Memutus Generasi Homo Homini Sex dari Keluarga

Ancaman Seks Bebas (Ilustrasi/Istimewa)
Ancaman Seks Bebas (Ilustrasi/Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO – Generasi homo homini sex harus diputus dari keluarga. Sebab, masa depan anak akan suram ketika diidap kelainan seperti ini. Pendidikan anak tidak akan sukses tanpa peran keluarga yang turut berperan mengawal pendidikan dan masa depan anak.

Kekerasan seks di Indonesia tidak sekadar urusan pelampiasan nafsu berlebihan. Melainkan lebih pada cara melampiaskannya yang keliru. Sebab, manusia tidak bisa dimatikan nafsunya karena nafsu menjadi instrumen yang sudah diberikan Tuhan selain akal dan hati.

Banyaknya generasi homo homini sex yang mewujud pada tindakan pemerkosaan, pedofil, pelecehan seksual menjadi bukti bahwa masyarakat diidap kuasa nafsu. Bagi pemuda yang belum nikah, masalah terberat secara psikis memang menahan godaan seks.

Di sini, perlu ditekankan pentingnya sebuah kenekatan dalam menikah. Sebab, kebanyakan generasi homi homini sex adalah kaum muda yang ngebet menikah namun tidak bisa mewujudkannya. Akibatnya, mereka latah menghadapi zaman yang semakin destruktif ini.

Homo Homini Sex

Manusia, dalam teorinya Thomas Hobbes (1588-1679) memiliki dua potensi Pertama, menjadi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain). Kedua, homo homini socius (manusia sebagai kawan bagi sesamanya). Teori ini sama seperti teori potensi manusia yaitu taat dan menentang, murusak dan membangun, diam dan bergerak dan lainnya.

Namun di era sekarang, karena seks tidak lagi menjadi alat untuk mencapai kenikmatan, maka seks sekadar dimaknai sebagai tujuan. Jadi, banyak sekali pemuda-pemudi menikah hanya untuk melampiaskan nafsu belaka.

Mereka menjadi generasi homo homini sex. Mereka menjadi pencari seks dan budak seks bagi manusia yang lain. Namun, itu merupakan derajat nikah yang paling rendah jika orientasinya hanya semata seks. Dalam rumus internal Islam, salah satu kenikmatan surga yang menjadi pancingan bagi umat adalah lewat nikah. Namun, sebenarnya hal itu tidak boleh disebarkan ke publik.

Sekali lagi, menikah bukan sekadar pemenuhan biologis, melainkan pada memenuhi sunnah nabi, membangun keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Juga melanjutkan keturunan, membangun pondasi persaudaraan antara dua keluarga.

Seks sendiri bukanlah tujuan dalam hidup, namun ia alat untuk menemukan kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Akan tetapi, tidak sedikit manusia milenial seperti ini orientasinya hanya seks. Artinya, seks menjadi kebutuhan dasar, namun caranya salah karena di luar nikah dan dilakukan dengan retorika yang ngawur.

Memutus dari keluarga

Generasi ini harus diputus mata rantainya dari keluarga. Perlu edukasi pernikahan, dan seks sehat bagi anak-anak. Mereka harus dikenalkan, bahwa menikah sebagai bagian dari sunnah nabi, asal hukumnya adalah halal dan boleh. Namun dalam fikih munakahat, terbagi menjadi wajib, sunnah, makruh dan haram. Hukum itu, beredar sesuai illat atau alasan, sebab, perkara yang menyebabkan terjadinya nikah.

Di sini, penulis coba menyoroti tidak dalam masalah hukum fikihnya, namun efek psikis dari menahan nafsu itu. Sebab, banyak orang yang rela melampiaskan nafsu lantaran tidak berani dan dilarang menikah karena alasan umur dan ekonomi. Alasan klasik bibit, bebet dan bobot juga menjadi batu besar yang menghadangi pemuda untuk nikah. Tidak heran, mereka melampiaskan nafsu itu menjadi generasi homo homini sex.

