Mendayung Idealisme di Tengah Arus Komersialisasi Seni dan Budaya

Mendayung Idealisme di Tengah Arus Komersialisasi Seni dan Budaya

Sore itu, Udin yang sehari harin dikenal sebagai seniman kondang, duduk santai di teras rumahnya. Lalu lintas depan rumahnya lumayan ramai. Namun perhatian Udin tidak kesana. Pikirannya melayang-layang antara masa lalu dan masa depan. “Kalo begini terus bertahan dengan  idealisme sebagai seniman. Rasanya sulit sekali untuk menghasilkan uang,” ungkap Udin, pusing tujuh keliling. “Mau tidak mau saya harus cari cara bagaimana menghasilkan karya seni bermutu tinggi tapi laku jual dan terjangkau oleh masyarakat luas.”
Oleh: Aslamuddin Lasawedy

 

Sebagai seniman, Udin memang punya prinsip kuat untuk menjaga idealismenya dan tidak terjebak dalam arus komersialisasi seni dan budaya yang dewasa ini kencangnya bukan main. Lantaran sikapnya itu, karya seni Udin sulit menjangkau audiens yang lebih luas. Bahkan sering kali Udin mengalami kendala finansial untuk keberlanjutan karya-karyanya. Sementara itu, bila Udin memilih mengikuti tuntutan pasar, maka karya-karyanya akan terasa dangkal karena sudah “dikomodifikasi.”

Tabrakan antara idealisme dan komersialisasi dalam seni dan budaya, sebagaimana dialami Udin, mencerminkan sesuatu yang saling bertentangan  dalam proses kreatif. Pemahaman dan dinamika dari kedua aspek tersebut sangat progresif. Idealisme seniman dan budayawan adalah sesuatu yang prinsip, yang menolak kompromi terhadap tuntutan pasar. Para seniman dan budayawan yang sangat idealis, berkarya berdasarkan visi dan nilai yang berfokus pada keaslian dan kejujuran berekspresi. Niat mereka sangat luhur, ingin melestarikan nilai-nilai budaya dan tradisi tanpa terdistorsi oleh tren komersial. Titik tekannya pada penyampaian pesan tentang makna dan nilai estetika yang tinggi, dan tidak terlalu peduli pada respons pasar atau keuntungan finansial.  Hal inilah yang mendorong lahirnya karya-karya mereka yang autentik dan inovatif.

Di sisi lain, komersialisasi seni dan budaya adalah upaya menyesuaikan seni dan budaya agar dapat diterima oleh pasar untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Fokusnya pada daya tarik pasar dan popularitas. Tak peduli, meski terkadang  harus mengorbankan idealisme dan nilai estetika. Positifnya, lewat komersialisasi seni dan budaya ini,  memungkinkan karya seni dan produk budaya menjangkau audiens yang lebih luas. Plus memberikan penghasilan finansial yang berkelanjutan.

Meski tampak bertentangan, antara idealisme dan komersialisasi tidak harus saling meniadakan. Banyak seniman dan budayawan yang mampu menemukan titik equilibrium (keseimbangan) antara keduanya. Ambil contoh di dunia fashion. Seorang desainer bisa saja menggabungkan elemen tradisional dengan desain modern untuk menciptakan produk yang laku di pasar. Pun seorang musisi yang menggubah lagunya dengan tema atau lirik yang sarat dengan idealisme, tetapi dikemas dalam aransemen populer yang menarik dan enak untuk didengar. Atau seorang sineas yang membuat film bertemakan sosial budaya, yang dituturkan dengan teknik sinematik yang layak jual.

Tantangannya kemudian adalah bagaimana menjaga orisinalitas seni dan budaya di tengah tekanan arus komersialisasi yang begitu kuatnya. Sekaligus bagaimana menghindari ekploitasi seni dan budaya demi meraup keuntungan ekonomi semaksimal mungkin.

Solusinys bisa beragam. Pertama dan terutama adalah dukungan  pemerintah minimal. memberikan subsidi atau anggaran yang memadai untuk mendukung kerja-kerja berkesenian dan berkebudayaan. Pun memberikan  penghargaan terhadap karya-karya yang sarat dengan idealisme. Kedua  masyarakat  harus di edukasi  untuk menghargai karya-karya seni dan budaya yang bernilai tinggi secara estetika. Ketiga, ekosistem kreatif para seniman dan budayawan harus didorong dan dibuka lebar-lebar agar mereka lebih kreatif dan inovatif  membuat karya-karya seni dan budaya yang tetap  mengakar pada nilai budaya sekaligus relevan dengan kebutuhan pasar.

Terakhir, keseimbangan antara idealisme dan komersialisasi bisa ditempuh lewat “komodifikasi seni dan budaya.” Mengubah seni dan budaya agar bernilai ekonomi tidak harus demi mengejar keuntungan semata. Tapi semata-mata ditujukan demi keberlanjutan kerja-kerja berkesenian dan berkebudayaan. Dengan terciptanya ekosistem kreatif yang mendorong keseimbangan antara idealisme dan komersialisasi ini. Karya seni dan budaya bernilai tinggi akan terus eksis dan berkelanjutan secara ekonomi.(*)

Penulis: Aslamuddin Lasawedy, Pemerhati Masalah Budaya dan Seni
Exit mobile version