Mengkaji Ulang Sistem Zonasi Sekolah

Anak-anak sekolah. (Foto: Ilustrasi/Istimewa)

Anak-anak sekolah. (Foto: Ilustrasi/Istimewa)

Mengkaji Ulang Sistem Zonasi Sekolah

Oleh: Isna Yuli, Penulis Aktif di Woman Movement Institute

Berbagai kontroversi telah terjadi akibat pemberlakuan sistem zonasi untuk penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang diterapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada Juli 2017 lalu. Meski telah lama diterapkan namun dampak masifnya baru terasa tahun ini. Mulai dari orang tua yang rela menunggu di depan pagar sekolah sejak subuh untuk mendaftarkan anaknya, pindah catatan domisili kependudukan, stres dengan membakar piagam hingga aksi bunuh diri dilakukan akibat penerapan kebijakan zonasi ini.

Sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing. Jarak tempat tinggal terdekat dimaksud adalah dihitung berdasarkan jarak tempuh dari Kantor Desa/Kelurahan menuju ke sekolah. Jika jarak tempat tinggal sama, maka yang diprioritaskan adalah calon peserta didik dengan nilai tinggi, selanjutnya yang mendaftar lebih awal (Tirto.id).

Sistem zonasi memiliki niat baik untuk pemerataan pendidikan, dengan menghilangkan kesan sekolah favorit dan sekolah biasa. Banyak praktisi pendidikan yang mendukung kebijakan ini dengan alasan semua anak berhak mendapat sekolah bagus, dan semua sekolah diharuskan menerima calon murid dari berbagai kalangan.

Namun dalam penerapannya, banyak sekolah yang tak sama dalam mengambil kuota dari sistem zonasi, banyak informasi yang kurang disosialisasikan oleh sekolah atau orang tua yang kurang paham. Sehingga kebijakan masing-masing daerah tidaklah sama, misalnya satu daerah bisa menampung 50-90 persen kuota calon murid baru dengan zonasi dengan mengutamakan calon siswa terdekat dengan sekolah, sisanya diambil dari seleksi nilai dan dari perpindahan orangtua.

Permasalahan lain yang muncul banyak sekolah yang berada pada jarak yang jauh dari pemukiman kekurangan siswa, atau sekolah yang berada disekitar pemukiman padat kebanjiran pendaftar. Begitu juga dengan niat anak yang menginginkan sekolah di sekolah Negeri (favorit) akan terhalang oleh jarak tempuh.

Oleh sebab itu banyak calon murid dan orang tua yang merasa kecewa atas kebijakan ini. Sejatinya sejak diterapkan tahun 2017 lalu, sistem ini memang diakui pemerintah masih banyak celah dan kekurangan, namun tetap dipaksakan untuk diterapkan. Meski ada sisi positif dan negatifnya sistem zonasi ini, yang patut kita cermati adalah:

Pertama, pemerintah belum sepenuhnya menyiapkan infrastruktur guna mendukung sistem zonasi, terutama pemerataan jumlah sekolah dengan jumlah calon murid (pemukiman penduduk). PR besar bagi bangsa jika menginginkan pemerataan pendidikan.

Kedua, kesejahteraan guru, (baik honorer atau bukan) masih jauh dari cukup. Meskipun sebagian guru PNS mendapatkan gaji sertifikasi, namun semua itu mesti dibayar dengan kerja keras dan segudang tugas. Terkadang sampai monomer duakan tugas utamanya mendidik.

Ketiga, sistem pendidikan, termasuk kurikulum yang diterapkan. Pendidikan kita, cara mengajarnya, apa yang diajarkan banyak ketidak sesuaiannya dengan fitrah serta perkembangan anak. Hari ini kurikulum yang diterapkan di Indonesia mengharuskan anak menempuh pendidikan dengan jarak yang cukup panjang. 9 Tahun wajib sekolah ditambah SMU dan kuliah minimal lulus pada usia 22 tahun. Lulus pun masih belum matang dalam kehidupan dan pekerjaan.

Dibandingkan dengan pendidikan era kegemilangan Islam, pemuda Islam tumbuh dengan proses pendidikan yang singkat tapi sarat akan ilmu. Contoh;  umur 22 tahun Muhammad Al-Fatih telah memiliki kapabilitas sebagai sultan dan membebaskan Konstantinopel. Umur 23 tahun Umar bin Abdul Aziz jadi Gubernur, 17 tahun Abdul malik jadi menteri. Usamah bin Zaid 18 tahun jadi seorang Panglima perang. Abdullah bin Abbas 15 tahun jadi staf ahli negara.

Jadi, menanggapi carut marutnya sistem dan kebijakan pendidikan negeri ini, layaknya pemerintah segera mengevaluasi secara keseluruhan, baik terkait kurikulum, infrastruktur, kesejahteraan pendidik. Ketiga aspek tersebut mampu menjadi modal untuk penerapan sistem zonasi. (*)

Exit mobile version