Mengapa Proyek IPAL Dipaksakan Dibangun di Kawasan Situs Sejarah Gampong Pande?

Mengapa proyek IPAL dipaksakan dibangun di kawasan situs sejarah Gampong Pande?
Mengapa proyek IPAL dipaksakan dibangun di kawasan situs sejarah Gampong Pande? Foto Situs makam yang dulunya berada di lokasi ipal. Gambar diambil dua hari lalu/MU. 

NUSANTARANEWS.CO, Aceh – Mengapa proyek IPAL dipaksakan dibangun di kawasan situs sejarah Gampong Pande? Ketua Peusaba Aceh Mawardi Usman menuntut perlu diadakan penyelidikan terkait proyek IPAL yang tetap dipaksakan dibangun di kawasan makam ulama dan kawasan Istana Darul Makmur Gampong Pande. Apa tidak ada lokasi lain?

Peusaba mengingatkan bahwa Pemerintah Kota Banda Aceh telah melanggar Undang-Undang Cagar Budaya bila bersikeras tetap melanjutkan proyek IPAL di Kawasan Situs Sejarah Gampong Pande.

Sejak dulu, kata Mawardi, banyak sekali makam Raja Raja dan Ulama Aceh yang dihancurkan oleh Belanda. Seperti Batu Nisan Sultan Iskandar Muda yang bersepuh emas telah dirampas oleh Belanda dan hingga kini belum dikembalikan lagi ke Aceh.

Demikian pula Batu Nisan makam Sultan Iskandar Tsani yang bersepuh emas dan intan pudi juga dirampas Belanda dan belum dikembalikan.

Kemudian tahun 1976 Keranda Sultan Iskandar Tsani juga digali dan didalam keranda itu ditemukan emas sebanyak 5 kg emas dan sampai hari ini keberadaan emas itu belum jelas dan tidak pernah diketahui rimbanya.

Emas di Nisan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani sengaja dipasang di keranda untuk menunjukkan kejayaan dan kekuatan Aceh kepada Portugis. Terutama setelah gagal dalam serangan ke Malaka pada tahun 1629. Untuk itu sebelum wafat, Sultan telah membuat nisan bersepuh emas yang bermakna ke pihak Imperialis: “Jangan macam-macam dengan Aceh!” Aceh memiliki banyak emas dan senjata untuk melawan imperialisme Barat.

Sedangkan emas di Keranda Sultan Iskandar Tsani yang menurut sejarah wafat dalam usia 29 tahun – Sultanah Safiatuddin, sang istri yang sangat mencintai suaminya kemudian bertanya kepada ahli cara agar tubuh suaminya tidak dimakan ulat. Oleh ahli hikmah dikatakan bahwa emas dan perak tidak akan didekati binatang di dalam tanah.

Kembali ke permasalahan situs sejarah makam raja-raja Aceh, bahwa masyarakat Aceh sejak dahulu sangat menghormati Sultan dan para Ulama penyebar Islam di Asia Tenggara.

Peusaba mencurigai bahwa langkah penghancuran situs sejarah di Gampong Pande untuk dijadikan kawasan IPAL adalah operasi lanjutan “pemusnahan” yang mulai dilakukan sejak era Belanda tahun 1874. Betapa tidak, walaupun melanggar aturan, tetap saja terjadi upaya melenyapkan situs sejarah makam para perwira Turki Utsmani dan Ulama Turki Utsmani di Gampong Pande.

Zaman dahulu, ungkap Mawardi, pihak Belanda saja tidak berani terang-terangan menghancurkan makam perwira Turki yang tersebar di seluruh Aceh. Strategi Belanda kemudian adalah dengan menghilangkan nama-nama di makam atau ditimbun sehingga melenyapkan sejarah hubungan Aceh dengan Kerajaan Turki Utsmani.

Hari ini, kawasan pemakaman tentara dan ulama Turki Utsmani di Gampong Pande akan dilenyapkan. Bahkan dengan penghinaan yakni dijadikan tempat pembuangan sampah dan kotoran manusia.

Pemerintah Kota Banda Aceh tampaknya tidak terusik sama sekali dengan pembangunan proyek IPAL tersebut, tutur mawardi, padahal jelas hal itu sangat melecehkan para pejuang Islam yang berjuang untuk Aceh Darussalam.

Bila situs sejarah itu lenyap, maka lenyap pula kisah keberanian Sultan Johan Syah Seljuq (1205-1234), kisah kepahlawanan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530), kisah keperkasaan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Kahhar (1539-1572) yang menjalin hubungan dengan Sultan Suleiman Al Qanuni (1520-1566)

Bahkan menghapus sejarah kisah keadilan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang memiliki hubungan dengan Sultan Ahmed I (1603-1617). Juga menghilangkan kisah kedermawanan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) yang sezaman dengan Sultan Murad IV (1623-1640) Turki Utsmani.

Demikian pula kisah keberanian dan kebaikan hati Sultan Sayed Jamalul Alam Badrul Munir Jamalullail (1703-1726) yang sezaman dengan Sultan Ahmed III (1703-1730) akan turut musnah. (ed. Banyu)

Kontributor: Mawardi Usman, Ketua Peusaba

Exit mobile version