Kontroversi Surat Edaran Plt. Gubernur Aceh Tentang Pelarangan Ceramah Diluar Paham Ahlul Sunnah Waljamaah

Kontroversi Surat Plt. Gubernur
Kontroversi surat edaran Plt. Gubernur Aceh/foto: istimewa

NUSANTARANEWS.CO, Aceh – Kontroversi Surat Edaran Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengenai larangan mengadakan pengajian selain Ikhtikad Ahlul Sunnah Waljamaah di Bumi Serambi Mekkah yang ditujukan kepada para Bupati/Wali Kota, Kepala SKPA, dan Kakanwil Kementerian/Non Kementrian di Wilayah Pemerintahan Aceh – kini sedang viral di media sosial.

Pantauan Nusantaranews.co di lapangan melihat bahwa “Surat Edaran” tersebut telah menuai kontroversi dalam kehidupan masyarakat Aceh karena bersifat sektarian yang intinya: “Pengajian hanya boleh dilakukan oleh Ikhtikad Ahlulsunnah Waljamaah yang bersumber dari Mazhab Syafi’iyah”.

Latar belakang terbitnya Surat Bernomor 450/ 21770 merupakan tindak lanjut dari implementasi UU No. 44 mengenai Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, UU No. 6 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama, Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Syariat Islam dan Qanun Aceh 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah.

Menurut Yang Mulia, Ulama Muda Aceh Tgk. H.Sulaiman Hasan  yang juga lulusan Alumni Yaman dan Pimpinan Dayah Pasantren, ber- Mazhab Syafi’iyah Ikhtikad Ahlulsunnah Waljamaah menganggap bahwa surat edaran itu sudah tepat dan benar. Bahkan di laman Facebooknya, Tgk. Hasan sebagai tokoh muda Himpunan Ulama Dayah Pidie Jaya menulis, ‘Mari kita jadikan Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah sebagai Pahlawan Ahlulsunnah Waljamaah, tulisnya.

Sementara Ketua Ombudsman Aceh Taqwaddin yang juga tokoh intelektual Muhammadiyah Aceh sangat prihatin dengan keluarnya surat edaran tersebut, karena selain masalah urgensinya, juga ditakutkan akan mengganggu keadilan dan toleransi sesama umat beragama maupun ketenangan ukhuwah islamiah diantara pemeluknya.

“Saya tidak melihat urgensinya Surat Edaran tersebut. Justru surat edaran itu bisa menjadi indikator adanya intoleransi dalam beragama, bukan hanya dengan agama yang berbeda, tetapi juga dengan sesama Agama Islam,” kata Kepala Taqwaddin pada Sabtu (28/12).

Taqwaddin melihat bahwa seharusnya Plt. Gubernur Aceh bisa memberikan pelayanan yang adil bagi seluruh penganut agama yang telah diakui oleh pemerintah, tambahnya.

Di tengah kontroversi yang tidak produktif itu, Haekal Afifa seorang tokoh muda Pemerhati Sosial Budaya dan Keagamaan Aceh berusaha menyejukkan suasana dengan mengatakan bahwa lawan kita adalah Wahhabi.

Dalam laman media sosialnya, Afifa menulis: “Lawan kita itu Wahhabi. Bukan NU bukan Muhammadiyah. Kawan-kawan NU dan Muhammadiyah jangan terjebak, Wahhabi ini licin, dia berlindung dibelakang dua ormas besar itu dengan sejuta wajah. Bahkan dia mampu berlindung dibalik partai ideologis Islam, tulis Afifa, sambil menambahkan, ‘Saya bukan kader NU atau Muhammadiyah, tapi saya memiliki banyak teman di dua organisasi ini. Saya paham mereka bukanlah Wahhabi atau Syiah (yang dituduh ke NU).

Tokoh muda itu juga menuindir OMBUDSMAN Aceh, jangan latah, dan jangan mau dijadikan corông oleh Wahhabi yang bertaqiyyah dibelakang Muhammadiyah atau NU. Menurutnya, di Aceh, tidak ada masyarakat yang beramaliah dengan Mazhab di luar Syafiiyyah. Jika ada, tunjukkan ke saya di mana institusi, kelompok, dayah, kampus, atau apapun namanya yang dengan total dan jelas (bukan Talfiq) bermazhab Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah.

Menutup tulisannya, Afifa berpesan bahwa ada pepatah  Aceh yang berbunyi: “Bek bagah dan bék latah lagée Pengamat Musang Priêk”.(M2)

Exit mobile version