“Alkisah pada 1200an di Kerajaan Singhasari, Raja Kertanegara mendirikan Prasasti berupa sebuah Candi. Candi itu kemudian disebut Candi Kidal. Terletak di sebelah Timur Kota Malang sekitar 20 kilometer. Konon Candi itu dipersembahkan untuk mendiang ibunya, Tribuana Tunggadewi yang hidupnya sempat terlunta-lunta.”
NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Terlepas dari cerita sesungguhnya di atas, serta cerita yang beredar di kalangan masyarakat, aktivis senior Sri Bintang Pamungkas (18/8/2017) mengartikan sendiri. Itu setalah dirinya mengunjugi Candi tersebut pada 2013 silam. Sebagaimana kebanyakan Candi, kata Sri Bintang, di Candi Kidal banyak terukir relief-relief.
Ada tiga relief yang menggambarkan cerita tentang Garuda dan Naga. Sementara di salah satu relief digambarkan ada seekor Garuda bersama tiga ekor Ular Naga. Di relief yang kedua ada gambar Garuda sedang membawa Tabung berisi air di kepalanya. “Konon air itu adalah Air Amarta dari Lautan. Sedang relief ketiga ada gambar Garuda dengan seorang Perempuan Cantik, juga dibawanya di atas kepalanya,” ujar Sri Bintang.
Menurut yang punya cerita, ada dua orang ibu yang masing-masing melahirkan Garuda dan Tiga Ular Naga. Tiga Ular Naga ini berbuat jahat terhadap ibu si Garuda dan menyanderanya, sehingga Garuda harus bertempur melawan para Naga. Dalam pertempuran itu, Sang Garuda kalah, sehingga meminta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa. Diberilah Sang Garuda itu senjata berupa Air Amarta yang berasal dari Lautan.
Dengan Air Amarta itu, Sang Garuda kembali bertempur melawan para Naga untuk membebaskan ibunya. Kali ini, kata Sri Bintang, Sang Garuda memenangi peperangannya melawan para Naga. Ia berhasil membebaskan dan membawa kembali ibunya.
“Bagi kita, Garuda itu adalah simbol bangsa Nusantara atau Indonesia. Sedang Ular Naga itu adalah simbol bangsa Cina. Dari cerita sejarah sebelumnya, tentulah Raja Kertanegara tahu, bahwa bangsa Cina dari Utara sudah sering melakukan ekspedisi ke Selatan, sejak abad VI, untuk menaklukkan Nusantara. Antara lain, Meng Cie, adalah pejabat Negara Cina yang diutus untuk meminta Singhasari tunduk kepada Cina. Kertanegara marah, memotong kedua telinga Meng Cie dan menyuruhnya pulang,” ungkap Sri Bintang.
Apa yang ingin disampaikan raja Kertanegara dengan Candi Kidal, lanjutnya adalah sebuah peringatan bagi bangsa Nusantara agar selalu waspada dan berhati-hati terhadap bangsa Cina. Sang ibu yang digambarkan di Candi itu, kata Sri Bintang, tak lain adalah Ibu Pertiwi Nusantara. Sementara Air Amarta yang dimaksuda adalah lautan yang mempersatukan pulau-pulau di Nusantara.
“Ibu Pertiwi Nusantara akan merdeka dan menang melawan musuh dari manapun, hanya dengan persatuan. Lautan di Nusantara itulah yang membikin rakyat Indonesia bersatu,” terangnya.
Gambar Garuda di batu relief di Candi Kidal itu pulalah yang dilihat oleh Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat, digambarnya ulang dan diperlihatkannya kepada Bung Karno. “Bung Karno melukiskan kembali gambar Garuda itu menjadi Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang,” kata dia.
Dirinya menambahkan, saat berkunjung ke Candi Kidal pada 2013 silam, hanya relief kedua yang masih terlihat bagus. Sedangkan yang lain, ujar dia sudah rusak dan tidak jelas. “Gambar Garuda yang sedang membawa Tabung Air Amarta itu yang kemudian saya pakai untuk front cover buku saya berjudul Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Untuk Menguasai Nusantara yang terbit pada 2014. Sebuah cerita tentang upaya orang-orang Cina menguasai Nusantara, dari sejak jaman Soekarno sampai Jokowi,” tegasnya.
Pewarta/Editor: Romandhon