Kolom Letnan Jenderal TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin
NUSANTARANEWS.CO – Tinjauan kasus pada kondisi dinamis krisis memperlihatkan peran keamanan pada masing-masing gatra. Adapun masing-masing gatra tersebut setidaknya delapan jenis. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Gatra Geografi. Kondisi topografi Indonesia relatif statis, dengan bentukkepulauan yang terdiri dari 17.508 buah pulau dan luas seluruh wilayah kedaulatan lebih kurang 7,3 juta km2, serta mempunyai perbandingan luas wilayah daratan dan wilayah lautan sebesar 1:4. Posisi astronomis yang terletak pada 95 derajat dan 141 derajat Bujur Timur serta antara 6 derajat Lintang Utara dan 11 derajat Lintang Selatan, telah menempatkan posisi Indonesia pada lintasan orbit geo stasioner satelit yang sangat strategis. Posisi di antara dua benua, Asia dan Australia serta area samudera, Hindia dan Pasifik, lebih menempatkan posisi strategis geografis Indonesia.
Situasi krisis nasional yang berkelanjutan telah turut berkontribusi pada masalah keamanan nasional yang berwujud dalam berkurangnya teritori nasional Indonesia, yaitu wilayah Timor Timur. Situasi ini berpengaruh langsung pada kesejahteraan penduduk Indonesia di Timor Barat akibat timbulnya masalah pengungsi dari Timor Timur.
Kedua, Gatra Sumber Kekayaan Alam. Seluruh sumber kekayaan alam Indonesia meliputi potensi alam di permukaan dan di dalam bumi serta yang berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) harus dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan sumber kekayaan alam ini mengikuti kaidah hukum serta peraturan yang berlaku. Karenanya sifat gatra ini cenderung statis. Namun kecenderungan ancaman terjadi justru dari luar. Menurunnya dukungan keamanan di laut akibat krisis berkepanjangan, turut membuat pengambilan hasil laut secara tidak sah mengalami peningkatan, yang pada beberapa daerah tertentu di mana para nelayan yang tingkat kesejahteraannya sangat tergantung pada hasil tangkapan tradisional, menjadi sangat terganggu perolehannya. Dalam kasus ini keamanan dalam hal kemampuan pengamatan wilayah dan penegakan hukum mendapat tantangan besar.
Ketiga, Gatra Demografi. Penduduk adalah sejumlah orang yang mendiami suatu wilayah atau tempat tertentu dalam waktu tertentu. Hal yang berkaitan dengan kependudukan adalah mengenai jumlah susunan, faktor sebaran, pertumbuhan, ciri-ciri kualitas dan kesejahteraan penduduk serta kondisi lingkungan. Dengan sifat yang deskriptif dari gatra ini, maka krisis ekonomi lebih bertitik berat bukan pada unsur peran keamanan terhadap kesejahteraan, namun terjadi sebaliknya, dimana faktor kesejahteraan berdampak pada masalah keamanan.
Keempat, Gatra Ideologi. Sistem nilai yang terkandung dalam ideologi merupakan kebulatan ajaran yang memberikan motivasi, dimana terkandung di dalamnya konsep dasar kehidupan yang dicitacitakan oleh suatu bangsa. Kesenjangan sosial ekonomi yang semakin Iebar yang turut memicu krisis telah mendorong timbulnya pandangan meluas yang ekstrim dari kelompok yang mengatasnamakan kelompok masyarakat miskin, dimana terdapat kecenderungan kuat adanya pertentangan yang mendasar dengan ideologi Pancasila yaitu Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pertentangan ini menjadi kondisi yang dinamis yang dapat menimbulkan gangguan keamanan.
Kelima, Gatra Politik. Dinamika reformasi politik menunjukkan sistem politik nasional mengalami perubahan paradigma yang mendasar. Demokrasi Pancasila yang diwujudkan oleh sistem 3 partai dan golongan yang bermuara pada kepemimpinan nasional yang cenderung absolut dan sentralistik, berubah menjadi multipartai bercirikan demokrasi dengan nuansa kebebasan yang cenderung tanpa batas diikuti oleh pengenalan tentang hak asasi manusia yang lebih berupa segala bentuk perlawanan terhadap kemapanan daripada suatu tindakan kebebasan normatif manusia yang berlandaskan hukum.
