‘NTOA’
Mereka bilang, ‘hujan tampak deras, menghantam setiap yang di bawah, merajam setiap yang lemah’. Namun bagi sebagian yang lain, hujan adalah rahmat yang diturunkan Tuhan, maka mereka mengucapkan “Allahumma Soyyiban Naafi’an”. Hujan malam ini memang cukup deras, butirannya yang besar-besar merajam atap rumah anyaman daun kelapa khas Daerah Bima. Rumah beratapkan daun kelapa ini dianyam sedemikian rupa oleh tangan-tangan terlatih, sehingga tidak ada celah bagi air hujan menembus anyaman daun kelapa itu. Namun, ketika hujan turun disusul dengan badai berupa angin dan sambaran petir, maka keperkasaan atap anyaman daun kelapa ini tidak berlaku dihadapan sang badai. Tak jarang satu kali hempasan, atap anyaman daun kelapa itu tercopot, lepas, terbang merdeka seperti layang-layang yang terputus dari benang kendali tuannya. Malanglah nasib mereka yang atap rumahnya copot diterpa angin. Kedinginan, kehujanan, dan lain sebagainya.
Di bawah atap-atap anyaman daun kelapa itu, orang Bima biasa menggantungkan hasil tani berupa bawang dan jagung dengan menggunakan bambu panjang. Jagung dan bawang yang digantung itu akan dijadikan bibit baru yang ditanam setelah musim hujan berlalu. Cara menggantungkan hasil tani seperti ini dilakukan bukan karena kekurangan tempat atau ruang, melainkan untuk meenghindari kemungkinan rusak dan hilangnya hasil tani akibat ulah anak-anaknya sendiri melakukan penjualan hasil tani tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Di ujung desa, di tengah dinginnya malam, mencekam. Hidup seorang lelaki renta sebatangkara, dia ditinggal mati oleh istrinya tiga tahun lalu karena wabah penyakit malaria menyerang desa. Namanya Ompu Tantula, hidup di sebuah gubuk reot, kumuh, tak terurus, dan ditemani seekor “Ntoa”, merupakan burung khas Daerah Bima, dengan tubuh kecil mungil berwarna kuning kecoklatan, yang mungkin sekarang sudah tak dapat ditemukan lagi keberadaanya karena habitatnya terancam oleh kapak dan mesin pemotong yang sering kali menggema, pecah di tengah hutan merobohkan pohon demi pohon. Ntoa ditemukan Ompu Tantula dalam sarang dekat sebatang pohon gundul yang roboh akibat ditebang oleh tangan tak bertanggung jawab, dan menyisakan tangis seekor burung kecil yang baru menetas dari cangkang telurnya untuk melihat dunia baru baginya.
Warga sekitar mengenal Ompu Tantula sebagai orang yang ramah, sholeh, dan suka berbagi. Tak jarang, buah-buahan yang dibawanya pulang dari kebun di kaki bukit seberang desa, dibagikannya kepada tetangga dan warga di sekitar masjid. Setiap selesai sholat maghrib sambil menunggu waktu sholat isya, Ompu Tantula selalu merangkul anak-anak yang ada di masjid untuk diajarkan ayat-ayat suci Al-qur’an dengan iming-iming mendapat berbagai macam buah-buahan darinya bagi anak-anak yang rajin dan selalu siap mengaji dengannya.
Belakangan ini banyak orang datang bertamu di gubuk reot itu, tak lain hanya ingin membujuk Ompu Tantula agar berkenan menjual sebagian tanahnya kepada mereka. Terakhir, seorang bos dagang datang bertamu membawa dua karung beras dan setandan pisang. Hhm, Bos dagang licik itu. Tak sedikit orang yang masuk dalam perangkapnya. Dia memeras dan menindas para pedagang yang meminjam modal dagang darinya. Bos dagang ini memiliki puluhan hektar tanah di beberapa desa sekitar. Dengan memperkerjakan kuli sebanyak 78 orang untuk mengolah tanahnya.
“Assalamu’alaikum, Ompu” ucap bos dagang sambil mengetok daun pintu gubuk reot itu.
“Wa’alakumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh, mari masuk, anak muda.”
Belum sempat duduk, ditanyanya langsung Bos dagang dan anak buahnya itu. ”Apa hendaknya maksud sampeyan malam-malam datang bertamu ke rumah saya?” Pintanya lirih.
