Meneguk Mabuk Puisi Rindu Penyair Sufi Ibnu Arabi

Konya Dervish Festival. (FOTO: goremejasminehouse.com)
Konya Dervish Festival. (FOTO: goremejasminehouse.com)

NUSANTARANEWS.CO – Ibnu Arabi (Muhyiddin Ibn Arabi) tokoh sufi atau mistikus kontroversial lahir di Mursia, Andalusia, Spanyol tahun 1165 dalam keluarga terkemuka. Ayahnya Ali bin Ahmad bin Abdullah. Ibnu Arabi wafat tahun 1240 M dan dimakamkan di area sebuah masjid yang dikenal dengan namanya, terletak di puncak pegunungan Qasiyun. Damaskus, Siria.

Ibnu Arabi adalah penulis paling produktif di zamannya. Tak kurang dari 200 buku telah ia tulis yang berisi gagasan besar, dinamis dan revolusioner. Karena itu, dia dicinta sekaligus ada yang membenci sepanjang zaman. Karya-karyanya abadi, terus dibaca, dihayati dan tersebar ke seluruh relung-relung hidup umat manusia. Para pecintanya menyebut Ibnu Arabi sufi terbesar sepanjang sejarah. Ia pun dijuluki “al Syeikh al Akbar” (guru terbesar) dan “al Kibrit al Ahmar” (sumber api).

Karya-karyanya dalam bentuk prosa, puisi maupun “tausyihat”, kebanyakan ditulis dalam bahasa Persia. Sebagian lain dalam bahasa Arab. Kebanyakan karya-karyanya masih dalam bentuk manuskript. Pada masa sesudahnya buku-buku tersebut diteliti dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, oleh para sarjana muslim maupun non muslim. Karya-karya Ibnu Arabi bersifat sangat akademis, filosofis dan begitu canggih, sehingga amat sulit untuk dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Lebih-lebih karya antologi puitiknya, seperti Tarjuman alias “tausyihat”nya.

Husein Muhammad dalam tulisannya menyebutkan, buku Tarjuman al Asywaq (Tafsir Kerinduan) berisi kumpulan (kompilasi) puisi dengan komposisi notasi yang beragam. Para santri dapat menyanyikannya dengan langgam lagu (bahar) yang berbeda-beda : Thawil, Kamil, Wafir dan lain-lain. Tarjuman al Asywaq ditulis ketika dia bermukim di Makkah, tahun 597 H/1214 M. Di kota suci kaum muslimin ini dia bertemu dengan sejumlah ulama besar, para sufi dan sastrawan terkemuka, laki-laki dan perempuan. Mereka adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan serius. Ibnu Arabi banyak meiba ilmu dari mereka. Tetapi perhatiannya tertumbuk pada beberapa orang perempuan “suci”.

“Dalam pendahuluan buku ini dia menyebut tiga orang perempuan. Pertama, Fakhr al Nisa, saudara perempuan Syeikh Abu Syuja’ bin Rustam bin Abi Raja al Ishbihani. Perempuan ini adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia mengaji kitab hadits; “Sunan Tirmizi”. Kedua, Qurrah al ‘Ain. Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi ketika Ibnu Arabi tengah asyik Tawaf, memutari Ka’bah,” terang Husein dalam huseinmuhammad.net, 17 Juni 2014.

Ibnu Arabi, Kata Husein, menceritakan sendiri pengalaman pertemuannya dengan perempuan itu: “Ketika aku sedang begitu asyik tawaf, pada suatu malam, hatiku gelisah. Aku segera keluar dengan langkah sedikit cepat (al raml), melihat-lihat ke luar. Tiba-tiba saja mengalir di otakku bait-bait puisi. Aku lalu menyenandungkannya sendiri dengan suara lirih-lirih. Simak kutipan-kutipan dari Muqaddimah Tarjuman Ibnu Arabi berikuti ini:

Aduhai, jiwa yang gelisah

Apakah mereka tahu

Hati manakah yang mereka miliki

 

O, relung hatiku

Andai saja engkau tahu

Lorong manakah yang mereka lalui

 

Adakah engkau tahu

Apakah mereka akan selamat

Atau binasa

 

Para pecinta bingung akan cintanya sendiri

Dan menangis tersedu-sedu

Tiba-tiba tangan yang lembut bagai sutera menyentuh pundakku. Aku menoleh. O, seorang gadis jelita dari Romawi. Aku belum pernah melihat perempuan secantik ini. Dia begitu anggun. Suaranya terdengar amat sedap. Tutur-katanya begitu lembut tetapi betapa padat, dan sarat makna. Lirikan matanya amat tajam dan menggetarkan kalbu. Sungguh betapa asyiknya aku bicara dengan dia. Namanya begitu terkenal, budinya begitu halus.

