NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Disadari atau tidak fase baru yang bernama Globalisasi Gelombang III cepat atau lambat akan segera datang. Lahirnya Globalisasi Gelombang III ditandai ketika Globalisasi Gelombang Ke II berakhir. Dimana menjadikan situasi dunia berada dalam Situasi Batas.
Kebuntuan terjadi di mana-mana, termasuk kebuntuan ilmu-ilmu sosial dalam membedah permasalahan untuk mencari dan menemukan solusi. Krisis global dalam dasawarsa terakhir ini, tidak lain adalah merupakan demam akibat Situasi Batas tersebut. Dalam konteks ini, tidak hanya ranah ekonomi dan tatanan sosial saja yang terpapar, melainkan juga ranah politik.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai bahwa nasib partai politik (parpol) akan punah jika tidak siap menghadapi Globalisasi Gelombang III. Terlebih saat ini gejala dan ancaman terhadap deparpolisasi di Indonesia kian kuat.
Misalnya publik mulai banyak yang tidak percaya partai? Mulai munculnya tokoh-tokoh pemimpin alternatif baik level lokal maupun nasional yang bukan dari parpol tapi independen dan juga penguasaan para pemodal yang dengan kekuatan modalnya mampu ‘mengakuisisi’ kekuatan massa.
Baca:
Indonesia Tak Boleh Menjadi Negara Gagal Dalam Globalisasi Gelombang III
Tata Dunia Baru, Indonesia Berpotensi Jadi Pemain Utama di Pasifik
Posisi Indonesia Dalam Jalur Sutra Maritim Abad 21
Pancasila dan Globalisasi Gelombang Ketiga
Anti Korupsi, Arah Baru bagi Pembangunan Masa Depan
“Belakangan, distrust terhadap partai politik berada di titik nadir. Praktik korupsi, kolusi dan kegagalan kaderisasi menjadi pemicu utamanya. Di luar itu, parpol kerap elitis, bersikap pragmatis dan hadir hanya jelang pemilihan saja. Akibatnya publik jengah terhadap kehadiran partai politik karena eksistensinya tak pernah nyata menghadapi persoalan-persoalan substansial masyarakat seperti kemiskinan dan pengangguran,” kata Adi Prayitno kepada Nusantaranews, Jum’at (17/2/2017) di Jakarta.
Sebab itulah, dalam banyak pergelaran politik elektoral seperti pilkada, ia menilai rakyat mulai memalingkan pilihan politiknya terhadap sosok yang netral namun memiliki magnet elektoral. Di tengah situasi seperti ini lanjut Adi Paryito, dimana parpol-parpol absen menunjukkan eksistensinya, bukan semata calon alternatif yang akan muncul, melainkan juga hadirnya sosok pemodal yang memanfaakan keadaan demi kepentingan kerajaan bisnisnya.
“Fenomena ini tentu saja menjadi alarm lonceng kematian partai politik yang secara perlahan ditinggalkan pemilihnya. Jika tak segera berbenah, bukan hal yang mustahil, pada fase tertentu parpol akan hancur dengan sendirinya. Ia hanya akan menjadi sebuah instrumen politik demokratis yang tak berarti. Ada tapi seperti tiada,” tegas Adi.
Meski begitu, sejatinya fenomena ini menjadi momentum bagi parpol untuk berbenah. “Sebagai instrumen demokrasi, parpol harus diperkuat kehadirannya sebagai agregasi kepentingan masyarakat. Apapun alasanya, suka tak suka, parpol harus kembali dilembagakan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi dalam menghadapi Globalisasi Gelombang ke-III,” tandasnya.
Penulis: Romandhon