Pemilu yang Memilukan

Tahun Politik (Ilustrasi Nusantaranews) copy
Tahun Politik (Ilustrasi Nusantaranews)

“Sistem demokrasi dengan adanya pemilu sangat berpotensi melahirkan perilaku-perilaku korupsi dari oknum-oknum pejabat di dalamnya, dari berbagai level dan tingkatan.”

NUSANTARANEWS.CO – Tahun 2011 dalam sebuah forum diskusi saya pernah bertanya kepada peserta apa yang ada dalam benak anda mendengar Indonesia. Jawabannya pun beragam. Namun yang menarik salah satu jawabannya adalah korupsi. Tentu saya pun tersenyum, sebab memang pada waktu itu tema yang diminta kepada saya adalah tentang fakta korupsi di Indonesia.

Makna jawaban tersebut apa? Tentu kita bisa memaknai bahwa korupsi seolah sudah ‘mendarah daging’ di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan kita membuka data-data bahwa korupsi di Indonesia terjadi disetiap level, di setiap daerah dan dalam aneka ragam sektor maupun jumlah.

Maka tidak salah saat ada tokoh mengatakan yang intinya apakah kita tidak merasa berdosa kepada Soeharto. Sebab salah satu alasan mengapa bersikukuh agar Pak Harto turun adalah KKN. Namun pada faktanya setelah reformasi KKN justru makin marak dan merata.

Lebih-lebih ditahun 2018 ini yang disebut sebagai tahun politik. Rasanya pemberitaan di media tidak pernah libur dari persoalan korupsi. Misal pada laman kompas 15 Februari 2018 ada berita bahwa belum genap 2 bulan tahun 2018, 7 kepala daerah jadi tersangka KPK.

Baca Juga:
Restorasi Karakter Bangsa
Tax Amnesty Menjadikan Indonesia Negara Gagal

Kemudian pada laman Okezone 6 Maret 2018, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo mengaku mendapatkan 368 laporan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh calon kepala daerah. Laporan tersebut diterima KPK dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Tidak ketinggalan dalam laman tempo 12 Maret 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera mengumumkan sejumlah calon kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah 2018 yang menjadi tersangka kasus korupsi.

Menurut laman tirto pada 12 April 2018, terhitung sejak 2005, sebanyak 56 kepala daerah ditetapkan melakukan tindak pidana korupsi. Pada laman detik 14 April 2018 ada berita yang intinya hingga April 2018, 10 kepala daerah jadi tersangka korupsi di 2018.

Dan masih banyak lagi yang terbaru dan saya yakin sebagian masyarakat mengetahuinya. Dari beberapa data di atas, sengaja saya fokuskan yang berkaitan dengan korupsi oleh oknum kepala daerah. Namun poin utama secara umum adalah bahwa bahaya laten korupsi masih menjadi momok yang menakutkan di Indonesia.

***

Lalu, sebenarnya apa yang penting untuk dicermati oleh kita semua. Bagi saya adalah jawaban dari pertanyaan apa sebenarnya sebab utama maraknya korupsi. Dari sini setelah melihat fakta persoalan, berikutnya harus dilihat apa penyebabnya. Baru kemudian akan bisa didapatkan solusinya. Sehingga penting rasanya membincangkan sebenarnya apa penyebab korupsi tidak berkurang.

Dalam konteks teori, apa saja penyebab korupsi sebenarnya sudah banyak yang melakukan kajian. Hanya jujur, saya lebih tertarik dan memfokuskan bahwa korupsi makin besar khusunya pasca reformasi ini adalah karena pemilu (pilkada, pileg maupun pilpres) dalam kerangka sistem politik demokrasi seperti sekarang ini. Akan tetapi, bukan berarti saya menafikan sebab-sebab lainnya.

Contoh misalkan persoalan moral oknum pejabat korup. Sebagian tentu mengatakan korupsi terjadi karena kelakuan pejabat yang tidak bermoral, sehingga mereka tidak memikirkan kepentingan rakyat.

Para oknum pejabat korup hanya berfikir untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya. Di sini lain rakyat begitu berharap kepada para pejabat agar bisa merubah nasib mereka menjadi lebih baik. Namun, justru yang terjadi sebaliknya, perilaku korupsi dari oknum pejabat tidak sejalan dengan harapan rakyat.

Persoalan moral saya sangat sepakat. Begitupun dengan sebab-sebab lainnya. Hanya perlu difahami, bahwa semua potensi buruk tersebut seakan terakomodasi oleh sistem yang ada, yaitu pemilu. Anda boleh tidak sepakat, itu pilihan Anda.

***

Baiklah, ada apa dengan pemilu kita? Jujurlah sebenarnya semua orang mengetahuinya. Kuncinya adalah pada pertanyaan ‘berapa besar biaya politik dalam pemilu harus dikucurkan?’ Sangat mahal. Dan mahalnya ternyata belum kongruen dengan ‘harapan atau maksud baiknya’.

Harus difahami bahwa sesungguhnya penyebab utama korupsi di negeri ini adalah sistem demokrasi yang diterapkan. Secara teknis berupa pemilu-pemilu selama ini. Sistem demokrasi dengan adanya pemilu sangat berpotensi melahirkan perilaku-perilaku korupsi dari oknum-oknum pejabat di dalamnya, dari berbagai level dan tingkatan.

Demokrasi pada faktanya bekerja dengan adanya ‘kerja sama’ antara politikus dan modal. Baik dari politikus itu sendiri ataupun dari korporasi atau pemodal (pengusaha). Mereka para oknum sama-sama memiliki kepentingan masing-masing. Dalam rangka merealisasikan kepentingan tersebut, mereka akhirnya berkolaborasi untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan, baik legislatif maupun eksekutif.

Hal demikian seperti ‘lumrah’ disebabkan karena mahalnya biaya politik yang harus keluar. Semua orang tahu itu, kan? Berapa ratus juta bahkan hingga miliar untuk menjadi caleg. Dana keluar belum tentu masuk parlemen. Berapa puluh bahkan ratusan miliar untuk menjadi calon kepala daerah dst. Belum biaya-biaya dalam penyelenggarannya dsb. Intinya begitu mahal. Dan tidak dipungkir, secara langsung sistem tersebutlah salah satu faktor dominan maraknya korupsi.

Maka jangan salahkan seandainya ada dari masyarakat yang mereka golput. Bisa jadi salah satunya karena alasan tidak mau ‘mendukung’ sistem yang menurut mereka berpotensi membesarkan korupsi. Atau mungkin alasan-alasan lainnya.

***

Oleh karena itu, makin kesini kemudian banyak gagasan muncul. Semata karena kesadaran perlunya perbaikan. Ada kemudian gagasan pemilu serentak, biaya politik dari partai dibiayai APBN hingga penggalangan dana secara terbuka.

Dan bagi saya, ada alternatif atau solusi lain dimana mampu secara komprehensif menyelesaikan. Bukan dengan mempertahankan pemilu dan sistem demokrasi. Dengan gagasan sistem lain yang ‘ajib’. Apa itu? Mari kita berdiskusi.

*Lutfi Sarif Hidayat, penulis adalah Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)

Exit mobile version