Begitu usai menyampaikan syair itu, perempuan itu mengatakan kepadaku: “Aduhai tuan, kau memesonaku/ Engkaulah kearifan zaman”.

Selanjutnya mengalirlah dialog antara kedua orang ini dalam suasana mesra, saling memuji, mengagumi dan dengan keramahan yang anggun. Sang perempuan memberikan komentar-komentar spiritualitas ketuhanan secara spontan atas puisi-puisi Ibnu Arabi di atas, bait demi bait. Sesudah pada akhirnya dia memperkenalkan dirinya sebagai Qurrah ‘Ain, dia pamit dan melambaikan tangan sambil mengucapkan “salam” perpisahan lalu pergi entah ke mana.

“Lalu aku mengenalnya sangat dekat dan aku selalu bersama dengan dia. Aku memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan. Pengetahuannya tentang yang ini sungguh sangat luar biasa,” ucap Ibnu Arabi dalam keterpanaan.

Perempuan ketiga yang ditemuinya adalah Sayyidah Nizam (Lady Nizam), anak perawan Syeikh Abu Syuja’. Dia dipanggil “’Ain al Syams” (mata matahari), dan “Syaikhah al Haramain” (guru besar untuk wilayah Makkah-Madinah). Ibn Arabi pun terpesona dengan perempuan ini. “Jika dia bicara semua yang ada jadi bisu, dia adalah matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan, wajahnya begitu jelita, tutur bahasanya sungguh lembut, otaknya memperlihatkan keerdasan yang sangat cemerlang, ungkapan-ungkapannya bagai untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun dan bersahaja,” Ibnu Arabi melantunkan puji-pujian kepada perempuan itu.

Dari kutipan-kutipan percakapan puitis Ibnu Arabi di atas, Husein mengungkapkan bahwa, banyak komentar orang yang menyatakan bahwa buku Tarjuman al Asywaq berisi refleksi-refleksi kontempelatif Ibnu Arabi atas keterpesonaannya yang luar biasa pada perempuan perawan maha elok itu. Keterpesonaan ini sekaligus pengalaman spiritualitasnya bersama Nizam diungkapkan dengan jelas dalam syairnya dalam buku ini :

Betapa rinduku begitu panjang

Pada gadis kecil, penggubah prosa,

Nizam (pelantun puisi), mimbar dan bayan

 

Dialah putri raja-raja Persia

Negeri megah dari Ashbihan

Dialah Putri Irak, putri guruku

Sementara aku ?

O, betapa jauhnya

Moyangku dari Yaman

 

Andai saja kalian tahu

Betapa kami berdua

Saling menghidangkan

Cawan-cawan cinta

Meski tanpa jari-jemari

 

Adakah, kalian, wahai tuan-tuan

Pernah melihat atau mendengar

Dua tubuh yang bersaing

Dapat menyatukan rindu

 

Andai saja kalian tahu

Cinta kami

Yang menuntun kami

Bicara manis,

bernyanyi riang

meski tanpa kata-kata

 

Kalian pasti tahu

Meski hilang akal

Yaman dan Irak nyatanya

Bisa berpelukan

Menurut Husein Muhammad, puisi-puisi Ibnu Arabi di atas seringkali dipahami pembaca awam dan tekstualis sebagai bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada seorang perempuan; sebuah kerinduan birahi, seksual dan erotis terhadap tubuh perempuan nan cantik-jelita, yang pernah ditemuinya selama di Makkah: Sayyidah Nizam. “Mereka dalam hal ini telah terjebak dalam pemahaman yang amat dangkal, gersang dan tanpa makna,” kata Husein.

 

Penulis: Roby Nirarta

Editor: M. Yahya Suprabana

Exit mobile version