“Oh begini, Ompu. Sebagai pengusaha muda yang sukses, saya berniat untuk meminta kepada Ompu agar mau menjual tanah yang ada di kaki bukit seberang desa itu, Ompu” Nadanya sombong tak karuan.
Melihat gelagaknya yang congkak, Ompu tak berbicara sedikit pun. Beberapa saat di tengah kesunyian malam mencekam, tanpa kata-kata. Tetiba angin selatan bertiup menembus dinding anyaman bambu, membawa hawa dingin. Hujan akan turun.
“Bagaimana keputusannya, Ompu? Oh, agaknya hujan mulai deras. Kami pulang dulu. Ini ada sedikit sumbangan untuk Ompu.” Tanganya menunjuk dua karung beras serta setandan pisang yang dibawanya dengan tujuan untuk melunakkan hati Ompu agar berkenan menjual tanahnya kepada Bos dagang ini.
“Saya tunggu keputusanmu besok.”
Dengan senyum menampakkan giginya yang ompong, Ompu menjawab, “Saya tidak membutuhkan ini anak muda. Bawa pulang saja sana” sambil berjalan pelan-pelan membukakan daun pintu, berharap mereka segera angkat kaki dari gubuk reot itu.
Bos dagang itu sadar bahwa mereka diusir secara halus oleh Ompu Tantula. Bos dagang beserta anak buahnya tadi berjalan congkak membusungkan dada, kepalanya mengisaratkan tidak mau terhinakan oleh kepala yang hampir gundul dengan rambut putih jarang-jarang tipis itu. Raut wajahnya yang tak sedap, mempertemukan antara dua keningnya, matanya tajam melirik Ompu Tantula yang sedang merayu burung kesayangannya, ‘Ntoa’.
“Pasti aku akan mendapatkan tanahmu itu wahai kakek tua miskin, bagaiman pun caranya!!” begitu kira-kira arti pandangan matanya. Congkak ‘tak tahu diri.
Sudah lama si Bos dagang mengincar tanah milik Ompu Tantula. Karena letak geografis tanah Ompu Tantula sangat strategis dan cocok untuk ditanami jagung dan sayur-sayuran lainnya. Tapi lagi-lagi usaha mereka membujuk Ompu Tantula, gagal, pulang dengan tangan hampa. Bukan tanpa sebab Ompu Tantula enggan untuk menjual tanahnya itu. Karena selama ini, tanah di kaki gunung yang subur-subur ditumbuhi banyak pepohonan lebat yang di dalamnya terdapat banyak buah-buahan, semua ditebang untuk dijadikan lahan pertanian. Maka ketika musim penghujan tiba, warga desa sangat resah dengan banjir yang selalu melanda desa. Ini semua tiada lain karena ulah mereka sendiri yang menggundulkan pepohonan yang ada di kaki gunung, yang seharusnya pepohonan itu dapat meminimalisir terjadinya bencana alam seperti banjir bandang dan longsor. Malah dengan tangan-tangan serakahnya, tangan yang haus akan materi, menebang dan membabat habis seluruh pepohonan yang ada di kaki gunung lainnya di seberang desa.
Ompu Tantula memiliki beberapa hektar lahan yang dipenuhi oleh banyak sekali pepohonan rindang yang disebutnya kebun, merupakan peninggalan orang tuanya. Lahan itu terletak di kaki bukit seberang desa. Tanahnya sungguh subur, ditumbuhi berbagai macam buah-buahan, bunga-bunga, karena banyak ditumbuhi oleh pepohonan, sehingga tak jarang di sini ditemukan binatang-binatang melata, salah satuunya ular yang kapan saja bisa mengancam nyawa pria tua malang tadi.
