Pancasila dan Globalisasi
Gejala globalisasi dalam pengertian internasionalisme, atau internasionalisasi ekonomi, atau internasionalisasi perdagangan, sudah terjadi pada zaman ke-kaisaran Sumeria dan negara-negara kota Yunani hingga zaman Perserikatan Bangsa Bangsa sekarang ini.
Oleh: Sudaryanto
Keaslian proses globalisasi yang sekarang berlangsung terletak dalam penegasannya bahwa semua bentuk peradaban mulai saat sekarang ini dan seterusnya akan dipandu oleh perdagangan. Unsur pembentuk aktivitas lainnya, seperti politik, sosial, dan kebudayaan akan mengikuti peristiwa-peristiwa ekonomi utama; dan oleh karenanya pada dasarnya akan akan dipandang melalui prisma ekonomi. Disiplin alami dari pasar bebas itu sendiri (yang sudah terlepas dari campur tangan pemerintah) akan menemukan keseimbangan alaminya sendiri yang akan membentuk peristiwa-peristiwa ekonomi utama, yang pada gilirannya akan membentuk peristiwa-peristiwa lainnya.
Globalisasi sebagai penghapusan berbagai hambatan terhadap perdagangan bebas, di Indonesia sudah berjalan melalui tiga gelombang politik pintu terbuka. Politik pintu terbuka yang pertama dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dimulai menjelang berakhirnya abad ke 19, politik pintu terbuka yang kedua dijalankan oleh Orde Baru mulai tahun 1967, dan politik pintu terbuka yang ketiga dijalankan oleh Orde Reformasi sejak tahun 1998.
Sayangnya bangsa Indonesia terlambat menyadari kalau globalisasi sebagaimana yang dipromosikan oleh kaum neoliberal sekarang ini adalah bentuk baru kapitalisme. Atau dapat juga dikatakan, kalau imperialisme merupakan tahap akhir dari perkembangan kapitalisme, maka globalisasi adalah tahap akhir dari perkembangan imperialisme.
Dan kita percaya begitu saja pada wacana akademis yang mengatakan bahwa globalisasi itu berbeda dengan imperialisme; karena imperialisme didasarkan pada dominasi dan eksploitasi, sedangkan globalisasi didasarkan pada prinsip saling ketergantungan yang saling menguntungkan. Kita juga percaya bahwa gelombang perdagangan yang bernama globalisasi tersebut pada akhirnya akan menggerakkan kapal-kapal besar maupun kecil (negara-negara bangsa) menuju lautan kemakmuran pada tingkat yang belum pernah dicapai.
Kenyataan empiris mengatakan dengan jelas bahwa negara imperial makin kurang tergantung pada negara-negara dunia ketiga: komposisi komoditi yang diperdagangkan semakin kaya informasi dan rendah bahan baku, negara imperial mempunyai banyak supplier sehingga dapat menekan harga komoditi yang dibutuhkan, satuan-satuan ekonomi utama dimiliki dan dijalankan oleh pemegang saham di negara-negara imperial, dan pembayaran laba, royalti, sewa, dan bunga juga mengalir ke atas dan ke luar mengikuti model asimetris. Di samping itu, negara-negara imperial juga memiliki pengaruh yang menentukan dalam agensi keuangan internasional dan badan-badan dunia lainnya.
Sejumlah pembela dan lawan globalisasi telah sampai pada pandangan yang sama tentang dampak globalisasi terhadap keadilan sosial atau distribusi sumber daya produksi dan pendapatan. UNDP, misalnya, dalam laporannya mengenai human development index tahun 1992 mencatat bahwa dari tahun 1960 hingga 1989 negara-negara dengan 20 persen terkaya dari penduduk dunia naik 70,2 hingga 82,7 persen, sedangkan pendapatan 20 persen yang termiskin menyusut 2,3 hingga 4,0 persen. UNDP juga telah mendokumentasikan perburukan perbedaan dramatis di antara 20 persen segmen terkaya dan 20 persen termiskin penduduk dunia telah meningkat dari 11: 1 menjadi 17: 1.
Dengan adanya kenyataan empiris seperti ini praktis sebenarnya pola hubungan yang terjadi dalam globalisasi tidak berbeda dengan pola hubungan dalam imperialisme, yaitu pola hubungan yang didasarkan pada dominasi dan eksploitasi. Sama halnya dengan bentuknya yang lama, imperialisme, kapitalisme dalam kemasan yang baru ini pun hampir dipastikan juga akan menghasilkan penghisapan dan penindasan. Bahaya persaingan bebas yang hanya memenangkan yang kuat saja (free fight competition and survival of the fittest) dan berbagai akibat ikutannya seperti proses akumulasi dan sentralisasi kapital serta proses proletarisasi golongan ekonomi lemah dan menengah juga terus terjadi dalam skala yang lebih masif.
Kini kita menghadapi kenyataan bahwa kapitalisme sudah menjadi sistem dunia. Kapitalisme internasional telah menyebar ke seluruh kawasan geografis dunia dan praktis sudah memasukkan semua wilayah di bawah kekuasaannya. Dalam sebuah artikel yang dimuat harian nasional terkenal berjudul “Ketika AS Menguasai Sumber Energi” menurunkan peta kepemilikan AS dan negara lain atas wilayah migas dan gas metana batubara di Indonesia tahun 2012. Peta tersebut menggambarkan betapa kapitalisme internasional memang telah menyebar ke seluruh kawasan geografis (Indonesia) dan tentunya juga telah memasukkan semua wilayah itu di bawah kekuasaannya.
Mungkin benar bahwa zaman baru yang bernama globalisasi ini akan menghancurkan siapa pun yang tidak mampu menahannya. Namun realitas aktual juga mengatakan negara mana pun yang memilih berada di luar globalisasi dapat dipastikan akan tertinggal, terkucilkan, miskin, dan kehilangan kesempatan untuk maju dan menjadi besar.
Dalam situasi dilematis semacam inilah Pancasila seharusnya dipahami, di mana nilai-nilai adiluhung yang ada di dalamnya tidak cukup hanya dipuja dan dipuji, melainkan juga harus dioperasionalkan untuk memilah dan memilih yang baik secara cerdas di antara dua kutub ekstrim yang terlibat dalam pergulatan. Bukankah Pancasila itu sebenarnya merupakan kristalisasi ideologi dunia yang mencoba untuk mencari jalan tengah yang baik antara liberalisme dan etatisme, antara teokrasi dan sekularisme, antara kapitalisme dan komunisme?
Semuanya itu hanya dapat dilakukan kalau bangsa Indonesia mengenal dengan baik bagaimana proses globalisasi itu bekerja; dan oleh karenanya, nilai-nilai Pancasila juga harus dipahami dalam pergumulannya dengan liberalisme, baik yang klasik maupun yang Neo. Tanpa konstruksi pemahaman seperti ini bangsa Indonesia hanya akan bisa mengatakan “Pancasila itu lebih baik dari neoliberalisme,” tetapi sekaligus juga tidak berdaya mengekang keserakahan kaum kapitalis, apalagi melawannya. Kaum muda, khususnya mahasiswa, hanya bisa memaki-maki neoliberalisme yang sebenarnya tidak pernah mengenal “binatang”nya.(AS)