NUSANTARANEWS.CO – Wakil Sekretaris PBNU Abdul Mun’im DZ membeberkan kisah tentang pembantaian ulama dan para santri oleh PKI pada tahun 1948 silam. Menurutnya, sejarah pembantaian pada masa itu penting untuk dikuak dan disajikan ke hadapan publik serta seluruh rakyat Indonesia agar tak hanya sekadar tahu peristiwa 1965 semata.
Pasalnya, peristiwa 65 telah dijadikan alat politik oleh sisa-sisa PKI saat ini untuk memutarbalikkan sejarah. Peristiwa 1948 memang jarang dipaparkan ke hadapan publik sehingga tampak tertutup rapi, bahkan nyaris tidak terpublikasi.
Berikut kisah singkat dari Mun’im DZ terkait dengan peristiwa berdarah pembantaian ulama oleh PKI dan para santri, termasuk juga kalangan umat Islam lainnya pada tahun 1948 silam. Kisah ini merupakan hasil wawancara nusantaranews.co di Jakarta, Rabu (25/5/2016) siang menjelang sore hari.
Pembantaian ulama oleh PKI berawal ketika PKI tidak mengakui revolusi kemerdekaan 1945 yang dideklarasikan oleh Soekarno dan Moh. Hatta dan PKI mendeklarasikan revolusi sendiri pada tahun 1948. Nahdlatul Ulama (NU) selalu melakukan dukungan penuh terhadap Bung Barno dan Moh. Hatta dalam membangun bangsa Indonesia dan PKI malah membuat gerakan perlawanan dan mencoba untuk melakukan gerakan coup d’État (kudeta) terhadap posisi dari Bung Karno dan Bung Hatta. NU dianggap sebagai musuh yang sangat berbahaya oleh PKI karena secara kuantitas NU adalah organisasi yang mempunyai basis massa yang besar dan kiyai mempunyai pengaruh yang kuat terhadap warga NU. Maka tidak heran jika NU dianggap sebagai batu sandungan oleh PKI. Dan PKI menculik kiyai-kiyai dan membunuhnya. Perencanaan kudeta yang dilakukan oleh pemerintahaan yang baru diproklamirkan ini sudah dikonsep dengan sangat matang. Pemberontakan dimulai dengan melakukan pengambil-alihan krasidenan-kraisidenan di berbagai daerah. Strategi tersebut dilakukan untuk melumpuhkan pemerintah pusat. Gerakan revolusi yang dilakukan oleh PKI tersebut banyak menimbulkan korban jiwa, seperti dari unsur pemerintahan, unsur militer, dan rakyat sipil. Pada tahun 1950-an PKi kembali melakukan sabotase dengan membuat pemogokan masal pada perusahaan-perusahaan, sehingga berdampak pada lumpuhnya roda perekonomian. Peristiwa sabotase ini dikenal Razia Agustus 1951. Perlakuan PKI membuat Bung Karno marah.
Pada tahun 1955 karena status PKI sebagai partai resmi, akhirnya PKI ikut serta dalam Pemilu. Banyak anggota PKI yang menjadi dewan konstituante dan anggota DPR. PKI menginginkan untuk menjadi menteri hanya saja dihalang-halangi oleh NU. NU marah dengan Bung karno ketika Bung karno ingin memasukkan PKI ke dalam kabinet (menjadi menteri) dengan luka lama yang dimiliki oleh NU, itu salah satu alasannya.
Pada tahun 1960-an karena dinamika politik yang sedang terjadi akhirnya PKI ada yang menjadi menteri. Dalam kabinet, PKI bersifat low profil. PKI tidak berani bersikap keras karena di dalam kabinet juga ada NU. Pada tahun 65 terjadi revolusi berdarah (revolusi borjuis) seperti yang diketahui oleh orang-orang ada rangkaian antara 48 dengan 65 bahwa PKI ingin melakukan gerakan coup d’État (kudeta) terhadap Soekarno. Lagi-lagi NU menghalangi rencana itu. (Uck/Erc)