Khofifah Indar Parawansa, gubernur terpilih Jawa Timur, telah mengikrarkan sebagai bagian tim Jokowi-Ma’ruf Amin. Sejak awal memang Khofifah akan mendukung Jokowi. Pada Pilpres 2014, Khofifah menjadi Juru Bicara (Jubir) Jokowi-JK. Kendaraan Khofifah untuk meraup suara kaum perempuan yakni Muslimat NU. Kehadiran Jokowi di Gelora Bung Karno pada agenda akbar Muslimat kian melegitimasi bahwa Muslimat NU bersama Jokowi-Ma’ruf Amin.
Tema kampanye yang dibawa Khofifah demi meraup dukungan kaum perempuan ialah Aswaja, NKRI, Pancasila dan berhati-hati dengan khilafah. Hal ini disampaikan pada pertemuan Jaringan Santri Nasional untuk kemenangan paslon 01. Tema yang diambil wajar, mengingat beberapa hal itu menjadi isu nasional selama rezim Jokowi. Meski demikian, isu-isu itu kerap menjadi alat pukul lawan politik. Rezim sendiri tidak menyontohkan sebagai subyek yang baik dalam implementasi Aswaja, NKRI dan Pancasila.
Suara kaum perempuan terasa begitu lezat dan nikmat untuk mendulang kemenangan. Pasalnya, kaum perempuan yang merasakan denyut nadi kehidupan menginginkan perubahan. Belum lagi, di tengah kebingungan politik dan manuvernya, perempuan kerap tak tahu apa dan bagaimana seharusnya menentukan sikap. Cenderung mereka anut grubyuk. Pokok’e manut dhuwuran sing penting slamet.
Masyarakat muslim Indonesia selama ini belum pernah diajak berpikir dengan semesta yang agak luas. Jargon Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) masih dimonopoli oleh sebagian kelompok. Padahal, Aswaja itu universal dan siapa saja yang mengikuti manhaj Rasulullah SAW. Klaim-klaim inilah yang menjadikan Aswaja disalah-artikan dan alat pukul kelompok Islam lainnya. Alhasil, beberapa tahun ini Aswaja vs Non Aswaja perseteruannya sengit di semua lini kehidupan dan media.
Satu hal yang patut dipertanyakan; benarkah Jokowi-Ma’ruf Amin akan mampu menjaga Aswaja, NKRI dan Pancasila sebagaimana amanat tim suksesnya? Hal ini perlu diurai lebih detail. Pasalnya, menjaga Aswaja, NKRI dan Pacasila itu berat.
Sayang sekali jika pada akhirnya khilafah dijadikan dagangan kampanye untuk memonsterisasi lawan dan umat Islam. Umat sering diwanti-wanti terhadap ide khilafah yang akan merubah Indonesia dan tidak ingin seperti konflik di Timur Tengah. Ungkapan semacam itu jelas salah dan tidak berdasar.
Ide khilafah sebenarnya masuk dalam kajian Siyasah Islamiyah. Istilahnya sudah familiar dengan pemimpinnya yaitu khalifah. Khilafah merupakan sistem pemerintahan Islam yang mengurusi urusan umat, baik dalam negeri ataupun luar negeri dengan syariah. Rakyatnya yang terdiri dari ragam suku, bangsa dan agama dijamin harta, jiwa dan keamanannya.
Jikalau khilafah dijadikan sebagai bahan kampanye Pilpres 2019 untuk tujuan memonsterisasi, siap-siap rakyat akan menentukan sikap. Pasalnya, khilafah merupakan ajaran Ahlussunah wal Jamaah. Para imam madzhab pun telah sepakat akan adanya seorang khalifah yang mengatur urusan dunia dan agama dengan syariah Islam. Dagangan dengan menjelekkan khilafah untuk menggusur paslon lainnya akan semakin menggerus kepercayaan umat.
Ide dan diskursus khilafah akan semakin menjadi perbincangan publik di tengah kekacauan politik dalam dan luar negeri. Pilpres 2019 pun akan menyitir perihal khilafah. Begitu juga konflik-konflik di wilayah negeri kaum muslim, khususnya Timur Tengah. Hal ini mengindikasikan beberapa hal.
Pertama, khilafah merupakan istilah dalam politik dan kenegaraan. Maka sangat wajar jika dalam komunikasi politik dan kampanye patut diperbincangkan. Apalagi khilafah dianggap sebagai ancaman dalam menggusur dominasi rezim demokrasi dan kapitalis-liberal.
Kedua, khilafah diciptakan sebagai unsur pemantik memojokan umat Islam agar menerima dengan ikhlas ide-ide asing, seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, HAM, sosialisme dan lainnya. Keapriorian umat Islam terhadap khilafah akan menjadi angin segar dalam pengokohan penjajahan pemikiran.
Ketiga, khilafah coba disembunyikan asal muasalnya. Kalau bisa ide dan pemikiran khilafah dihapus dari memori umat Islam. Padahal akar pemerintahan Islam yang mengikuti manhaj kenabian satu-satunya ialah khilafah. Bukan kerajaan, rapublik, kekaisaran, atau lainnya.
Oleh karena itu, di tengah arus kampanye Pilpres 2019, rakyat harus hati-hati dengan penyesatan istilah. Jangan lagi terkecoh mengikuti bujuk rayuannya. Pun demikian, publik saat ini jangan rancu lagi memahami Khofifah, Khalifah dan Khilafah. Jangan salah sebut lagi, Khofifah dengan Khalifah. Khilafah dengan khilafiyah. Sebab kesemua istilah itu memiliki arti dan maksud yang berbeda. Dari sini paham, kan?
Saatnya tentukan sikap. Pastikan pemimpin Indonesia ke depan, sebagai Ahlussunnah wal Jamaah sejati. Tingkahnya meneladani Rasulullah dalam memerintah dan mengambil syariah. Tidak lagi phobia dengan syariah dan khilafah. Hobinya menyatukan rakyat dalam suatu wadah jamaah dan mengurusi kehidupannya. Syukur-syukur amanah, bertaqwa, menepati janji kampanyenya dan ketundukannya hanya kepada Allah semata. Bukan lagi antek atau pemimpin boneka.
Oleh: Hanif Kristianto, Analis Politik dan Media