NusantaraNews.co, Jakarta – Seni Tradisional Ondel-ondel dalam masyarakat Betawi kini bisa dapat kita jumpai di sejumlah jalan raya di DKI Jakarta. Paling sedikit, seni tradisional sebagai personifikasi nenek moyang masyarakat Betawi ini, dimainkan oleh satu orang, satu orang lainnya mendorong tempat sound kecil dan ember kecil penadah rupiah demi rupiah.
Dulu, seni tradisional ini disakralkan karena hanya pada acara-acara tertentu, ondel-ondel ini dimainkan. Tidak sembarang orang pula yang dapat memainkannya. Sebab, seni tradisional ini memiliki nilai dan fungsi bagi masyarakat Betawi waktu itu. Entah kini dan esok seperti apa nilai dan fngsinya?
Pemerhati Sosial Budaya Nusantara Mahendra Uttunggadewa menilai, fenomena pengamen jalanan yang terjadi pada kesenian tradisional sontak membuka memori kolektif masa lalu atas apa yang pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno dalam Pidato Trisakti tahun 1963, yaitu berdaulat secara poltik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian dalam budaya.
“Ketiga prinsip yang menjadi alat ukur sejauh mana cita- cita kemerdekaan bangsa Indonesia mampu diwujudkan, sudah cukup untuk menjadi pisau bedah atas fenomena pengamen ondel-ondel yang termarjinalkan di tengah lalu lalang dan ingar bingar ibu kota. Nasib kesenian-kesenian tradisional di sejumlah daerah juga bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak hendak,” kata Mahendra dalam tulisan tanggapannya berjudul “Seni Tradisional Terlunta Akibat Ekonomi Belum Berdikari”, Jumat, 8 September 2017 (baca: watyutink.com).
Menurut Mahendra, banyak kesenian tradisional yang sudah sangat jarang dipentaskan bahkan terancam punah. Lenong, Ketoprak, Ludruk, Arja, Kondobuleng, Dul Muluk, Ronggeng Gunung, Talempong Ungan, Gandai, Tupai Janjang, Gendang Gugun, Angklung Badun. Di ibu kota Jakarta dimana ondel-ondel berstatus sebagai putra daerah saja nasibnya sungguh nestapa, memilukan, dan terlunta-lunta, Jawa Barat yang letaknya hanya sepeminuman teh dari Jakarta ternyata tak kurang dari 43 jenis kesenian tradisionalnya terancam punah.
“Tak terbayang entah bagaimana nasib yang menimpa kesenian tradisonal di daerah yang letaknya jauh dari perhatian pemerintah pusat,” ujar Mantan Aktivis Mahasiswa itu.
Situasi ini, lanjut Mahendra, secara faktual telah menunjukkan hilangnya kepribadian dalam kebudayaan nasional yang berbasis pada lokalitas tradisi yang menjadi akar dari nilai-nilai perikehidupan bertanah air, berbangsa, dan bernegara. Seni sebagai salah satu ekspresi budaya adalah buah karya dari percumbuan antara budi, cipta, rasa, karsa, dan kuasa dari peradaban suatu kaum yang berpadan dengan tata ciri dan tata cara dari semesta alam dimana dia tinggal hidup.
“Kemampuan suatu kaum dalam menghidupi dirinya secara berdikari juga ditentukan oleh kemurahan hati alam dimana mereka hidup. Semakin alam bermurah hati, semakin tinggi pula rasa puja dan puji syukur atas kemudahan dan keberlimpahan alam yang diterima oleh suatu kaum sehingga mampu melahirkan karya seni yang bercita rasa tinggi di tengah kemewahan waktu yang terluang,” katanya.
Pelaku Bisnis itu juga menilai bahwa, kemampuan berdikari secara ekonomi inilah yang mampu membentuk suatu kaum yang merdeka secara ekonomi tanpa menggantungkan hidup dari pihak luar. Kemerdekaan ekonomi yang dicapai akan menciptakan daulat politik sebagai sebuah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
“Fakta di lapangan jutru seperti menjauh dari apa yang dimaksud dengan ekonomi berdikari. Pembangunan infarstruktur yang dibiayai oleh utang dan pinjaman luar negeri tidak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa kebutuhan ekonomi berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan masih diimpor dari luar negeri di tengah eksploitasi terhadap berbagai kekayaan alam baik, laut, hutan dan tambang yang dilakukan oleh pihak asing tanpa seizin pemilik tanah air Indonesia,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, imbuhnya, bencana peradaban yang menimpa kesenian tradisional akibat terjadinya perkosaan dan pelecehan tradisi seperti halnya yang menimpa kesenian ondel-ondel hingga akhirnya hidup sebagai pengamen jalanan. Bahkan banyak kesenian tradisional di daerah lain yang terancam punah semestinya sejak jauh hari dapat dijadikan early warning signals atas berlangsungnya penyimpangan bahkan penghianatan secara masif, sistematis, dan terstruktur terhadap cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
“Tak heran bangsa Indonesia hingga kini ternyata masih menjadi “Een natie van koelies en een koelie onder de naties.”,” tutup Mahendra.
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman