Perang Adalah Putaran Terakhir Sanksi DK PBB Terhadap Korea Utara

Pada 29 Maret 2013 silam, Korea Utara mengadakan parade militer dalam sebuah pertemuan di Kim Il Sung Square di Pyongyang. (Foto: AFP/Getty Images)

Pada 29 Maret 2013 silam, Korea Utara mengadakan parade militer dalam sebuah pertemuan di Kim Il Sung Square di Pyongyang. (Foto: AFP/Getty Images)

NUSANTARANEWS.CO – Amerika Serikat berhasil mempengaruhi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk kembali menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara tanggapan atas peluncuran sebuah rudal balistik pada November lalu.

Sanksi lanjut ini sebagai upaya menekan Pyongyang agar menghentikan program nuklirnya yang terus mengalami kemajuan signifikan. Namun, resolusi DK PBB yang diprakarsai Amerika Serikat tersebut memang patut dipertanyakan efektifitasnya mengingat jumlah senjata nuklir AS sebenarnya lebih banyak dibandingkan Korea Utara. Ingat, AS menggunakan juga menggunakan senjata pemusnah massal saat menghancurkan Yogoslavia, Libya dan perang Irak. Nyatanya, DK PBB bungkam.

Tak hanya sanksi ekonomi lewat pembatasan impor minyak Korut hingga 90 persen, AS juga menekan DK PBB untuk menjatuhkan sanksi yang lebih berat kepada negara yang dipimpin Kim Jong-un.

Hal itu diungkapkan kementerian luar negeri Korea Utara seperti dikutip KCNA News Agency menyebutkan, putaran terakhir sanksi DK PBB adalah konflik militer (perang). Kemenlu Korea Utara mengancam negara mana pun yang mendukung opsi terakhir yang disusun DK PBB tersebut.

Seperti diwartakan, DK PBB memberlakukan sanksi terbaru terhadap Korea Utara yang berusaha membatasi akses negara komunis ini terhada produk minyak bumi dan minyak mentah serta pendapatannya dari pekerja di luar negeri. Sanksi yang diusulkan AS ini termasuk membatasi ekspor kerosin, bensin, dan produk-produk pengilangan minyak lain ke Korea Utara menjadi 500.000 barel setahun mulai bulan Januari. Ini pengurangan hampir 90% dari tingkat saat ini yaitu 4,5 juta barel.

Bahkan, resolusi DK PBB ini juga menuntut pemulangan orang-orang Korea Utara yang bekerja di luar negeri, dalam rentang waktu 24 bulan. Diketahui, China dan Rusia merupakan dua negara di mana para pekerja asal Korea Utara banyak bekerja. Hampir 100 ribu pekerja di luar negeri yang berbasis di China dan Rusia, menyalurkan sekitar USD500 juta dalam bentuk upah setahun untuk membantu pemerintahan Korea Utara membangun negaranya.

Menanggapi sanksi tersebut, dalam sebuah pernyataan kementerian luar negeri Korea Utara menyebut AS ketakut dengan kekuatan nuklir Pyongyang. “Mereka hiruk pikuk bergerak untuk menjatuhkan sanksi dan tekanan terberat kepada negara kami,” kata pernyataan tersebut. (red)

Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version