Mangkir dari KPK, ICW Sebut Setnov Tak Negarawan

Koordinator ICW (Indonesian Corruption Watch), Adnan Topan Husodo sebut Setya Novanto tidak mencerminkan sikap negarawan karena magkir dari panggilan KPK. Foto: NusantaraNews/Restu Fadilah

Koordinator ICW (Indonesian Corruption Watch), Adnan Topan Husodo sebut Setya Novanto tidak mencerminkan sikap negarawan karena magkir dari panggilan KPK. Foto: NusantaraNews/Restu Fadilah

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Koordinator ICW (Indonesian Corruption Watch), Adnan Topan Husodo ikut berkomentar soal ketidakhadiran Ketua DPR RI Setya Novanto dalam pemeriksaannya sebagai tersangka oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (15/11/2017).

“Sikap Setya Novanto bagi kita sifat yang tidak mencerminkan sikap negarawan karena semestinya ketaatan pada hukum itu harus ditunjukan oleh siapa pun terutama oleh pejabat publik,” ujar Adnan usai menjadi pembicara dalam diskusi Temuan Survei Nasional di Hotel Sari Pan Pacific.

Kata Adnan, ketika masyarakat kemudian melihat bahwa ada teladan dari pejabat publik untuk taat pada hukum. Kemungkinan besar mereka pun akan taat kepada hukum juga.

“Masalahnya ketika pejabat publik tidak taat kepada hukum, konsekuensinya buat apa mereka juga taat kepada hukum kalau pejabat publiknya sendiri tidak melakukannya,” katanya.

Karenanya, Adnan mendesak agar KPK segera meresponnya dengan cepat. Misalnya melakukan pemanggilan paksa dan kemudian langsung melakukan penahanan.

“Itu satu hal yang bisa dilakukan oleh penegak hukum untuk meminimalisir hal-hal yang akan merugikan upaya-upaya penegakan hukum. Misalnya tersangka menghilangkan barang bukti atau pada kasus tertentu dimana pelakunya adalah pejabat publik yang memiliki aset yang sangat besar, kemudian mereka mengalihkan aset-asetnya yang mana kemudian perbuatan-perbuatan itu merugikan upaya-upaya penegakan hukum,” katanya.

Adnan menambahkan pemberantasan korupsi itu adalah pada dasarnya sebuah proses hukum bukan hanya memidana pelakunya tapi merecoveri aset dari kejahatan korupsi yang telah terjadi. Bayangkan kalau misalnya Rp 2,3 triliun dari e-KTP itu hanya kembali 1 atau 0,5%.

“Saya kira itu sesuatu yang merugikan bukan hanya merugikan negara tapi masyarakat. Karena kita tahu masyarakat juga hari ini merasakan dampak langsungnya dalam bentuk mereka tidak mudah mendapatkan blanko e-KTP. Disisi lain data-data NIK yang harusnya divalidasi prosesnya semuanya belum tervalidasi padahal itu masuk skema proyek e-KTP. Sehingga secara langsung menyulitkan negara untuk membersihkan database penduduknya terutama kalau bicara gimana lawan terorisme kemudian kejahatan-kejahatan lain yang itu dilakukan dengam cara memanipulasi data kependudukan itu bisa lebih potensial terjadi,” jelasnya.

Untuk diketahui, Setnov tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) memutus uji materinya mengenai kewenangan KPK.

Reporter: Restu Fadilah
Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version