NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Upaya Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk mengurai dan membersihkan Lapas dari praktek kejahatan patut diapresiasi. Melalui program revitalisasi Lapas secara ideal diharapkan mampu menjawab problem klasik tersebut.
“Namun dalam prakteknya belum secara signifikan menghentikan praktek kejahatan yang lama bahkan cenderung memunculkan modus kejahatan baru,” ujar Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro, Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Kata Gigih, meskipun ada institusi yang melakukan pengawasan internal yang sering dianggap sebagai pemadam kebakaran, ada insitusi pengawasan lintas sektoral seperti KPK, Ombudsman, BNN dan lain-lain, serta Forum Kolaborasi penegakan hukum antara Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung,dan Polri, tak menyurutkan praktek kejahatan yang melibatkan oknum petugas berkurang.
Menurutnya, ada ketidaksesuaian antara das sein dengan das sollen dalam penegakan hukum sehingga kejahatan terus tumbuh subur. Kejahatan di Lapas sudah menjadi common sense membentuk kultur yang kuat. Kultur kejahatan di dalam Lapas turun temurun dari generasi satu ke generasi yang baru dan telah membentuk semacam dinasti.
“Kami juga patut memberi apresiasi atas kerja cepat jajaran direktorat PAS yang merespon temuan-temuan kami dilapangan atas praktek jual beli fasilitas dan remisi beberapa waktu lalu. Namun respon cepat tersebut tidak di imbangi dengan proses penegakan hukum secara tuntas dan transparan. Meskipun berhasil memotong mata rantai kejahatan dengan memberikan sanksi ‘pembinaan’ terhadap aktor lapangan, tapi tidak berhasil menghentikan praktek kejahatan itu sendiri karena aktor intelektualnya belum tersentuh hukum,” papar Gigih.
“Ketidaktransparansi proses hukum ini memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum di Internal Lapas,” sebutnya.
Bahkan dalam kurun waktu 3 bulan terakhir ini, kata dia, berdasarkan hasil investigasi dan laporan masyarakat pihaknya masih menemukan praktek kotor yang melibatkan oknum petugas Lapas.
Pertama, praktek jual beli fasilitas (bilik asmara) masih terjadi di Lapas kelas I Surabaya-Porong dan Rutan Kelas I Medan dengan tarif sewa sekali bisa mencapai jutaan rupiah.
Kedua, pemindahan massal warga binaan sejumlah 647 orang lebih di Rutan Medaeng selama 3 bulan terakhir (September-Oktober). Pemindahan massal WBP ini patut dicurigai dan terkesan ada rekayasa yang bersifat transaksional.
Ketiga, peredaran dan perdagangan narkoba masih terjadi. Institusi BNN dan Bareskrim Polri juga menegaskan atas praktek tersebut masih marak terjadi didalam Lapas. (Lapas kelas I Cipinang, Rutan kelas I Cipinang, Rutan Salemba, Lapas kelas I Medang, Lapas kelas I Surabaya-Porong, Lapas Banyuwangi, Lapas Mataram).
Keempat, praktek jual beli fasilitas dengan memudahkan pemberian ijin WBP keluar Lapas tanpa prosedur yang ketat. (Lapas Narkotika Samarinda, Rutan Samarinda). Kelima, patut diduga masih terjadi praktek jual beli remisi/asimilasi/PB secara terselubung meskipun telah menggunakan sistem Online.
“Berulang dan terus berlangsungnya kejahatan yang sama di hampir semua Lapas selama ini, mencerminkan dari lemahnya penegakan hukum,” katanya.
Menurut Gigih, penegakan hukum yang dilakukan di internal Kementerian Hukum dan HAM masih dilakukan setengah hati, tak menyentuh substansi kejahatan dan aktor-aktornya. Penegakan hukum dijalankan hanya sebagai prosedur normatif, tanpa memberikan sanksi yang tegas dan terukur terhadap pelakunya. Akibatnya pelaku makin leluasa dalam memproduksi kejahatannya meskipun ditempat baru.
“Jika kita mencermati upaya penegakan hukum di internal Kementrian Hukum dan HAM selama ini tidak dijalankan secara tuntas dan transparan mengesankan ada rekayasa ‘main mata’ agar tidak menyentuh aktor intelektualnya,” urainya.
Misal, tambah dia, terkait OTT jual beli fasilitas di Lapas Sukamiskin, penegakan hukum dijalankan sangat normatif. Pemberian sanksi terhadap Wahid Husein, Kadiv dan Kakanwil Jabar sudah terukur dan tegas sebagai aktor yang memiliki tanggungjawab terjadinya praktek kotor tersebut.
Namun, lanjutnya lagi, sanksi ‘pembinaan’ ini tidak secara konsisten dan terukur dijalankan di mana Kadiv dan Kakanwil Jabar tersebut justru mendapat jabatan baru. Model pembinaan semacam ini juga pernah terjadi pada kalapas Sialang Bungkuk Pekanbaru yang mendapat sanksi pencopotan, selang kemudian justru menjabat sebagai Kakanwil Kalimantan Selatan.
“Pendekatan pembinaan semacam ini jelas akan mencederai asas keadilan dan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dimasa mendatang,” beber Gigih.
(eda/anm)
Editor: Almeiji Santoso