Suatu pagi selepas hujan reda, tanah becek blepotan, dedaunan masih bergelayutan bintik-bintik air jernih nan bening dipandang mata. Burung-burung mungil terhempas, mengudara, menghamburkan sayap dan bulu-bulu cantik sambari mengeluarkan suara khas yang menandakan tubuhnya yang lincah, kecil mengelilingi hamparan luas dan megah seakan merekalah penguasa jagat langit ini. Pada musim penghujan seperti saat ini, banyak petani yang sering telat datang ke sawah karena masih menikmati kelembutan dan kehangatan selimut dan belaian istri, tentuya. Tak jarang karena keterlambatannya datang memeriksa padi di pagi hari, mereka menangis terisak-isak sambil duduk pasrah dengan kepala mendongak ke langit, tak kuasa menerima kenyataan bahwa padi yang dirawatnya seperti anak sendiri itu kini yang tersisa hanya dedauanannya saja. Semua ini karena ulah burung-burung mungil nakal yang mengikrarkan kepada seluruh makhluk, merekalah penguasa jagat langit nan luas itu tadi. Dasar burung-burung congkak. Petani, sungguh malang dirimu yang terkena musibah ini, maka bersabarlah. Tidakkah kau ingat caramah Ustadz Gamal di Masjid tempo hari itu?, “Setiap kejadian pasti ada hikmahnya, maka bersabarlah. Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan disayangi Tuhan!!!”
Pagi itu Ompu Tantula dengan ‘Ntoa” si burung malang itu, pergi ke kebun di kaki bukit seberang desa. Jarak tempuh dari rumah ke kebun membutuhkan waktu 30 menit. Perjalanan menuju kebun pagi ini tak terasa lelah dan letih, melihat pekarangan bunga-bunga liar merekah indah mempesona, di pinggir jalan setapak itu membuat Ompu Tantula tersenyum lagi-lagi menampakkan gigi ompongnya itu. Oleh Ompu Tantula, ‘Ntoa’ dibiarkan terbang bebas. Namun ajaibnya burung satu ini setiap dilepas terbang bebas tidak pernah tak kembali lagi pada sang pemiliknya. ‘Ntoa’ itu akan tiba duluan di kebun dan menanti serta menyambut kedatangan Ompu Tantula di muka kebun, ‘Ntoa” itu bagai Paspampres yang kewalahan dengan sikap tegapnya menunggu sang Presiden tiba.
Beberapa saat dalam perjalanan. ‘Ntoa’ yang dilepasnya terbang bebas tadi, yang seharusnya menanti dan menyambutnya di pintu masuk kebunnya, tetiba kembali dengan tergesa-gesa menemui Ompu Tantula, bagai orang lupa diri karna dikejar binatang buas yang tak kenal makan selama empat hari. Tak biasanya ‘Ntoa’ bersikap seperti itu. Ompu Tantula terheran-heran melihat ‘Ntoa’ yang masih mondar-mandir resah di atas kepala gundul dengan uban jarang-jarang tipisnya itu. Tak biasanya ‘Ntoa’ si burung malang ini bersikap seperti ini. Masih dalam keadaan bingung, Ompu Tantula mencoba untuk mempercepat langkah kakinya, tergopoh-gopoh dengan wajah panik tak karuan menuju kebunnya di kaki gunung seberang desa.
Setibanya di sana, di kebun nan lebat ditumbuhi banyak sekali pepohonan rindang itu. Betapa kagetnya ia melihat satu-persatu pohon yang ada dalam kebunnya dibabat habis oleh puluhan tangan yang haus akan materi, tangan-tangan rakus seperti tangan-tangan anggota legisatif menggarap uang dan hak rakyat miskin melarat. Dari kejauhan dan kedalaman kebun nan lebat itu terlihat seorang anak muda yang mencolok dari kawanan lain yang sedang membabat pohon. Pakainnya rapi, bersih, berbaju putih, dan bercelana hitam. Bergaya sekali menampakkan ciri khas kecongkakannya—kedua tangan diletakkan dipinggang, dada dibusungkan, dan agak mendongak. Anak muda itu enggan untuk memegang kapak atau mesin pemotong seperti kawanannya. Tampaknya anak muda itulah semalam yang bertamu ke rumah Ompu Tantula. Bos dagang!!
Dengan muka yang masih penuh keheranan dan panik, matanya memerah, pompa dadanya seperti orang yang terkena penyakit asma, Ompu Tantula berteriak kencang sambil mengangkat sebilah parang yang tercantol di pinggang sebelah kiri.
“Berhenti!!! Siapa yang suruh kalian membabat pohon yang bukan hak milik kalian, hah?”. Suaranya lantang bercampur serak karena faktor usia.
Para penebang pohon tadi kaget alang kepalang melihat Ompu Tantula berteriak kencang dengan mengangkat sebilah parang di tangannya. Tetiba seisi kebun menjadi sunyi, sang Bos dagang tadi segera menghampiri Ompu Tantula dengan membawa tas selempang yang tampak benkak. Agak-agaknya isi dari tas itu adalah uang.
