengikuti politik, mereka harus meletakkan seluruh atribut SARA agar tidak melukai orang lain.
Strategi politik yang dijalankan Megawati untuk mendukung Jokowi masih sama. Ia memakai pendekatan politik kerakyatan untuk menepis isu-isu politik identitas. Karena menurutnya dengan mengaktualisasi janji-janji ke masyarakat dapat membuat masyarakat yang tadinya membenci seseorang menjadi mendukung orang tersebut. Dalam perjalanan karir politik Megawati pun, ia tak pernah membeda-bedakan seseorang berdasarkan suku, agama, atau ras apapun. Karena ia menilai Pancasila sebagai ideologi bangsa, tidak menginginkan adanya perpecahan dikalangan anak bangsa. Kecintaan Megawati terhadap ideologi Pancasila membuat Presiden Jokowi menunjuknya menjadi Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Megawati menilai bahwa Pancasila harus benar-benar diaktualisasikan menjadi sebuah sumber pemahaman yang dapat diimplementasikan oleh anak bangsa. Ketika isu radikalisme merebak akhir-akhir ini membuat Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP bergerak. Ia bersama jajarannya, banyak melakukan penyuluhan ke institusi pendidikan atau institusi lainnya untuk menanamkan paham Pancasila secara utuh. Karena Megawati belajar dari ayahnya yang juga salah satu pencetus adanya Pancasila di sidang BPUPKI.
Sebagai Ketua Umum PDI-P, selain Jokowi, Megawati juga turut menghasilkan kader-kader berkualitas lainnya yang menjadi pemimpin negeri ini. Sigit Pamungkas mengemukakan Teori Rekruitmen Politik yaitu sebuah teori yang menggagas tentang peran partai politik sebagai sarana input politik untuk menghasilkan kader-kader yang dapat diproses untuk menjadi pemimpin. Megawati melalui PDI-P dapat membuktikannya. Banyak kader-kader PDI-P yang menjadi pemimpin di negeri ini. Salah satunya adalah Tri Risma Harini. Karir politik Tri Risma Harini sebagai Walikota Surabaya yang cukup mendapat perhatian yang baik. Bahkan Surabaya pernah mendapat penghargaan menjadi kota terbersih pada tahun 2017. Hal ini tidak terlepas dari peran Megawati yang sebagai ketua umum selalu memberikan arahan-arahan kepada kadernya untuk bekerja memakai hati. Bahkan, Risma digadang-gadang akan diusung Megawati di Pilkada DKI Jakarta tahun 2022 mendatang.
Kemudian peran Megawati dalam mengontrol basis pemilih PDI-P di Jawa Tengah juga patut kita apresiasi. Bagaimana ia berhasil membangun sebuah bangunan “Politik Banteng” di Jawa Tengah hingga akhirnya PDI-P selalu berkuasa di Jawa Tengah hingga saat ini dan pada saat Pemilu, PDI-P selalu berhasil menang telak di Jawa Tengah. Selain itu, peran Megawati yang tak kalah penting adalah mendidik anak kandungnya, Puan Maharani, untuk mengikuti jejak ibunya berkarir dalam dunia politik. Puan Maharani memulai karirnya sebagai Anggota Fraksi PDI-P di DPR RI. Karir politiknya semakin berkembang hingga ia terpilih menjadi Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan pada 2014-2019. Kemudian, pada 2019 PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu mencalonkan Puan Maharani sebagai hingga Ketua DPR RI periode 2019-2024. Megawati pun tentunya masih ambisius untuk menjadikan anaknya menjadi Presiden ataupun Wakil Presiden pada 2024 mendatang. Terlebih lagi, Joko Widodo sudah tidak bisa lagi mencalonkan diri, otomatis slot PDI-P untuk 2024 masih abu-abu dan kemungkinan Puan Maharani akan maju untuk 2024.
Karir politik Megawati saat ini memang tidak memungkinkan dirinya menjadi seorang Presiden RI kembali. Di usianya yang ke-73 mengisyaratkan karir politik Megawati hanya melalui pengembangan kader-kader yang nantinya bertugas untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Walaupun banyak cibiran yang dilayangkan kepadanya, namun ia membuktikan bahwa kader-kader yang dikirimnya untuk Indonesia maupun ke daerah-daerah merupakan kader yang mengutamakan kepentingan rakyat dan kader yang selalu berusaha mendahulukan rakyat di atas kepentingan diri sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi yang berarti sesuatu yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[]
Daftar Pustaka
Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute For Democracy and Welfarism
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Anggara, Sahya. 2013. Sistem Politik Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Josep. 2018. Dinamika Politik Identitas di Indonesia. Jakarta: Indocamp.
Hanafie, Haniah dan Ana Sabhana. 2018. Kekuatan-kekuatan Politik. Depok: Rajawali Pers.
Nurjannah, Indah Rizki Aruma et al. 2018. “Megawati Presidential Political Policy in 2001-2004.” Pendidikan Sejarah Universitas Jember 2(1):53-58.
Safitri, Dini. 2014. “Woman and Political Communication: Megawati dan Pemimpin Simbolik.” Universitas Negeri Jakarta 9(1):50-56.
Retno, Devita. “Sejarah Terbentuknya KPK.” Diunduh 19 April 2020 (https://sejarahlengkap.com/organisasi/sejarah-terbentuknya-kpk).