Orang Gagal Itu Lucu

Perasaan Orang Banten
Perasaan Orang Banten. (Foto: Istimewa)

Orang Gagal Itu Lucu

Oleh: Purwo Mawasdi, pemerhati kesusastraan Indonesia, alumni Pendidikan Sastra dan Bahasa di Untirta, Banten

Banyak sekali karya sastra yang berakhir dengan suasana tragis dan memilukan. Gaya bahasanya memang indah dan unik, namun tidak jarang menimbulkan tragedi yang menyebar bagaikan virus mematikan. Di antara kita, barangkali pernah menyaksikan tayangan seseorang yang nekat bunuh diri melalui akun Facebook, yang konon diilhami dari novel yang digelutinya selama berhari-hari, hingga ia memutuskan jalan pintas seperti itu.

Di sisi lain, ada juga karya sastra yang memiliki gaya bahasa tersendiri, seakan-akan bangga dan senang melihat kegagalan dan kejatuhan orang lain (tokoh-tokohnya). Kita sebut beberapa sastrawan misalnya Nikolai Gogol (Rusia), Najib Mahfudz (Mesir), atau Yukio Mishima (Jepang). Karya-karya mereka berhamburan oleh kisah-kisah tragedi yang dialami tokoh-tokohnya, seperti masuk penjara, dihakimi massa, terjerat narkoba, bahkan peristiwa bunuh diri karena ulah perbuatannya sendiri. Para pembaca seakan disuguhkan adegan-adegan tragis yang seakan merasa perlu menertawakan tokoh-tokohnya.

Lalu, mengapa manusia selalu merasa bangga dan senang melihat orang lain gagal dan sengsara? Dalam konteks ini, psikolog Shensheng Wang dari Emory University di Atlanta menyatakan, bahwa perasaan seperti itu laiknya gejala “schadenfreude”, yaitu perasaan orang yang bersukacita melihat penderitaan orang lain. Lebih lanjut, psikolog Scott Lilienfeld – dari universitas yang sama – menegaskan bahwa perasaan schadenfreude yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan ucapan, telah menjurus pada upaya-upaya dehumanisasi.

Schadenfreude terkait erat dengan minimnya rasa empati seseorang. Sikap itu nampak pada jiwa manusia di masa kanak-kanak yang seringkali mengejek atau menertawakan kemalangan nasib temannya, seperti terjatuh, terpeleset, mainannya rusak, dan sebagainya,” jelas Shensheng Wang.

Dalam perspektif lain, ada kualitas humor yang digemari masyarakat yang berkaitan dengan kecerdasan karya sastra. Humor cerdas seperti itu, membutuhkan pemikiran dan perenungan untuk bisa sekadar tertawa, melainkan juga menertawakan kelakuan orang-orang politik yang berjiwa korup dan lalim. Berbeda dengan satu atau dua dasawarsa lalu, ketika tingkat wawasan pendidikan dan melek politik begitu rendah, maka model lawakan yang digemari masyarakat tak lepas dari jenis slaptick. Jenis lawakan ini pada umumnya digemari oleh masyarakat awam, karenanya tidak butuh banyak berpikir untuk bisa tertawa.

Dulu, masyarakat kita seolah memiliki patron bahwa lawakan yang lucu adalah badut-badutan, berdandan ala Chaplin, main dorong-dorongan hingga tercebur ke empang, melumuri wajah dengan lumpur atau tepung, dan seterusnya. Kemunculan novel Perasaan Orang Banten (POB) di tengah gegap-gempita perpolitikan Indonesia, nampaknya berbanding lurus dengan maraknya lawakan tunggal dalam stand up comedy pada beberapa tahun terakhir. Mereka tak segan menertawakan orang-orang politik, dengan pikiran dan tapak kaki di luar kotak perpolitikan negerinya. Mereka berdiri secara independen, dengan gagah dan berani membuka kedok dan menelanjangi logika berpikir hingga gestur-gestur kaum politisi kita. Bukan jenis lelucon slaptick yang kadang-kadang dibayar kaum politikus yang cenderung memihak, badut-badutan demi untuk menyudutkan dan menertawakan lawan-lawan politiknya.