Anak-anak juga harus dikenalkan dengan Undang-undang perkawinan yang membatasi pemuda untuk nikah. Alasan angka perceraian, KDRT dan kematian bayi juga menjadi alasan untuk menunda nikah. Solusi itu sebenarnya bisa dilakukan dengan mengikuti pendidikan pra nikah. Namun pada intinya, nekat menjadi modal untuk menikah.

Nekat di sini bukan bondo nekat, melainkan serius, semangat dan melakukan segala hal yang positif untuk menghalalkan. Jika memang ngebet nikah, maka itu wajib dan segera menikah. Nekat merupakan instrumen penting untuk meraih masa depan. Sepandai apapun, se-revolusioner apapun, setinggi apapun cita-cita seorang, tidak bisa tercapai tanpa nekat. Lalu, bagaimana dengan nikah? Jawabannya sama!

Orang-orang yang tidak berani nikah karena urusan dompet, dan menunggu sampai menjadi bujang lapuk dan perawan berkarat, hakikatnya dia telah dikekang oleh orang-orang bodoh. Mengapa demikian? Berapa juta orang melakukan zina gratis lantaran dilarang menikah muda? Berapa juta pula ustadz, kiai bahkan orang bisa melakukan perselingkuhan lantaran dilarang poligami? Toh, dalam Islam boleh-boleh saja sampai empat orang, asalkan bisa berbuat adil.

Juga, berapa juta laki-laki melakukan onani dan perempuan melakukan masturbasi lantaran dilarang menikah oleh orangtua? Dengan alasan belum punya pekerjaan tetap, banyak orangtua melarang anaknya menikah muda. Padahal, yang penting itu mendapat pekerjaan tetap apa tetap bekerja?

Tidak ada perubahan besar tanpa modal nekat. Indonesia sendiri tidak bisa merdeka jika dulu para pejuang dan pahlawan nekat melawan penjajah. Seorang mahasiswa tingkat akhir juga tidak bakalan lulus jika tidak nekat menyelesaikan skripsi.

Menikah itu wahana untuk bekerjasama dengan pasangan untuk mencari kebutuhan sandang, pangan dan papan bersama. Meski kewajiban mencari nafkah adalah suami, namun kerjasama dan mengatur manajemen itu penting.

Menjadi generasi suci, mampu menahan nafsu sampai nikah memang berat. Apalagi, godaan film porno, fenomana orang tanpa baju, berbagai macam zat perangsan yang menjamur, menjadikan pemuda tidak kuat. Akhirnya, mereka terpaksa menjadi generasi homi homini sex. Namun, itu semua kembali pada diri sendiri, karena hanya diri sendiri yang bisa menge-rem nafsu.

Bahkan, Nabi Muhammad Saw dalam salah satu hadistnya menjelaskan orang cerdas bukanlah orang yang berilmu tinggi, hafal Alquran dan ribuan hadits. Namun orang cerdas menurut definisi Nabi adalah orang yang bisa menundukkan nafsunya. Anak-anak harus diajak memahami ini dalam rangka menjadi generasi yang siap nikah ketika sudah mapan ekonomi, pendidikan, dan psikisnya.

Dalam sejarahnya, setelah Perang Badar yang begitu besar, Nabi juga pernah bersabda bahwa jihad yang akbar, besar dan sesungguhnya bukan melawan orang kafir, melainkan melawan nafsu. Ini menggambarkan bahwa beratnya melawan kuasa nafsu. Modalnya, menurut Nabi harus dilawan dengan kekuatan iman, takwa dan juga puasa. Orang yang berpuasa akan bisa menundukkan nafsunya. Jika tidak kuat, maka segerakanlah menikah.

Anak-anak harus didekatkan dengan dunia pendidikan dan pekerjaan. Tujuannya, mapan edukasi, dan mapan ekonomi. Dengan demikian, mereka akan menjadi generasi cerdas dan siap menyongsong masa depan.

Penulis: Hamidulloh Ibda, Dosen dan Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) STAINU Temanggung, penulis buku Stop Pacaran, Ayo Nikah!

Exit mobile version