Menolak Monopoli Konstitusional BUMN Mestinya Tak Hanya Soal Izin Impor Migas

blok migas corridor, ignasius jonan, perpanjangan kontrak, kontrak blok migas, esdm, pertamina, nusantaranews
Pengelolaan Blok Migas. (Foto: Istimewa/energyworld.co.id)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemerhati ekonomi konstitusi Defiyan Cori mengatakan bahwa menolak monopoli konstitusional BUMN mestinya tak hanya soal izin impor migas.

Hal itu mengacu pada pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir tanggal 4 Desember 2019, sebagai sebuah tanggapan yang diberikan atas rencana kebijakan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (numenclateur aneh dan dipaksakan) Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

“Yaitu memberikan izin playing field area atau wilayah bermain di pasar bagi swasta dalam industri minyak dan gas bumi (migas), khususnya solar dan avtur,” kata dia di Jakarta, Kamis (5/12/2019).

Pihaknya menyampaikan sejumlah poin terkait hal tersebut.

Pertama, bahasa dan penjelasan Menteri BUMN cukup jelas dan tepat, bahwa mandat konstitusi Pasal 33 UUD 1945, terutama berkaitan dengan pernyataan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

“Oleh karena itu terminologi penguasaan negara wajib diberikan pada Badan Usaha Negara (BUMN) serta tidak boleh dilanggar begitu saja hanya memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan sesaat dan berjangka pendek,” jelasnya.

Kedua, sektor Migas adalah salah satu cabang produksi penting yang berada dalam bumi dan air serta yang terkandung di dalamnya adalah sumber bahan baku dengan produk olahannya antara lain adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) selama ini diberikan hak kelolanya kepada BUMN Pertamina, termasuk Avtur.

Ketiga, berdasarkan perkembangan atas mandeknya revisi terhadap Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001 serta Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 (Perpres 191/2014) tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM (tak menjelaskan soal avtur) yang pasal-pasalnya masih terbuka ruang interpretasi terkait badan usaha pemegang izin, beserta mekanisme  distribusinya.

“Maka Menteri BUMN akhirnya memberikan sikapnya untuk menanggapi rekan kerja kabinetnya di pemerintahan yang selalu menyampaikan harga jual avtur Pertamina mahal walau faktanya lebih murah,” kata dia.

Keempat, katanya, selain alasan konstitusi ekonomi, maka berdasarkan kenyataan efektifitas dan efisiensi yang ada selama ini, maka BUMN Pertamina sangat berperan besar dalam penyediaan dan pendistribusian Energi atau BBM, tak terkecuali Avtur dan sudah berkontribusi besar bagi pembangunan energi bangsa dan negara.

“Namun demikian, publik dapat memahami posisi Menteri BUMN soal kebijakan memberikan peluang bisnis avtur pada swasta yang tak pro konstitusi ini dengan alasan peraturan per Undang-Undangan sebagai turunan dari konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 yang masih terbuka lebar ruang multiinterpretasinya,” terang Defiyan.

Kemudian, dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, walau peran penting dan strategis Pertamina tak bisa dinafikkan apalagi dicoba untuk dieliminasi demi kepentingan sekelompok pihak yang punya kepentingan mengkapitalisasi sektor energi demi keuntungan orang per orang atau sekelompok orang.

“Maka kami mendukung kebijakan masuknya swasta dengan prasyarat dan syarat-syarat yang telah diajukan oleh Menteri BUMN tersebut, bahwa swasta tak hanya meminta untuk sekedar memiliki izin impor, tetapi juga membangun industri energi secara holistik dan komprehensif dari hulu sampai ke hilir untuk didistribusikan ke pelosok negeri, termasuk daerah-daerah tertinggal, terdalam, terluar dan bandara-bandara kecil, membangun infrastrukturnya serta menjualnya dengan harga yang murah,” urainya.

“Oleh sebab itu, kami mendukung Menteri BUMN dan meminta Pemerintah untuk menetapkan aturan tegas yang terkait dengan hak konstitusi BUMN dan penolakan monopoli bidang energi oleh swasta terkait penguasaan negara di sektor Migas tersebut agar dijadikan materi bagi revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan Perpres 191/2014 dengan memasukkan prasyarat dan syarat yang disampaikan oleh Menteri BUMN tersebut,” sambung Defiyan.

Dia menuturkan sebagai tindak lanjut keinginan swasta yang disampaikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi bersama Menhub serta tanggapan yang telah disampaikan oleh Menteri BUMN bahwa bisnis avtur swasta harus membangun produksi migas atau avtur, tidak bersandar pada aset Pertamina dan apalagi hanya meminta lisensi impor demi keuntungan semata sementara Pertamina tidak diizinkan impor migas karena ditugaskan mengatasi defisit migas.

“Demi pelaksanaan konstitusi ekonomi secara bertanggungjawab, maka Presiden harus mengambil peran dalam menyelesaikan soal ruang yang diberikan pada swasta atas hak monopoli BUMN di sektor Migas, khususnya bisnis avtur tersebut supaya diskursus dan berkembangnya informasi simpang siur di ranah publik dapat segera diakhiri,” pungkasnya. (sld/adn)

Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version