“Hhm Ompu, masalah biaya semua beres jadi serahkan saja tanah ini kepada saya. Nanti tanah ini juga akan berguna bagi kelangsungan hidup. Saya akan jadikan tanah ini sebagai ladang jagung yang terhampar luas.”Seperti biasa, suaranya menunjukan kecongkakannya, lembut tapi menyakitkan dan merendahkan lawan bicaranya.
“Saya sudah bilang dari dulu bahwa saya tidak mau menjual tanah ini kepada siapa pun!! Pergi kalian semua!!”
“Keluar dari kebun saya!!!”
“Pikirkan lagi, Ompu. Jangan menolak tawaran saya, Ini tebusannya.” Sambil menodong tas selempang hitam bengkak berisi uang tadi.
Masih dalam keadaan marah, tak dihiraukannya bos congkak dagang itu, Ompu Tantula pun murka. Matanya memerah, melirik tajam ke para penebang pohon yang masih termangu sunyi kepalanya membungkuk memandang tanah, persis seperti anak sekolah yang sedang mengheningkan cipta pada saat upacara hari senin pagi.
“Pergi kalian semua, Bedebah!!! Bajingan!!! Berani-beraninya kalian menebang seenaknya pohon di sini. Pohon yang bukan hak milik kalian, apalagi Bos congkak kalian ini.” Tangan menunjuk tepat di muka anak muda alias Bos dagang congkak tadi.
“Tanah ini milik saya!! dan tak akan saya jual kepada siapapun!!!” Suaranya lantang menggema memecah keheningan. Bos dagang terdiam tak berani berbicara, hingga akhirnya ia memainkan matanya kepada salah ssatu anak buahnya di belakang Ompu Tantula. Ompu Tantula berada dalam jebakan!!!
Dari belakang, Datang secara perlahan pria berpostur tinggi dan gemuk. Warna kulitnya hitam mengkilap karena keringat mencucur deras keluar di pori-pori kulitnya. Pria itu menggenggam sebilah kayu panjang yang ukurannya pas dalam genggaman, berlari-lari kecil seperti maling yang masuk mengendap-endap di dalam gelapnya rumah yang ingin dijarah dan dicurinya.
“Jjddaarr” suara pertemuan antara leher bagian belakang Ompu Tantula dengan sebilah kayu panjang tadi. Tubuh tua renta itu jatuh tergeletak tak berdaya di atas tanah. Ompu Tantula Pingsan!!.
Tanpa ada rasa kasihan di mata dan hatinya, Bos dagang tadi tertawa terbahak-bahak seraya menampakkan ciri khas kecongkakannya yang menjijikan–kedua tangan diletakkan di atas pinggang, dada dibusungkan, kepala agak mendongak, dan berteriak, “Lanjutkan!!!”
Para pekerja tadi melanjutkan pekerjaan yang telah diinstruksikan oleh Bos congkaknya itu. Sedangkan tubuh tua renta, tergeletak tak berdaya itu diseret oleh pria tinggi besar dengan warna kulit hitam yang menghantam Ompu Tantula tadi untuk diikatkan di sebatang pohon mangga kecil di sampingnya.
Betapa menyedihkan sekali nasib Ompu Tantula di pagi hari yang cerah itu, sesosok lelaki tua renta yang seharusnya menikmati kesejukan pagi hari nan indah di kebunnya, melepaskan semua masalah dengan merebahkan badan di atas tanah beralaskan daun pisang, memandang dedaunan hijau, melihat burung-burung kecil mungil bernyanyi dengan kicauannya, berkejar-kejaran, loncat dari pohon satu ke pohon yang lain. Apa daya nasib berkata lain. Bersama ‘Ntoa’ si burung malang, kini Ompu Tantula tidak bisa berbuat apa-apa. ‘Ntoa’ hanya bisa mondar-mandir, pindah dari pohon satu ke pohon yang lain. ‘Ntoa’ berkicau, kicauannya menggema, beradu-padu dengan suara mesin pemotong yang merobohkan pohon demi pohon di kebun tuannya. Mungkin ‘Ntoa’ si burung malang itu juga sedih dan resah melihat tuannya diiperlakukan seperti itu, tuannya yang tak sadarkan diri terlilit oleh tali di salah satu pohon mangga kecil, semua ini karena ulah manusia yang rakus dan haus akan materi. “Tunggulah, tuhan pasti membalas semua perbuatan kalian wahai manusia keji.” Begitu kiranya arti kicauannya.
