NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme terus mengemuka. Dalam revisinya, TNI berencana dilibatkan untuk menangani kejahatan terorisme di tanah air karena terbukti efektif. Salah satu contoh paling riil ialah operasi Tinombala tahun 2016 silam di mana satgas yang melibatkan TNI ini tak butuh waktu lama menumpas kelompok sipil bersenjata Santoso dkk di Poso, Sulawesi Tengah.
Abu Wardah alias Santoso adalah sosok pemimpin kelompok kriminal bersenjata yang paling diburu tahun 2016 lalu. Kelompok yang kemudian menamakan dirinya Mujahidin Indonesia Timur (MIT) ini melakukan sejumlah aksi kejahatan dan kriminal, khususnya di Poso. Polisi kewalahan meladeni dan memburu Santoso dkk yang diketahui memperagakan aksinya secara gerilya.
Baru setelah TNI dilibatkan, Santoso dkk berhasil dibekuk. Waktu itu, Yonif 515 Kostrad berhasil melumpuhkan Santoso.
Terlepas dari itu, maraknya aksi kelompok teroris belakangan dinilai tak lagi hanya menjadi kejahatan biasa serta butuh penanganan ekstra dan menyeluruh. Di sini, wacana pelibatan TNI pun mengemuka tetapi masih tersandung payung hukum dan menuai polemik.
Menurut pengamat militer Susaningtyas Kertopati, secara akademis, militer di seluruh dunia juga bertugas menghadapi terorisme. Implikasi pemberantasan atau penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi berbeda perspektif hukumnya karena terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau kejahatan terhadap publik.
Penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata.
“Jika terorisme mengancam keselamatan Presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI,” katanya, Jakarta, Minggu (4/2/2018).
Berikutnya, kata dia, terkait dengan jenis senjata dan bom yang digunakan oleh teroris masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri. Tetapi jika senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Deatruction), seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI.
“Selain subyek ancaman teror dan jenis senjata, maka rezim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum. Jika kejahatan teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, maka Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi. Tetapi jika rezimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan,” ujar pengamat yang akrab disapa Nuning ini.
Ia mengambil contoh jika kejahatan teror terjadi di kapal yang berlayar di Zone Economic Exclusive (ZEE) Indonesia atau menyerang kilang pengeboran minyak PT. Pertamina 15 mil dari pantai, maka teroris harus dilumpuhkan oleh Pasukan Khusus TNI.
Terakhir adalah platform sebagai Tempat Kejadian Perkara (TKP) apakah kendaraan air (kapal) dan kendaraan udara (pesawat) yang terregistrasi dan berbendera suatu negara. Contohnya pesawat Qantas milik Australia dibajak teroris dan mendarat di Bandara Ngurah Rai, maka sesuai hukum internasional yang harus menangani hanya 2 pilihan, apakah TNI atau tentara Australia.
“Dari keempat kriteria tersebut, maka UU Teror di Indonesia juga patut mengakomodasi hukum-hukum internasional yang juga berlaku. Jadi, UU yang sudah ada sudah memberi amanat dan mandat baik kepada Polri dan TNI. Yang lebih penting adalah bagaimana TNI menjabarkan kewenangan sesuai 4 kriteria tersebut ke dalam suatu peraturan yang dapat diterima oleh Polri dan instansi pemerintah lainnya,” paparnya.
“Yang penting ada kesadaran kita semua untuk menerima nilai dan norma universal dalam hukum internasional untuk menanggulangi terorisme sehingga tidak ada rebutan kewenangan. Overlapping kewenangan bukan untuk dipertentangkan tetapi seharusnya sebagai modal untuk semakin sinergi,” Nuning menambahkan.
Selanjutnya, overlapping hukum internasional dan hukum transnasional harus dilihat dari perspektif kewenangan negara secara individu maupun sebagai secara kolektif untuk penegakan hukum sekaligus penegakan kedaulatan. Terorisme sebagai kejahatan publik dan sebagai kejahatan negara tidak selalu bertumpu pada definis ICC. Amerika Serikat membuat Patriot Act untuk mengkategorikan kejahatan terorisme sebagai terorisme. Bukan tindak pidana biasa sehingga tidak dapat didampingi pembela, dan juga bukan tawanan perang sehingga tidak mendapat hak-hak sebagai tawanan.
Jadi hukum internasional untuk koneksi hukum internasional dan transnasional menjadi rujukan hukum nasional untuk menanggulangi terorisme berlaku lex specialis derogat lex generalis.
“Kalau di laut sesuai Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 17 tahun 1985 memang hanya memberi kewenangan hukum kepada TNI AL untuk menanggulangi terorisme baik di perairan laut teritorial maupun di perairan zona tambahan, ZEE, dan Landas Kontinen bahkan sampai ke laut internasional. Demikian juga kepada TNI AU jika terorisme dilakukan melalui media udara. TNI AU memiliki kewenangan menembak jatuh semua kendaraan udara (pesawat, drone, UAV) yang sudah diklasifikasikan wahana tindak terorisme,” jelasnya.
Pewarta/Editor: Eriec Dieda