Membangun Orde Pancasila

Membangun Orde Pancasila
Membangun Orde Pancasila/Foto: Lukisan Yakub Kelana (Nampak muda-mudi Indonesia menuju lambang Garuda Pancasila). Ilustrasi: NusantaraNews.co

NUSANTARANEWS.CO – Perasaan takut adalah suatu hal yang wajar dalam diri seorang manusia. Sebab rasa takut adalah sebuah mekanisme pertahanan diri terhadap terhadap sesuatu yang dianggap sebagai ancaman. Namun bila rasa takut tersebut berlebihan dapat memadamkan kesadaran seseorang. Bahkan melumpuhkan pikiran dan mental seseorang. Semakin kental rasa takut, semakin tebal pulalah pikiran dan perasaan negatif seseorang terhadap sesuatu.

Dalam kehidupan sosial masyarakat perasaan takut itu muncul sebagai bentuk trauma terhadap suatu peristiwa. Misalnya trauma terhadap pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun yang banyak membunuh ribuan bahkan mungkin puluhan ribu rakyat tidak bersalah demi mendirikan sebuah negara dengan ideologi yang berbeda. Trauma itu rupanya masih bersemayam dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Apalagi setelah peristiwa G30S/PKI 1965 – yang membunuhi para Jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya. Berulangnya peristiwa pembantaian rakyat tersebut semakin menguatkan perasaan traumatis terhadap PKI.

Peristiwa pembunuhan dan pembantaian umat Islam oleh PKI itu adalah fakta sejarah. Umat Islam adalah korban dari keganasan PKI sejak tahun 1948 – baik secara langsung maupun tidak langsung dalam konflik horizontal 1965 setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan para Jenderal di Lubang Buaya. Peristiwa kelam akibat ulah PKI itu kemudian menjadi trauma bangsa yang terwujud dalam TAP MPRS XXV/1966 yang memutuskan PKI dan segala atributnya sebagai organisasi terlarang. Nah, kalau ada anggota PKI atau antek-anteknya berusaha menggali luka tersebut – maka jangan salahkan rakyat Indonesia bila sekali lagi harus turun tangan dan membersihkan mereka dari bumi nusantara. Disinilah perlu kearifan dan kesadaran spiritual yang tinggi dari “kalangan PKI” untuk meminta maaf kepada bangsa Indonesia dan kembali menjadi warga negara yang baik. Jangan lalu diputar balik bahwa seakan-akan merekalah yang menjadi korban.

Terlepas dari kepentingan politik penguasa bahwa bahaya laten PKI menjadi isu politik untuk mempertahankan kekuasaan, sah saja. Bila penguasa Orde Baru pada waktu itu melakukan tindakan represif terhadap gerakan bawah tanah PKI itu adalah karena Presiden sebagai mandataris MPR yang harus menjalankan roda pemerintahan. Apakah salah bila pemerintah pada waktu itu demi menjaga stabilitas pemerintahan misalnya melakukan pelarangan terhadap penerbitan buku-buku yang cenderung menghasut dan memecah belah bangsa, atau pelarangan diskusi-diskusi yang merongrong dan memfitnah penguasa.

Sekarang renungkanlah apa yang harus kita lakukan. Kita harus bangkit dari kesalahan berfikir, bangkit dari perasan dendam dan menang-menangan. Kita sebagai bangsa perlu energi besar dan kekuatan penuh untuk sekali lagi menghadapi kaum newimperialis yang telah menghancurkan kearifan lokal bangsa. Pancasila adalah harga mati sebagai dasar negara Republik Indonesia. Siapa menentang Pancasila adalah pengkhianat bangsa yang menentang semangat revolusioner api Pancasila. Bahwa sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945 Pancasila wajib dijalankan oleh penyelenggara negara – bahasa ekstrimnya Pancasila adalah “agama sipil” bagi penyelenggara negara. Berdasarkan perintah konstitusi tersebut, jangan lalu rakyat yang dituntut untuk menjalankan Pancasila. Rakyat tidak mungkin menjalankan Pancasila sesuai dengan konstitusi – karena rakyat bukan penyelenggara negara. Bila Pancasila menjadi sistem pemerintahan (Orde Pancasila) maka rakyat dapat mengontrol pelaksana negara apakah perilakunya sudah sesuai dengan nilai-nilai dan moral Pancasila. (Banyu)

Exit mobile version