Konflik Dengan PT MA, Dewan Adat Dayak Kaltara Bakal Gelar Ritual Hukum Adat

dayak kalimantan, dayak kaltim, dayak kaltara, hukum dayak, adat dayak, tanah dayak, leluhur dayak;

Konflik Dengan PT MA, Dewan Adat Dayak Kaltara Bakal Gelar Ritual Hukum Adat. (Foto: Edy Santry/NusantaraNews)

NUSANTARANEWS.CO, Malinau – Sejumlah Ketua Adat Dayak se-Kalimantan Utara yang terdiri dari Majelis Dayak Nasional, Dewan Adat Dayak Kabupaten Tana Tidung, Dewan Adat Dayak Kabupaten Malinau dan sejumlah aktivis Dayak lainya mendatangi Mapolres Malinau, Senin (9/4).

Kedatangan mereka bermaksud untuk meminta pembebasan tiga orang warga mereka yakni Kepala Desa Tanjung Nanga Muralis, Sekdes Jemy dan Ketua Adat Udau Ahoi yang ditahan sejak 5 Maret 2018 lalu karena diduga menghentikan beroperasinya empat unit alat berat milik PT Mitrabara Adiperdana terkait sengketa perjanjian fee.

Sekretaris DAD Kalimantan Utara Mikael Pai menuturkan kepada mengecam penahanan yang dilakukan pihak kepolisian atas tiga orang tersebut. Sebab sebelumnya menurut Mikael sudah ada kesepakatan antara Perusahaan PT MA dengan masyarakat adat Dayak di tiga desa Tanjung Nanga, Labanyarit dan Langap tentang pemberian fee sebesar Rp 2.000, per ton.

“Masyarakat Adat Tanjung Nanga menuntut agar pemberian fee ini sesuai dengan kesepakatan, berdasarkan data kubikasi batubara yang dicatat oleh pengawas dari wakil masyarakat adat yang perusahaan diambil di area wilayah adat desa Tanjung Nanga,” ujar Mikael.

Namun menurut Mikael, tiba-tiba perusahaan memasukan kendaraan operator dari wilayah adat desa lain yakni dari PT Kalimantan Prima Persada (KPP) masuk ke wilayah adat desa Tanjung Nanga mengangkut batu bara dari area tsb tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Masyarakat Adat Tanjung Nanga.

Bagi masyarakat adat Tanjung Nanga, lanjut Mikael, masuknya operator PT KPP ke area tambang di wilayah adat Tanjung Nanga tanpa pemberitahuan dan tanpa perundingan terlebih dulu adalah sebuah pelanggran berat terhadap pengakuan hak masyarakat adat yang telah disepakati kedua belah pihak. Sehingga uang Rp 2.000 per ton yang biasa disebut fee itu bukanlah dana bantuan dari perusahaan kepada orang miskin, bukan pula semacam ganti rugi dari perusahaan kepada masyarakat adat.

Mikael menjelaskan bahwa dalam tata nilai hukum ada uang Rp 2.000 per ton itu adalah bentuk ‘pengakuan’ dari perusahaan terhadap hak masyarakat yang ada di tanah dan wilayah yang digarap itu.

“Sekali lagi dalam hukum adat uang Rp 2.000 per ton itu adalah bentuk pengakuan atau rekognisi terhadap hak masyarakat adat yang menempel pada wilayah adat itu sebagai hak bawaan. Karena itu pelaksanaan pengakuan hak ada itu harus hati-hati dan tepat,” paparnya.

Gagal menepati bentuk pengakuan menurut Mikael berarti pengingkaran dan pelecehan hak masyarakat adat. Mikael juga menegaskan bahwa pengingkaran itu sama saja dengan merendahkan martabat dan nilai-nilai suci yang dijaga dan dihormati oleh masyarakat adat secara turun-temurun.

“Pelanggaran terhadap hak adat dan pelecehan terhadap martabat masyarakat adat ini menimbulkan konsekuensi adat yang disebut denda yakni biaya ritual pemulihan kehormatan leluhur dan pemulihan martabat masyarakat adat,” tandasnya.

Mikael berharap bahwa pengingkaran kesepakatan itu terjadi karena ketidaktahuan terhadap nilai luhur adat istiadat masyarakat adat Dayak dan pelecehan dan bukan pula ekspresi arogansi kekuasaan. Oleh karena itu, Mikael menegaskan agar permasalahan tersebut segera diselesaikan melalui dialog kekeluargaan sebagai sesama warga bangsa salam ikatan NKRI.

Namun Mikael juga menegaskan apabila pihak Kepolisian tetap melanjutkan proses hukum terhadap ketiga warga yang ditahan, Dewan Adat dan Majelis Adat Dayak akan menempuh jalur hukum dengan cara praperadilan dan melaporkan permasalahan ini ke Propam Mabes Polri dan Komnas HAM.

“Dewan adat dayak akan melakukan ritual adat atas tindakan perusahaan mengingkari janji terhadap masyarakat dan melapor balik pihak Perusahaan karena telah mengingkari komitmen disepakti bersama,” pungkas Mikael.

Sementara itu pihak Kepolisian melalui Wakapolres Malinau Kompol Edy Budiarto berjanji akan meneruskan tuntutan para ketua Adat Dayak tersebut kepada Kapolres karena ia beralasan bukan sebagai pengambil keputusan.

Pewarta: Eddy Santry
Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version