Matahari tampaknya sudah hampir tenggelam, fana merah jambu terpancar cerah menyiram Ompu Tantula yang sudah berjam-jam dan sampai detik ini masih tak sadarkan diri. Sebelum ditebang, matahari sama sekali tidak bisa menembus kebun Ompu Tantula karena terhalangi oleh pepohonan yang amat lebat. Tapi semua sudah berbeda, lelaki tua itu tersadar dari pingsannya karena pancaran sinar fana merah jambu yang menyiramnya.
Tersadar dari ketidaksadaran, Ompu Tantula lagi-lagi kaget tak karuan dan menangis sejadi-jadinya karena melihat kebunnya sebagian sudah gundul. Apa daya yang bisa dilakukan lelaki tua ini, dia tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya telah diikat di salah satu pohon mangga. Ompu Tantula hanya bisa menangis terisak-isak, bibirnya bergetar. dan suarnya lirih. sembari berteriak;
“Ya Allah, semua ini adalah kuasamu. Apa yang telah terjadi ini adalah atas kehendakmu, semua sudah tercatat di Lauhul Mahfudz!! Hamba hanya bisa bersabar dan berserah diri kepadaMu. Seumur hidup, hamba tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini, Ya Allah. Balaslah perbuatan kedzoliman ini, Ya Allah. Ya, Allah dengarkan hamba.”
Tubuh yang masih dalam keadaan terikat di pohon mangga, Ompu Tantula tak pernah menjadikan hal ini sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban sholat lima waktu. Lelaki tua itu melaksanakan sholat dengan cara memainkan isyarat mata. Dalam ajaran agama, hal ini diperbolehkan dikarenakan keadaan yang memaksakan harus seperti ini. Aturan main Tuhan memang menarik dan mengesankan.
Saat sedang sholat, dalam setiap isyarat gerakan mata, air matanya bercucuran deras, terisak-isak, diikuti suara gemuruh langit meggema memecah keheningan hutan. Seperti biasa, angin selatan meniup kencang mengantarkan hawa dingin menusuk kulit. Air Tuhan turun. Tuhan mendengar semua tangisnya. Siapa yang tak tega mendengar tangisan ini? Tangis dari lelaki tua renta sebatang kara yang terlilit oleh tali di sebatang pohon mangga, tersekap dalam kesunyian malam. Lelaki tua yang baru saja ditimpa masalah yang tak diduga sebelumnya. Kini dia merana, merintih, dan menangis sejadi-jadinya. Jiwanya remuk dan tumbang bersama puluhan pohon yang ditebang oleh manusia rakus, serakah, dan pencuri itu.
Deras, sungguh deras hujan turun. Tetiba di tengah hujan yang deras dan gelapnya malam, sebuah keajaiban muncul, ada sesosok bayangan putih bercahaya menerangi gelapnya kebun yang hampir gundul itu. Mungkin itu adalah sosok malaikat penghibur yang dikirim Tuhan untuk menghibur Ompu Tantula yang terlilit tali di salah satu pohon mangga, menundukkan kepala, tak berdaya sambil menangis terisak-isak. Ataukah mungkin mukhluk ini adalah sesosok Jin yang ingin mengganggu dan menghasutnya untuk tidak lagi percaya kepada kuasa Tuhan yang telah membiarkannya sendiri di tengah gelap malam yang menyekap dan deras hujan?Kemunculan sesosok makhluk putih bercahaya itu tak ia pedulikan. Pikirannya masih melayang-layang, jiwanya telah hancur tak karuan, berkeping-keping, sehingga ia tak tertarik lagi melihat kejadian apapun di sekitarnya. Sungguh malang lelaki tua renta sebatang kara ini.
Malamnya malam itu, hujan turun sejadi-jadinya, deras sederas-derasnya, mengahantam setiap yang di bawah, merajam setiap yang lemah, diikut gemuruh langit dan angin kencang menghempaskan segala yang ada, malam sudah menunjukkan pukul 21.00. Ustadz Gamal, sang imam masjid sempat menanyakan keberadaan Ompu Tantula kepada semua warga kampung karena sepanjang hari ini Ompu Tantula tidak terlihat melaksanakan sholat di masjid, namun semua warga tidak ada yang tahu keberadaannya. Hujan-hujanan dengan ditemani anak sulungnya, Ustadz Gamal dengan memakai payung beranjak untuk mencari lelaki tua sebatang kara itu ke rumahnya di ujung desa. Sesampainya di gubuk reot tempat tinggal lelaki tua itu.
