Khazanah

Peneliti: Pluralisme Wujud Harmonisasi Keberagamaan

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Peneliti Bidang Hukum Pidana Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Dedy Sumardi mengatakan, pluralisme di Indonesia merupakan wujud pembentukan keharmonisan keberagaman masyarakat.

“Pluralisme hukum bukanlah konsep baru yang muncul dalam sistem hukum modern, melainkan sebuah pendekatan untuk menganalisa bekerjanya berbagai sistem hukum secara berdampingan dalam sistem pemerintahan negara bangsa,” kata dia seperti dikutip siaran persnya, Jakarta, Selasa (21/11/2017).

Ia menjelaskan, pluralisme hukum muncul berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berinteraksi satu sama lain sesuai dengan identitas yang dimiliki. Sebab, setiap masyarakat bukanlah lahir dari sistem nilai tunggal (mono-value), melainkan terdapat beragam sistem nilai dalam bentuk budaya, adat, suku maupun ras.

“Keragaman ini bukanlah sesuatu yang harus dinafikan, dihindari atau dipaksakan dalam satu wadah hukum yang dikenal dengan hukum sentralistik (legal centralism),” terang dia.

Hukum dalam perspektif legal centralistic, katanya lagi, diusung oleh hukum negara dan memandang sistem hukum saling berkompetisi dengan menjadikan paradigma positivistik sehingga memberi penilaian terhadap perilaku manusia sebagai objek hukum.

Sebaliknya, keragaman sistem nilai dapat dikelola dengan baik melalui cara pandang keragaman nilai, tanpa melupakan nilai-nilai tertentu sebagai bagian identitas masyarakat.

Menurut dia, perspektif terakhir ini memosisikan manusia sebagai subjek hukum dan saling berinteraksi satu sama lainnya.

“Di era modernisasi, hukum tidak lagi dipahami sebagai sebuah sistem norma yang mengikat setiap warga negara. Hukum dikontrol dan diawasi oleh negara melalui sejumlah regulasi formal yang dibuat, dan disusun oleh komunitas tertentu yang memiliki akses langsung dengan negara,” jelasnya.

Dedy menambahkan, konsekuensi sistem sentralistik berdampak pada munculnya sifat sentralistik hukum. Artinya, hukum terpusat pada kepentingan penguasa. Dalam hal tertentu sering mengabaikan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat majemuk. Sistem nilai yang terdapat pada setiap masyarakat menjadi pengikat sosial dan menggerakkan kehidupan ekonomi, sosial masyarakat melalui prinsip timbal balik (principle of reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of publisitas) yang telah berlangsung secara bersama-sama.

Ia menambahkan, dalam khazanah Islam, pluralisme hukum bukan hal baru. Hal ini terkandung dalam konsep rahmatan lil ‘alamin, yang di dukung oleh sejumlah ayat al Qur’an dan praktek Nabi.

Catatan sejarah, lanjut dia, membuktikan keragaman budaya, suku, kasta sosial masyarakat Arab mendapat pengakuan dalam tradisi keislaman, meskipun masih terdapat perbedaan cara pandang dari suku-suku atau kabilah-kabilah Arab. Namun, perbedaan tersebut dapat disatukan dalam perjanjian bersama.

“Perjanjian lintas primordial dituangkan dalam sebuah dokumen yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dokumen ini sebagai bukti diakuinya paham pluralisme hukum guna mengakomodir hukum yang hidup dan masih dianut oleh komunitas suku-suku masyarakat Arab,” paparnya.

Sebelumnya, pada 2 Desember 2016 lalu, berbagai elemen masyarakat melakukan aksi demo yang diberi nama aksi 212. Ada beberapa aspirasi yang disuarakan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif sekaligus pengawas agar menekan pemerintah untuk melaksanakan ketentuan yang sudah berlaku dalam undang-undang. (red)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts