Judul : Berebut Wacana
Penulis : Carool Kersten
Penerjemah : M Irsyad Rasfadie
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Maret 2018
Tebal : 366 Halaman
ISBN : 978-602-441-060-5
Oleh : M Ivan Aulia Rokhman*
NUSANTARANEWS.CO – Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan banyaknya umat Islam yang ada di negeri ini, pengaruh dan pemikiran umat Islam pun berlangsung dinamis.
Pergulatan pemikiran para cendekiawan muslim di Tanah Air itu menarik perhatian Carool Kersten. Pengarang buku A History of Islam in Indonesia: Unity in Diversity (2017) itu coba memetakan dinamika pemikiran Islam di Indonesia, sebelum dan setelah Reformasi untuk memahami peta politik dan intelektual Islam di negeri ini.
Kersten menyebutkan, setelah berada di bawah rezim Orde Baru selama 32 tahun, era Reformasi menjadi masa tumbuhnya berbagai wacana yang sebelumnya sempat dikekang, termasuk dalam dunia Islam. Polarisasi antarberbagai kelompok aktivis muslim semakin terlihat. Perdebatan intelektual dengan bahasa dan ekspresi juga semakin agresif. Setiap kelompok mencoba menancapkan wacana mereka ke publik dan memengaruhi kebijakan negara.
Mulai Majelis Ulama Indonesia, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah (FKASWJ), hingga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Antagonisme dan polarisasi yang kian tajam di kalangan aktivis dan intelektual muslim Indonesia itu, menuntut perhatian lebih saksama terhadap substansi dan gagasan yang dimunculkan. Dari sekian banyak wacana, Kersten menemukan, ada tiga isu yang memicu perdebatan, yakni pluralisme agama, hak asasi manusia, dan kebebasan berpikir.
Kersten menyontohkan, salah satu perdebatan sengit yang muncul ialah fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. MUI mengelurkan fatwa tersebut karena paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dalam hal akidah dan ibadah. (hal 1)
Ia mencatat, selain Fatwa tentang pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama, MUI juga mengeluarkan dua fatwa lain pada 2005 yang memunculkan polemik, yaitu doa bersama dan aliran Ahmadiyah (hal 249).
Di sisi lain, buku ini hanya meng-cover peristiwa hingga sekitar kurun waktu 2013, sedangkan kontestasi pemikiran Islam terbaru terutama pasca-Pilkada DKI Jakarta dan pembubaran HTI tidak disinggung. Dari beberapa kritik terhadap buku ini, beberapa akademisi Indonesia memberi tanggapan positif pada karya Kersten. Yudi Latif pada sampul belakang berkomentar, buku ini mencoba menggambarkan fenomena pertarungan wacana umat Islam di era reformasi secara segar dan menarik.
“Analisis lama Islam modernis vs tradisional yang biasa diwakili oleh Muhammadiyah dan NU menjadi terlalu simplistis, bahkan misleading,” tulis Yudi.
Peran dan pemikiran tokoh-tokoh tua yang karismatik tidak lagi menjadi mainstream ketika intelektual Islam muda mengkritisi mereka dan menggeluti ide-ide Islam secara baru, yang bersifat lintas batas, lintas mazhab, dan lintas disiplin. Menurut Yudi, jejaring internasional membuat pertarungan wacana Islam di Indonesia mesti dibaca juga dalam konteks global.
Dijelaskan pula gagasan para pemikir dan aktivis Muslim Indonesia yang dipengaruhi oleh sarjana luar, Timur Tengah dan Barat seperti Abid al Jabiri, Muhammad Arkoun, Hassar Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Fazlur Rahman, dll. Perebutan wacana kubu reaksioner dengan kubu progresif ini direkam secara menarik. Ada tiga isu utama pemicu perdebatan, yakni pluralisme agama, Hak Asasi Manusia (HAM), dan kebebasan berpikir. Penulis juga melakukan penelusuran terhadap konteks sejarah sensitivitas ketiga isu ini sampai periode kolonial. Kedua kubu memandang kajian akademik mengenai Islam, sebagai medan pertarungan utama. Sengitnya perdebatan juga pada ranah bagaimana agama mesti berfungsi dalam kehidupan publik. Penting diketahui, politik juga berkontribusi terhadap ketegangan agama di Indonesia saat ini.
Buku ini layak dijadikan rujukan bagi siapa pun yang ingin mengetahui perkembangan intelektual Islam Indonesia kontemporer, agar bisa memahami peta perebutan wacana dan bisa memfilter kuatnya arus informasi agar tidak mudah hanyut di tengah dahsyatnya gelombang perdebatan.
*M Ivan Aulia Rokhman, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Dr Soetomo Surabaya. Lahir di Jember, 21 April 1996. Lelaki berkebutuhan khusus ini meraih anugerah “Resensi / Kritik Karya Terpuji” pada Pena Awards FLP Sedunia. Saat ini aktif di Devisi Kaderisasi FLP Surabaya, UKM Pramuka, dan UKKI Unitomo Surabaya.