“Assalamu’alaikum.. tok..!!! tok..!!! tok…!!!” sambil mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum.”
“Assalamu’alaikum.” Di tengah hujan yang deras sederas-derasnya itu, dan angin dingin berhembus kencang serta gemuruh langit tiada henti. Wajah Ustadz semakin cemas, dan akhirnya Ustadz mengambil keputusan, menyuruh anak sulungnya untuk mendobrak daun pintu gubuk reot itu.
“JJddaarr!!” Satu kali hempasan kaki, daun pintu gubuk reot itu terbuka, mereka pun memasuki gubuk reot itu, dan ternyata tidak ada siapa-siapa.
“Ayahanda, bagaimana kalau kita cari Ompu Tantula ke kebunnya saja, barangkali beliau ada di sana tak bisa pulang karena hujan deras, udara dingin, lagi pula beliau sudah tua, jadi beliau tak kuat untuk jalan pulang, Ayahanda,” pinta anak sulung Ustadz Gamal tadi.
Dengan wajah yang cemas tak karuan, menoleh kiri kanan menengok setiap sudut gubuk reot itu, Ustadz Gamal setuju dengan pendapat anak sulungnya itu.
“Ayo, Nak. Bergegaslah.” Suaranya lirih, mempercepat langkah kakinya, matanya berkaca-kaca, dan air mata Ustadz Gamal pun mengalir tak tahan memikirkan apa yang sedang dilakukan lelaki tua itu di tengah gelap malam, hujan deras, angin kencang, suara gemuruh tiada henti, dan sunyi sendiri di kebunnya.
Hampir sampai di kebun yang berada di kaki bukit itu dengan berbekal masing-masing satu senter batu baterai bercahaya orange. Dengan sorotan cahaya orange senternya, Ustadz Gamal sontak kaget melihat lahan kebun yang sepengetahuannya sangat lebat, kini sebagian besar telah gundul.
“Apakah gerangan yang terjadi?” suaranya keras mengagetkan anak sulung yang membersamainya.
Ustadz Gamal dan anak sulungnya makin mempercepat langkah memasuki kebun yang hampir gundul itu.
“Astagfirullah Hal’adzim, apa yang telah terjadi?” Teriak Ustadz Gamal dalam gelap malam, di tengah hujan yang masih bercucur deras, suara gemuruh yang tiada henti, melihat sosok lelaki tua duduk membungkuk bersandar di salah satu pohon mangga kecil, dan masih dalam keadaan tubuhnya terlilit oleh tali.
“Ompu Tantula!!!” Teriak Ustad Gamal keras.
Gerak refleks lebih cepat dari gerakan ayahandanya, anak sulung Ustadz Gamal itu sontak berlari dan melepas payung serta senter batu baterai bercahaya orange yang ada di tangannya, segera melepaskan tali yang melilit tubuh kurus krempeng yang terkulai lemas itu.
Setelah melepaskan tali yang melilit tubuh kurus krempeng itu, dilihatnya Ompu Tantula lemas lesu tak sadarkan diri, wajahnya pucat pasi, bibirnya putih, dan kantong matanya membiru. Lelaki tua ini terlalu lama berada di tengah hujan dan hempasan angin dingin menusuk tubuhnya.
“Detak jantung dan denyut nadinya tidakku rasakan, Ayahanda. Ompu Tantula telah kembali ke Rahmatullah!!”
“Apa? Ompu Tantula meninggal dunia?”
Penulis: Pandu Kalam, lahir di Desa Kalampa, Kecamatan Woha, Bima-NTB pada tanggal 04 Juli 1999. Kini merantau ke Singaraja-Bali dan aktif di organisasi dalam maupun luar kampus. Hobi menulis semenjak duduk di bangku perkuliahan, kegemaarannya menulis cerpen dan sering mengikuti event menulis yang diadakan oleh kampus-kampus yang ada di Indonesia, antara lain event Karya Tulis Ilmiah dan Karya Sastra.