NUSANTARANEWS.CO – Revolusi Konstitusional dan Ketidakharmonisan Bangsa. Ketidakharmonisan bangsa ini bertahan begitu lama. Salah satu sumber dan pemicu persoalannya adalah tiap pemimpin di negeri ini mengklaim diri sebagai sentrum utama nasionalisme, sumber nasionalisme. Presiden klaim diri pusat nasionalisme berada disinggasana kekuasaan di istana negara dan pemegang kekuasaan, sedangkan rakyat dianggap bukan nasionalis. Seakan-akan pusat nasionalisme hanya deliver dari Sukarno ke Suharto, Habibie, Gusdur, Megawati, SBY dan Jokowi saat ini. Sementara rakyat dianggap bukan pemilik nasionalisme.
Bahaya akibat nasionalisme personifikasi individu para pemegang kekuasaan menjustifikasi dan bahkan memperlebar segregasi antara pemerintah dan rakyat, dimana rakyat termarjinalkan dari mainstream utama nasionaliame dan bahkan dianggap bukan nasionalis.
Akibatnya hari ini kita menyaksikan jutaan rakyat muslim turun ke jalan-jalan protokol menuntut keadilan, orang-orang pinggiran di Papua, Aceh dan Kalimantan berjuang mempertahankan identitasnya. Inilah problem kebangsaan kita saat ini. Karena nasionalisme hanya diklaim milik segelintir elit politik di negeri ini.
Perilaku arogan yang dipertontonkan oleh pemimpin negeri ini dengan mengkultuskan diri sebagai pemilik negara adalah absurd, arogan, kronisme dan cenderung primordialisme. Namun harus diingat bahwa Bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh kelompok, satu orang, satu suku dan agama.
Laksamana Malahyati berjuang di Aceh, Sisingamangaraja di tanah Batak, pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Hasanudin di Makasar, Patimura di Ambon, demikian pula ada 7 Pahlawan keturunan China, ada Baswedan dari keturunan Arab, pahlawan beragama Katolik dari Jawa Tengah, Slamet Riyadi, Adi Sutjipto, Adi Sumarmo, Yos Sudarso, I.J. Kasimo dan lain-lain, yang merintis kemerdekaan ini semua suku bangsa dan agama.
Para pejuang ini keturunan rakyat jelata, bukan darah biru, raja-raja di nusantara juga tidak pernah berjuang kemerdekaan Indonesia, mereka hanya sebagai pemungut cukai, kaki tangan dan anak emas kolonial. Padahal dalam sejarah, kolonial hanya 1 orang Raja yang diesksekusi mati oleh Belanda, yaitu Raja Ende Lio di Flores, Pius Wasi Wangge di eksekusi di Kupang, namun hari ini Kesultanan Yogya dan Kesultanan Solo dan Darah Biru di Jawa mengklaim negeri ini milik mereka, omong kosong!
Apa yang perlu kita lakukan hari ini, rakyat Indonesia harus bersatu melawan dan menentang nasionalisme personifikasi individu menjadi nasionalisme tanah air dan bangsa. Karena nasionalisme menyatakan pertautan perasaan identitas diri dan keanekaragaman sebagai mosaik Indonesia. Nasionalisme juga bersatu karena kita mengalami trauma dan tragedi yang sama pada masa lampau (renan).
Atas nama nasionalisme membungkam lawan-lawan politik adalah salah. Atas nama nasionalisme menerkam rakyat juga tentu tidak bisa dibenarkan. Ironi di negeri ini, di Jerman, Hitler tampil sebagai pemimpin yang kejam membunuh 6 juta Bangsa Jahudi tidak pernah mengklaim diri pusat nasionalisme, juga bukan untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai kanselir Jerman. Tetapi Hitler membela bangsanya yaitu bangsa Prusia, berjuang demi harga diri bangsa Prusia.
Demikian pula di Rusia dimulai dari restrukturisasi Rusia melalui grasnot, demokratizya dan preostroyka dan akhirnya juga negara Rusia melepaskan beberapa negara pecahan di Eropa Timur dan 3 negara di Kaukasia Selatan pada 1991 juga untuk mempertahankan bangsa Rusia seperti sekarang ini. Revolusi Perancis adalah juga mempertahankan bangsa Perancis dan juga restorasi Meiji di Jepang terjadi setelah penjajahan Jepang terhadap China dan kemenangan Jepang atas perang Manchuria menghadapi Rusia dan Jerman juga untuk mengangkat harga diri dan nasionalisme bangsa Jepang bukan untuk mempertahankan citra atau kekuasaan Meiji dan Kawan-Kawan yang menjadi Pemimpin perang.
Oleh karena itu, para pemimpin negeri ini yang mengklaim diri pusat nasionalisme harus kita lawan! Kita harus lawan! Kita harus lawan. Lawan tidak mesti perlawanan fisik tetapi perlawanan terhadap cara pandang, pola pikir dan nalar penguasa yang berada di singgasana kekuasaan. Karena akal sehat untuk mengelola negeri ini sedang tumpul, galau dan bahkan nelangsa di simpang kiri jalan. (Bersambung ……)
Editor: Eriec Dieda & Banyu Asqalani