Merawat Kebhinekaan dalam Masyarakat Plural

Merawat Kebhinekaan. Ilustrasi: pancasila - blogger

Merawat Kebhinekaan. Ilustrasi: pancasila - blogger

Merawat Kebhinekaan dalam Masyarakat Plural. “… bukanlah dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa memerima pendapat dan asal muasal bukanlah tanda kelemahan,melainkan menunjukkan kekeuatan.” –Gusdur, Presiden RI ke 3

Adalah sebuah kenyataan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, plural, dan beragam. Proklamasi yang dibacaka oleh bung karno pada 17 Agustus 1945 semestiya menyadarkan bahwa Indonesia tidak satu, dalam artian keberagaman suku, agama, dan banyaknya budaya yang melatar belakangi kemerdekaan Indonesia. Demikian pula seiring dengan perkembangan zaman dan di era globalisasi ini keberagaman semakin menampakkan diri. Masyarakat Indonesia pada era ini, tidak hanya bergaul dengan sesama bangsanya akan tetapi juga harus dapat memerima bangsa lain sekaligus pengaruh budayanya. Maka sikap pluralism dan toleransi tentunya menjadi pilihan yang tepat bagi bangsa Indonesia.

Dengan keakeragamannya bangsa Indonesia tidak mungkin dikelola oleh satu golongan saja. Oleh karena itu, pancasila sebagai landasan negara yang diharapkan dapat mempersatukan bangsa Indonesia. Tidak semua orang dapat memerima perbedaan yang ada di Indonesia, maka dari itu dibutuhkan pemahaman toleransi yang tinggi dalam berbangsa dan bernegara. Setiap individu tentunya mempunyai keunikan, baik dalam cara berpikir, berprestasi maupun bertindak, sehingga memutlakkan merupakan suatu pemerkosaan terhadap (hak-hak) individu yang bersangkutan[1] (Andreas A. Yewangoe: 2016).

Negara Indonesia sangat memegang erat nilai-nilai toleransi. Yakni diperlihatkan secara simbolik pada gambar burung Garuda yang memegang semboyan “Bhineka Tunggal Ika”[2]. Semboyan tersebut merupakan gambaran bahwa pluralnya tradisi budaya dan agama di Indonesia, ditambah dengan budaya-budaya barat ketika zaman penjajahan ikut mempengaruhi nilai-nilai budaya dan agama yang dimulai dari ujung barat hingga timurnya Merauke[3]

Kesadaran akan pluralitas yang dimiliki Indonesia khususnya mengenai agama, telah dibahas secara komprehensif sejak pada sidang-sidang BPUPKI. Soekarno menghendaki adanya dasar negara yang menghimpun semua agama di Indonesia, dengan mengatakan :

“…“Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petujuk Nabi Muhammad SAW., orang Buddha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya, tetapi masilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara-negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoime-agama’,..”.[4]

Pada pernyataan bung karno sangat terlihat sekali bahwa Indonesia sudah selayaknya memahami keberagamannya, tidak hanya bung karno bahkan pada sidang BPUPKI pun Mohammad Hatta menghendaki negara sebagai pemersatu dan mengurusi hal-hal keagamaan. Dengan memberikan pernyataan:

“… kita menerima aliran pengertian negara persatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala faham perseorangan Negara, menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh kita lupakan…”[5]

Pemikir filsafat Thomas Scanlon dalam bukunya The Difficulty of Tolerence, merumuskan bahwa toleransi berkaitan dengan kesadaran moral yang dapat dimengerti dengan pertanyaan ‘what we owe to each other’ atau ‘kita berhutang apa dari sesama kita”.[6] Dalam pemikiran Scanlon:

Tolerance requires us to accept people and permit their practices even when we strongly disapprove of them. Tolerance thus involves anattitude that is intermediat ebetween wholehearted acceptance and unrestrained opposition”[7]

Untuk itulah pada hakikatnya untuk memiliki sikap toleransi tergantung sikap dari semua pihak untuk menurunkan tensi egonya, agar kerukunan yang dicita-citakan berdasarkan Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia” akan tercapai tanpa ada proses secara represif dan tidak berkeadilan.

Pluralisme sebagai realitas dengan pluralisme sebagai konsep memiliki implikasi yang berbeda. Sebagai realitas, sebagian orang memahami dan menyadari bahwa tidak ada realitas yang tunggal. Ada keunikan, keragaman, dan perbedaan yang hidup dalam diri individu dan kelompok. Karakteristik semacam ini, saling berbenturan dan tidak jarang menimbulkan konflik. Tetapi saat mampu dikelola secara baik, justru menjadikan kehidupan begitu menarik dan mencerahkan.

Oleh: Latipah, Aktivis FokDem.

____________________________

[1] Andreas A. Yewangoe, “Regulasi Toleransi dan Pluralisme Agama di Indonesia”, http://abaddemokrasi.com/sites/default/files/ebook/Merayakan%20Kebebasan%20Beragama%20DP.pdf, diakses tanggal 6 Juli 2017

[2] Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan yang dijadikan nilai-nilai dalam bermasyarat di Indonesia. Artinya adalah berbeda-beda tapi tetap satu jua yang dikemukakakn oleh Mpu Tantular.

[3] Jimly Asshidiqqie, Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca Reformasi, disampaikan ketika dialog tentang “Toleransi Beragama” di Hotel Borobudur Jakarta, 13 Februari, 2004

[4] Yudi Latif, Negara Paripurna, Gramedia Kompas, Jakarta, 2011, h. 119-120

[5] Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945; Sekretariat Negara Republik Indonesia: Jakarta, 1998.Hal. 291

[6] Thomas Scanlon, The Difficulty of Tolerance, (Cambridge: Cambridge University Press).

[7] Ibid. hlm. 187.

Exit mobile version