Untuk saat ini, jenis humor satire yang ditawarkan novel POB memang masih menjangkau segmentasi kelas menengah ke atas. Begitupun lawakan tunggal dalam stand up comedy yang beberapa tahun terakhir semakin populer digandrungi banyak penggemar. Tapi setidaknya, fenomena ini cukup membawa angin segar bagi dunia kesastraan kita. Beberapa tokoh politisi yang ditampilkan dalam POB tak lain dari sosok-sosok yang bertampang manusia kota tapi berjiwa kekanakan, kampungan, cengoh, belegug, pelongo, sehingga humor yang ditawarkan penulisnya adalah jenis satire yang cenderung menertawakan peran para tokohnya.

Secara historis, konon humor yang cerdas seperti itu berawal dari sejarah dramaturgi Eropa Barat yang mengacu dari filosof Aristophanes (300 tahun sebelum Masehi), dan kemudian banyak dipraktikkan dalam karya-karya besar William Shakespeare (Inggris) dan Nikolai Gogol (Rusia) melalui karya sastranya yang terkenal, “The Inpector General”. Pun dalam novel POB, pembaca disodorkan kepada watak dan karakteristik para tokoh di mana kita harus siap dan ikhlas menertawakan diri sendiri.

Humor yang bercita-rasa tinggi tak lepas dari selera-selera kelas tinggi yang sanggup menertawakan cacat-cacat dirinya, yang selama ini ditutupi dengan penampilan-penampilan palsu dan munafik. Seperti kata pepatah yang ditujukan pada kaum politisi, bahwa di depan berlagak suci dan kudus, namun di belakang berhati kudis. Di sisi lain, sastra humor kadang dirasa menyakitkan bagi segelintir orang, tapi bagi kebanyakan orang justru merupakan berkah yang menggembirakan. Karena dengan cara itulah transformasi dan perubahan seringkali menepati sasarannya. Sebagaimana ungkapan orang-orang bijak, bahwa suara-suara kebenaran wajib disampaikan, meskipun terasa pahit bagi pihak tertentu yang mendengarnya.

Perihal novel POB yang membuat pembacanya tertawa hingga terpingkal-pingkal, bukan semata-mata soal kemampuan penulisnya untuk mengalihkan sikap manusia dari kerasnya kehidupan. Tetapi, soal membangun akal-akal sehat, dari pandangan konservatif tentang kehidupan, menuju renaissance atau pencerahan pemikiran dan kedewasaan manusia Indonesia.

Sebagai produk karya seni, humor sendiri telah berkembang di Eropa sejak abad ke-17, meskipun lebih ditujukan pada bentuk seni teater. Saat itu, di Inggris begitu marak jenis-jenis humor satire yang diterima kalangan menengah ke atas, seiring dengan maraknya kebudayaan industri yang semakin diterima mayoritas masyarakat. Namun, dalam perkembangannya, kita mengenal pula berbagai jenis humor, di antaranya humor sarkasme, absurd, sensual, hingga lawakan-lawakan tunggal seperti dalam penampilan stand up comedy yang mendapat sambutan publik akhir-akhir ini.

Proses evolusi kesadaran manusia Indonesia, membuat selera humor mereka semakin terdewasakan. Bagi mereka, tampilan humor bukan semata-mata media penyampaian kelucuan dan kekonyolan belaka. Tapi lebih dari itu, humor dapat berfungsi sebagai media kritik, bahkan perlawanan terhadap situasi kondisi politik yang bersifat konyol, bodoh, dan dungu belaka.

Di sisi lain, novel POB tidak dimaksudkan penulisnya sebagai kekuatan antitesis terhadap kekuasaan yang berlaku di ranah Banten. Meskipun kita semua tahu, apa-apa yang diprediksi dalam peristiwa-peristiwa yang tertuang di dalamnya, jauh-jauh hari telah ditulis, diterbitkan, di-launching, hingga diadakan beberapa acara bedah bukunya, baik di lingkungan kampus perguruan tinggi, pesantren, hingga di lembaga Rumah Dunia pimpinan Gol a Gong, Serang, Banten. Ya, buku itu telah terbit jauh-jauh hari sebelum kejatuhan Gubernur Atut Chosiyah dan Walikota Cilegon, Iman Ariyadi, tepat seperti apa yang diramal dalam novel tersebut.

Pada prinsipnya, novel POB tak lepas dari suasana perpolitikan Indonesia yang masih banyak didominasi warisan Orde Baru, sehimpunan manusia-manusia korup yang seakan bertampang polos dan lugu, bagaikan sibuk menggali lubang-lubang yang akhirnya menjerumuskan diri mereka sendiri.

