Kemendesakan (Urgensi) Penghapusan Pajak BUMN Untuk Mengatasi Defisit Migas Dan Transaksi Berjalan

blok migas corridor, ignasius jonan, perpanjangan kontrak, kontrak blok migas, esdm, pertamina, nusantaranews
Pengelolaan Blok Migas. (Foto: Istimewa/energyworld.co.id)

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

NUSANTARANEWS.CO – “Banyak jalan menuju ke Roma”, inilah ungkapan umum yang banyak publik sangat hapal. Kalau dalam bahasanya mantan Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono (yang keenam) adalah berpikir di luar teori buku (out of the books thinking). Tak berkutat hanya pada teori-teori yang belum tentu cocok (compatible) dengan suasana Indonesia walaupun itu dianggap berperan penting memajukan dan mengembangkan Indonesia.

Artinya, terdapat berbagai cara, jalan, langkah dan kebijakan yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia atau dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan kementerian sektor ekonomi lainnya untuk mengatasi permasalahan mendasar perekonomian Indonesia. Terutama dalam hal mengatasi atau mengurangi impor migas yang selama ini berkontribusi menyebabkan defisit migas dan transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) yang semakin melebar. Salah satu yang selalu dikeluhkan oleh Presiden kepada tim ekonomi kabinet yang tak pernah sampai saat ini bisa diatasi melalui koordinasi dan kerjasama kementerian/lembaga terkait, sehingga Presiden menjadi subyek yang selalu dipersalahkan publik.

Memberikan rekomendasi kuota impor, sebagai contoh yang dilakukan oleh Kementerian ESDM melalui Plt Dirjen Migas Joko Siswanto kepada ExxonMobil Lubricants Indonesia pada Hari Rabu 17 Juli 2019, yaitu yang semula adalah 226.100 kiloliter (KL), menjadi 800.320 KL, atau bertambah 574.220 KL, bukanlah cara menjawab keluhan Presiden dengan tepat.

Investasi Pertamina

Rekomendasi impor migas salah kaprah itu tentu tidak akan menghemat anggaran negara, karena harus membeli solar dari luar negeri atau impor yang justru akan membuat tambah melebarnya defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit). Anehnya rekomendasi larangan impor migas yang dibuat sendiri itu justru dilanggar sendiri, ibarat pepatah ini namanya menampar muka sendiri, atau istilah lainnya jeruk makan jeruk.

Dirjen Migas bahkan telah mengetahui bahwa selama ini pasokan solar Pertamina jenis cetane number 48 tercatat berlebih, sehingga badan usaha lain dapat memanfaatkan pasokan dalam negeri. Semestinya badan usaha swastalah yang diperintahkan untuk bernegosiasi dengan pihak Pertamina sebagai pemegang mandat ekonomi konstitusi negara apabila ada spesifikasi solar yang tidak sesuai, mengapa langkah ini tidak dilakukan?

Berdasarkan data yang dipublikasi oleh BUMN, PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Internasional EP, bahwa saat ini memiliki Blok Minyak dan Gas yang dikelola di luar negeri, yaitu di 12 negara, masing-masing: lapangan Menzel Lejmet North (MLN) Aljazair, Gabon, Irak, Italia, Kanada, Kolombia, Malaysia, Namibia, Perancis, Tamzania, dan Venezuela. Dan, untuk kegiatan operasi proyek pengembangan Phase-4 di Aljazair, Pertamina mengklaim mampu mencatatkan efisiensi biaya hingga US$ 16 Juta, serta waktu pengeboran lebih cepat 15-19 hari dari perencanaan.

Selain itu, Pertamina pada Tahun 2018 melalui PT. Pertamina Internasional EP (PIEP) mengalokasikan US$ 110 Juta atau setara dengan kurang lebih (kurs 1 dollar Rp 14.000) Rp 1,54 Triliun untuk meningkatkan produksi dari sumur minyak dan gas bumi (migas) yang dioperasikan di luar negeri. Dan, pada Tahun 2019, Pertamina menaikkan investasi bisnis hulu migasnya di luar negeri sebesar US$ 174 Juta atau setara kurang lebih Rp 2,436 Triliun. Tentu saja dengan memberikan rekomendasi impor migas pada perusahaan swasta PT Exxon Lubricants oleh Dirjen Migas ini, maka investasi dalam jumlah besar Pertamina di luar negeri akan kontraproduktif dalam upaya menutup defisit migas dan membuang dana percuma karena beban Pertamina justru semakin berat.

Padahal, pihak Pertamina mengungkapkan, produksi minyak mengalami kenaikan dari 102 ribu barel per hari (bph) menjadi 112 ribu bph. Untuk produksi gas 300 juta kaki kubik per hari (MMsCFD) naik dari 299 MMsCFD.

Dari produksi minyak tersebut, 8 juta barel minyak dibawa ke dalam negeri, naik dari tahun sebelumnya 6,5 juta barel. Kenaikan produksi tersebut merupakan hasil dari pengembangan lapangan migas.

Minyak yang dibawa pulang ke Indonesia tersebut kemudian akan diolah di fasilitas pengolahan minyak (kilang) dalam negeri. Namun, karena faktor keandalan kilang, Pertamina Internasional EP tidak membawa pulang minyaknya, sebab itu program pembangunan dan peremajaan kilang sangat dinantikan. Sebabnya adalah tidak semua minyak mentah yang dibawa tersebut mendukung upaya peremajaan kilang milik Pertamina, dan ini adalah masalah kebijakan Pemerintah.

Kendala Perpajakan

Selama ini kebijakan perpajakan sangat memberatkan BUMN-BUMN dalam upaya meningkatkan kontribusi bagi perekonomian nasional. Terutama di sektor energu, maka pengenaan pajak kepada Pertamina yang dibebankan untuk produksi minyak mentah milik Pertamina yang dibawa dari luar negeri menjadi penghalang upaya meningkatkan ketahanan energi nasional.

Oleh karena itu, langkah penghapusan bea masuk dan atau pajak lain akan secara cepat mengatasi defisit migas yang saat ini dikeluhkan Presiden.

Pertanyaannya adalah, apa masuk akal (logic and make sense) hasil migas yang diproduksi Pertamina pada perusahaan pengolahannya yang berada di beberapa negara lalu dibawa masuk ke Indonesia dikenakan bea masuk dan pajak? Apakah ini bukan ibarat jeruk makan jeruk juga?

Jika langkah konstitusionalitas penghapusan pajak Pertamina dan BUMN lainnya dilakukan secara cermat dan tepat, maka ini dapat mengurangi defisit migas dan transaksi berjalan secara signifikan. Kebijakan ini jelas semakin menegaskan keberpihakan dan kepatuhan dalam menegakkan perintah Pasal 33 UUD 1945 untuk melindungi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Inilah Pekerjaan Rumah (PR) yang mestinya harus dikerjakan lebih dulu oleh tim ekonomi kabinet diawal pemerintahan Kabinet Kerja, baru kemudian ke penghapusan subsidi BBM yang salah sasaran. []

Exit mobile version