Diakomodasinya bentuk pluralistik sistem perpolitikan Indonesia yang diwakili oleh hadirnya berpuluh partai, yang berdiri di atas infrastruktur kemajemukan bangsa ditambah kebebasan berpendapat cenderung tanpa batas, telah menimbulkan indikasi ancaman disintegrasi bangsa, akibat kecenderungan didahulukannya kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa.
Konsensus nasional untuk menerima dan cenderung membiarkan hal tersebut, lebih mencerminkan “Pendulum effect” dari sistem perpolitikan masa lalu. Karena konsensus tersebut, maka peran keamanan menjadi cenderung hanya memadamkan letupan, daripada suatu tindakan penanganan preventif. Tanpa upaya ini kesejahteraan masyarakat, terutama menyangkut kehidupan sehari-hari menjadi sangat terganggu.
Keenam, Gatra Ekonomi. Fenomena menarik dari krisis ekonomi adalah, diawalinya suatu krisis moneter, kemudian krisis ekonomi dan politik yang memicu dampak negatif sekaligus kepada kesejahteraan masyarakat dan keamanan. Namun dalam perjalanan krisis, faktor ketidakpastian keamanan selalu dijadikan alasan penyebab ketidakpastian nilai tukar dan belum hidupnya perekonomian Indonesia kembali. Padahal kestabilan nilai tukar menjadi dasar transaksi ekonomi sehari-hari yang berperan langsung pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Melemahnya nilai tukar berhubungan erat dengan melemahnya daya beli masyarakat yang berdampak langsung pada turunnya tingkat kesejahteraan.
Ketujuh, Gatra Sosial Budaya. Bentuk dasar sosial budaya yang berisi berbagai suku, ras agama dan golongan, dengan adanya paradigma paska Orde Baru yang masih terus dihantui oleh krisis ekonomi, malah diberikan muara pluralistik. Tidak padunya visi berbangsa dan bernegara diiringi oleh tekanan kesenjangan ekonomi baik nasional maupun setempat, telah memberi dampak sosial budaya berupa terjadinya friksi lokal. Kekacauan keamanan antara lain seperti konflik etnis di Maluku, konflik di Sambas, dan beberapa konflik di daerah lain berdampak langsung pada turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Akar masalah berupa diterimanya muara serta keinginan pendapat yang pluralistik sebagai konsensus nasional tanpa dasar yang kuat pada visi kebangsaan, telah membuat peran keamanan selalu bersifat pemadaman (cenderung represif).
Kedelapan, Gatra Pertahanan Keamanan. Pertahanan dan keamanan Negara Republik Indonesia dilaksanakan dengan menyusun, mengerahkan dan menggerakkan seluruh potensi nasional termasuk kekuatan masyarakat di seluruh bidang kehidupan secara terintegrasi dan terkoordinasi di mana TNI dan Polri menjadi inti dari penyelenggaraan pertahanan dan keamanan.
Meningkatnya ancaman keamanan yang dapat berakibat pada kesejahteraan masyarakat di semua aspek gatra dalam konsepsi ketahanan nasional seharusnya justru mendorong pemberdayaan seluruh potensi keamanan, termasuk kemampuan penertiban masyarakat, penindakan gangguan keamanan serta kemampuan pembinaan wilayah. Di tengah erosi padunya visi kebangsaan, secara normatif TNI dan Polri adalah organisasi yang paling padu dalam mempersatukan unsur ketahanan nasional secara terintegrasi.
Kenyataannya paradoks, TNI sebagai inti pertahanan dan keamanan didegradasikan fungsinya dan cenderung dikembalikan ke barak, sementara kecepatan penambahan personel dan peningkatan keuangan Polri untuk mengatasi kesenjangan sistem pengamanan nasional, tidak dapat mengimbangi akselerasi datangnya titik rawan keamanan nasional yang puncaknya adalah ancaman disintegrasi nasional.
Keamanan menjadi salah satu pilihan utama untuk menjaga kesejahteraan masyarakat dalam mengatasi krisis, namun pelaksana dan fungsi serta kemampuan pengamanannya dihilangkan dari arena krisis. Hal ini merupakan ironi, yang hanya bisa dipahami apabila menggunakan konteks pengertian efek bandul dan eforia paska Orde Baru. []
Baca: Analisis Peran Keamanan Nasional Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Editor: Romandhon