KPK Tunggu Bertemu Mendagri Panggil Nur Alam?

NUSANTARANEWS.CO – Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan IUP (Izin Usaha Peetambangan) di wilayah Provinsi Sultra tahun 2008-2014 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun demikian, saat ini Nur Alam masih aktif menjalankan tugasnya sebagai Gubernur, sebab Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo belum me-non-aktifkan Nur Alam.

Berdasarkan pengamatan tim redaksi hingga saat ini, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu belum juga diperiksa oleh KPK terkait kasusnya. Saat dikonfirmasi kepada penyidik KPK diperoleh informasi bahwa menunggu keputusan Mendagri, “Nanti kita beri tahu Menteri Dalam Negeri (Tjahjo Kumolo) terlebih dahulu bahwa kita akan panggil (periksa Nur Alam),” ujar Ketua KPK, Agus Rahardjo, di Jakarta, Kamis (1/9/2016).

Meski beitu, penyidik KPK hari ini, Kamis, (1/9/2016) tetap menjadwalkan pemeriksaan terhadap beberapa pihak dari PT Billy Indonesia dan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). Pihak-pihak tersebut adalah Direktur PT Billy Indonesia Distomy Lasmon, Direktur PT Billy Indonesia Emi Sukiati Lasmon, karyawan PT Billy Indonesia, Edy Janto, staf keuangan PT Billy Indonesia, Endang Chaerul, Karyawan PT Billy Indonesia Suharto Martosuroyo, Direktur utama PT Anugrah Harisma Barakah Ahmad Nursiwan, dan Karyawan PT Anugrah Harisma Barakah Widi Aswindi.

Masih terkait kasus tersebut, KPK juga telah berhasil mengamankan sejumlah dokumen terkait izin usaha pertambangan (IUP) dari penggeledahan yang dilakukan di sejumlah tempat yang berada di Kendari, Sulawesi Tenggara dan Jakarta. Penggeledahan di Kendari dilakukan di kantor Gubernur, Dinas ESDM, hingga ke rumah gubernur tersebut. Sedangkan di Jakarta, penyidik juga menggeledah rumah di Kuningan, Jakarta Selatan dan sebuah perusahaan di kawasan Pluit, Jakarta Utara.

Selain pemeriksaan saksi dan penggeledahan. Penyidik KPK juga secara resmi telah mencekal empat orang terkait dalam perkara itu. Keempat orang itu adalah Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Kepala Dinas ESDM Sultra Burhanuddin, Widdi Aswindi Direktur PT Billy Indonesia, dan Emi Sukiati Lasimon pemilik dari PT Billy Indonesia. Ke-empatnya dicegah jika sewaktu-waktu KPK membutuhkan keterangan yang bersangkutan, yang bersangkutan tidak sedang berada di luar negeri.

Dari PT Billiy KPK mencoba untuk mendalami perusahaan-perusahaan yang diduga tahu atau terlibat langsung dalm proses pertambangannya, baik itu perusahaan yang diberikan izin maupun perusahaan yang lakukan penambangan. Jadi bukan pemeriksaan KPK kali ini terhadap pihak dari PT Billy terkait itu.

PT Billy merupakan salah satu perusahaan yang pernah digeledah KPK beberapa waktu lalu. PT billy juga memiliki tambang di Bombana dan Konawe Selatan. Menariknya lagi PT Billy juga merupakan salah satu rekan bisnis Richorp International. Jadi perusahaan Richorp yang berbasis di Hongkong itu membeli nikel dari PT Billy.

Perusahaan Richorp itu pernah disebut-sebut namanya saat Kejaksaan Agung mengusut kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Nur Alam. Dimana berdasarkan laporan hasil analisis (LHA) Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) data transaksi Nur Alam, perusahaan tersebut pernah mentransfer uang sebanyak empat kali ke perusahaan asuransi ternama yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh bank plat merah Nasional. Adapun nilai transfernya  yakni mencapai hingga US$4,5 juta. Transaksi tersebut dilakukan lewat salah satu Bank Komersial di Hongkong.

Dalam kasus ini, Nur Alam di duga melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai Gubernur Sultra untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan atau korporasi. Sampai saat ini, Nur Alam diketahui sudah mengeluarkan tiga Surat Keputusan (SK), ketiga SK tersebut adalah SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT AHB selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.

Atas tindakan yang diduga dilakukannya, Nur Alam dijerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (Restu)

 

Exit mobile version