Bahwa karya sastra POB digadang-gadang sebagai bentuk seni humor yang mengadakan perlawanan terhadap maraknya hoaks, hal itu menjadi keniscayaan dalam khazanah kesastraan kita, di tengah produk politik peninggalan masa lalu yang eksklusif, penuh basa-basi dan sarat kepalsuan. Kita mengenal para sastrawan senior seperti Arswendo Atmowiloto, Gus Mus (Mustofa Bisri), Seno Gumira Adjidarma, hingga AS Laksana, yang menjadikan kekuatan bahasa dalam bentuk sastra dapat berfungsi sebagai sarana refleksi, kritik sosial, dan perlawanan yang mematikan pada tumbuhnya benih-benih hoaks di negeri ini.

Kita juga mengenal pemimpin yang sangat humoris, Abdurrahman Wahid, sejak sekuasa-kuasanya Presiden Soeharto, ia terus berjuang secara independen dan istiqomah, di tengah upaya kritik melalui gerakan dan karya ilmiah selalu terbentur tembok kekuasaan. Gus Dur mampu memoles karya-karya tulisnya secara sastrais, hingga tersampaikan humor-humor satire yang mengenai sasaran di hati publik.

Sebagai pengagum karya-karya Najib Mahfudz (Mesir), tentu saja ia memahami betapa kekuatan sastra dapat berfungsi menjadi saluran perlawanan yang cukup efektif, hingga menembus tebalnya tembok kekuasaan manapun. Humor dalam karya sastra yang menampilkan realitas sosial memang tak pernah netral dan berdiri sendiri. Penulisnya akan menolak prinsip bahwa dunia seni hanya diperuntukkan untuk kesenangan seni belaka. Ia dapat menjelma sebagai kekuatan dan energi yang dapat membongkar kebekuan dan kejumudan alam pikiran manusia Indonesia, untuk dibangkitkan menjadi manusia bermartabat, visioner dan berwawasan global universal.

Hal itu dimungkinkan hanya melalui syarat masyarakat Indonesia agar mengenal dirinya sendiri, memahami keakuannya, membongkar sekat-sekat yang menyelubungi batinnya, menembus dan menyibak kabut-kabut yang selama ini diciptakan oleh dirinya atau leluhurnya sendiri. Alangkah wajar jika akhir-akhir ini kualitas humor mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini patut kita syukuri bersama, mengingat upaya-upaya untuk membangun budaya dan peradaban baru tidak cukup oleh peran sekumpulan lembaga swadaya atau event organizer berikut tetek-bengek proposal yang diajukan kepada pihak pemerintah. Tetapi, murni oleh kekuatan dan skill pribadi yang berangkat dari itikad dan ketulusan untuk membangkitkan kecerdasan dan kedewasaan umat.

Kembali pada soal kualitas humor yang disandang masyarakat kita, sepertinya kaum politisi akan kewalahan untuk menebak dan menakar pemihakan mereka pada golongan kelas atau partai tertentu. Misalnya pada kandungan novel POB, kita hanya mampu menebak pemihakan penulisnya yang sangat dipengaruhi oleh latar sosial-politik Banten, termasuk sikap kritis atas pandangan keberagamaan yang cenderung moderat, konservatif, yang sebenarnya mewakili jagat pemahaman keberagamaan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Karena itu, tokoh-tokoh agama yang kepincut pada dunia politik (dalam POB), digambarkan sebagai representasi dari sebagian tokoh agama di seluruh Indonesia, yang nampaknya sulit keluar dari sekat atau kotak-kotak yang pada awalnya diciptakan oleh dirinya sendiri. Namun, menurut penuturan penulisnya, novel tersebut tak lepas dari iklim sosio-kultural masyarakat religi Indonesia, yang diselubungi intrik-intrik politik. Dan dengannya, muncul tokoh-tokoh yang meningkat kesadarannya karena berhasil memetik hikmah dari perjalanan hidupnya. Sebaliknya, tidak sedikit juga tokoh-tokoh agama dan politik yang semakin jauh terjerumus dalam jurang kesesatan dan kenikmatan duniawi yang semu dan sesaat.

Mengingat banyaknya permintaan, serta rencana pembelajaran sastra di tingkat SMA yang merujuk pada novel Perasaan Orang Banten, berikut ini saya lampirkan novel tersebut setelah meminta izin dari penulisnya. Bagi media yang ingin menampilkannya secara berkala, saya kira alamat penulisnya mudah diakses lewat telepon atau email: hafisazhari@yahoo.com.

Exit mobile version