Mencermati Pertarungan Keynesian Vs Neolib di Indonesia

Indikasi Ekonomi Kritis (Ilustrasi)

Indikasi Ekonomi Kritis (Ilustrasi)

paket kebijakan ekonomi, kebijakan ekonomi, ekonomi global, ekonomi indonesia, ketidakpastian global, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi global, nusantaranews, nusantara, nusantara news, nusantaranewsco, perang dagang, kepercayaan investor asing, investasi langsung, defisit transaksi berjalan
Ilustrasi Keynesian vs Neolib . (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mengutip hasil penelitian Wijaya Herlambang (2013) menjelaskan bahwa sudah sejak lama AS berupaya memengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan AS adalah mengirim sarjana-sarjana ekonomi Indonesia untuk belajar di kampus pusat-pusat pemikir neoliberal.

Keberhasilan upaya tersebut sering merujuk pada kemunculan kelompok semacam Mafia Berkeley atau keberhasilan Sumitro Djojohadikusumo dalam merombak kurikulum Fakultas Ekonomi UI.

Namun sesungguhnya upaya untuk menjadikan Orde Baru sepenuhnya neoliberal tidak pernah berhasil. Alexander Irwan (2005) dalam artikelnya Institutions, Discourses, and Conflicts In Economic Thought dalam Social Science and Power in Indonesia, menyatakan upaya para pendukung mahzab ekonomi neoliberal agar gagasan mereka diadopsi di Indonesia sepenuhnya, selalu menemukan kegagalan pada masa Orde Baru.

Hal ini dikarenakan Orde Baru lebih menyukai mahzab Keynesian yang memberi peran besar pada negara daripada mahzab neoliberal yang menyerahkan ekonomi sepenuhnya pada pasar. Pilihan kebijakan ekonomi ini didasari oleh beberapa alasan. Salah satunya adalah kuatnya penolakan masyarakat pada kapitalisme.

Kegagalan kelompok neoliberal membangun wacananya sangat dipengaruhi oleh keengganan pemerintahan Orde Baru mengadopsi mahzab tersebut. Mahzab neoliberal baru menemukan ruangnya dalam kebijakan pada tahun 1980-an ketika kegagalan ekonomi Keynesian dan tekanan internasional memaksa Orde Baru mengubah kebijakan ekonominya.

Namun, bahkan setelah itupun Orde Baru masih enggan untuk mengadopsi mahzab tersebut secara keseluruhan. Keengganan tersebut bahkan membuat banyak sarjana ekonomi pendukung neoliberal di Indonesia patah arang. Sebelum akhirnya era reformasi bangkit dan membawa angin segar bagi tumbuh kembang mahzab neolib di Indonesia.

Jebakan IMF 1998
Resep ekonomi yang disodorkan IMF (International Monetary Fund) menjadi blunder mematikan bagi pemerintah Indonesia pada tahun 1998. Mantan Wakil Presiden Boediono mengakui bahwa resep IMF untuk mengatasi krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 dianggap salah.

Sebagai sesuatu yang baru, krisis 1997-1998 menurut Boediono terjadi karena ada aliran modal balik secara besar-besaran di Asia, termasuk di Indonesia. “Akibatnya, kondisi likuiditas dalam negeri terguncang,” kata Boediono pada kesempatan mengisi acara di Jakarta, Rabu (28/11/2018) .

Karena dinilai masalah baru, lanjut ia, Indonesia kemudian meminta IMF membantu memberikan masukan. Lembaga internasional itu tidak hanya memberikan masukan, tetapi juga dukungan pendanaan.

Kontan, IMF pun menyodorkan resep kepada pemerintah untuk menutup 16 bank yang sakit. Kemudian melaksanakan reformasi struktural dengan mengendalikan likuiditas pada November 1997.

Padahal total aset dari 16 bank yang ditutup itu sangatlah kecil. Yakni hanya berkisar 3% sampai 4 % dari total aset perbankan nasional. Hasilnya, resep itu justru menghantam psikologis pasar. Membuat kepanikan masyarakat. Praksis, secara cepat pasca penutupan bank, nasabah kompak mengalihkan simpanannya ke bank lain.

Setelah tiga bulan berlalu, barulah pemerintah menyadari resep ekonomi IMF justru menjadi blunder nasional. Memicu bank kelabakan mencari dana, L/C Indonesia tidak diterima di luar negeri, dan masyarakat lebih memilih dolar AS dibandingkan rupiah yang kursnya anjlok.

Pertanyaannya kemudian, benarkah resep moneter yang diberikan IMF kepada pemerintah adalah jabakan?

Ekonom senior Rizal Ramli mengajukan sebuah pertanyaan dalam mencermati krisis moneter tahun 1998. Ia bertanya, apa yang men-trigger ekonomi Indonesia di tahun 1997/1998 sehingga kacau balau?

Rizal Ramli menjelaskan, “Memang bukan Indonesia. Tetapi Thailand. Karena Soros (George Soros) menganggap indikator makro Thailand lebih jelek dari pada Indonesia,” katanya di kawasan Jakarta Selatan, 31 Oktober 2018 lalu.

Dia kemudian memberikan ilustrasi tentang ekonomi Indonesia akhir tahun 1997 dengan mengumpakannya seperti permainan bola biliar. “Nah, persis kaya orang main bola biliar. Dia hantam bola biliar, yang lain menghantam bola biliar Indonesia. Ternyata Indonesia ngedrob-nya paling down,” jelasnya.

“Jadi 1998, pemicunya bukan Indonesia. Pemicunya Thailand,” ujar dia.

Pewarta: Romandhon
Edit6or: Alya Karen

Exit mobile version