Meja Makan Kematian, Puisi Muhammad de Putra

Latar ilustrasi: Foto Meja yang terbuat dari kayu eboni dan sedikit bahan sejenis tembaga didesain Jacques Émile Ruhlmann sekitar tahun 1931 pada era art deco/Ilustrasi SelArt/Nusantaranews

Latar ilustrasi: Foto Meja yang terbuat dari kayu eboni dan sedikit bahan sejenis tembaga didesain Jacques Émile Ruhlmann sekitar tahun 1931 pada era art deco/Ilustrasi SelArt/Nusantaranews

NUSANTARNEWS.CO – Meja Makan Kematian, Puisi Muhammad de Putra. Barangkali benar ucapan penyair muda itu bahwa, setiap puisi memiliki penyairnya masing-masing. Kali ini nusnataranews menerbitkan empat buah puisi karya Muhammad de Putra. Pertama berjudul “Meja Makan Kematian” yang sekilas, mungkin pembaca akan teringat pada sebuah sejarah Yesus menjelang kematiannya, yaitu peristiwa makan malam terakhir. Apakah ingatan tentang Meja Makan Terakhir Yesus bersama beberapa para murid-muridnya itu terkandung di dalam puisi Meja Makam Kematian? Simaklah puisi Muhammad de Putra ini beserta beberapa puisi lainnya:

Meja Makan Kematian

makan malam hari ini akan di temani angin lalu
dari tetangga sebelah rumah.
ia duduk dengan bersila kaki di hadapan meja makan.
kelihatan lapar terpancar
dari wajahnya yang mulai samar terkena gembulan asap makan hangat.

ia meminta aku memberinya sedikit anggur dari tangan Tuhan.
aku menyalahkan jangan, takutnya Tuhan akan menyayanginya,
dan makam malam ini takkan rangkum selesai.

dengan sedikit doa-doa sebelum makan,
tamu-tamu mulai datang.
dengan sebilah pedang pembunuhan kita memotong-
motong kecil daging bakar.
dan gelas dengan rasa tawar di lidah, telah kita minum.

makan malam ini terasa begitu hantu,
Tuhan dengan sekedar kekenyangan
berterima kasih dan berpamitan pulang,
bersama beberapa tamu.

sepi dan sunyi,
makanan di meja makan telah habis.
dan kami tak jadi mati.

2016

Memuasakan Laut
Kepada: Bono

puasa sebenarnya
adalah menahan segala haus
yang diperlukan rahim asin
di perut bunda laut yang kosong.
lapar menyusui sisikku,
yang sedang mempermainkan
perut kosong yang perih
terus tersentuh sirip pendek.

aku tak lapar.
lidah sudah tak lagi berbisik
tentang kehausannya.
tapi ekorku terus mencuri-
curi buih centang-
centang yang tak di perbolehkan
oleh hukum puasa bagi puisi.

laut sedang puasa
dalam
keluasan puisi yang Maha Esa.
sunyilah laut,
senyaplah karang,
matikanlah kami.

ikan-ikan merasa mati.
air membunuh kami:
punah.

2016

Menenggelamkan Laut
 Kepada si Tuan

lelaki itu akan menenggelamkan laut
kala subuh yang tak henti-henti
menjadikan semayup gelap awam
menjadi pasang.

lengannya terus berpeluk pada cakrawala
yang semakin hari semakin meluas di kuku.

di mana malaikat camar yang akan
melukai matamu?
menyayapkan doa nelayan pada ikan-
ikan yang merasa bebas.

lelaki itu makin bernafsu ingin
menenggelamkan laut
di kaki bumi yang mengelilingi air matanya sendiri.

heeei, lelaki.
laut akan menenggelamkan tubuhmu
yang kian
bersirip ikan.

2016

Membuka Puisi di Azan Magrib yang di lupakan

azan
mengumandangkan langit
yang tampak pucat
di bibir semesta.

silahkan masuk, puisi
ajaklah semua rasa lapar
pada metaforamu yang longgar
bawalah kehausanmu yang semakin semu
di diksi yang basi.
bukan, bukan nasi kita ini yang basi,
tapi engkau.

apakah kaulapar puisi?
maka datanglah ke rumah makan dalam tubuhku.

jangan lupa sholat dulu
di kaki agama yang semakin hari,
semakin mengajakmu lapar.

2016

*Muhammad de Putra, penyair muda tinggal di Kampar. Puisi-puisinya tersebar di pelbagai Media Massa di Indonesia dan beberapa bunga rampai seperti Merantau Malam (Sabana Pustaka, 2016), Tera Kota (Liliput, 2015), dan Tunak Community Pena Terbang (COMPETER). Sejak SMP telah menjadi juara 1 lomba Cipta Puisi di Bulan Bahasa UIR tingkat SMP se-Indonesia, Juara 1 Cipta Puisi di Praktikum Sastra UR tingkat SMP se-Riau, dan Juara 1 Lomba Cipta Puisi tingkat Nasional seluruhnya Penyair Muda yang ditaja oleh Sabana Pustaka. Buku puisi tunggalnya yang telah terbit “Kepompong dalam Botol” dan “Timang Gadis Perindu Ayah Penanya Bulan”. Kini sedang meramu buku puisi tunggalnya yang ke-3 “Hikayat Anak-anak Pendosa”.

Exit mobile version