Kembang yang Mencari Wajah

falsafah rindu, hikayat najwa, puisi karya, bj akid, kumpulan puisi, puisi indonesia, nusantaranews
Falsafah Rindu, Hikayat Najwa. (Foto: Istimewa)

Kembang yang Mencari Wajah

Berkali-kali pernikahan Kembang gagal—berkali-kali pula dia patah. Kegagalan yang sering dialaminya disebabkan karena wajah merek yang tidak mirip. Pernah Kembang menjalin hubungan dengan seorang pria, ketika akan melaksanakan akad. Masyarakat mempengaruhi pria itu bahwa hubungan mereka tidak akan langgeng karena mereka tidak mirip. Dan akhirnya pria itu meninggalkan Kembang.

Maklum masyarakat desa Kembang percaya, bahwa jodoh pasti memiliki wajah yang mirip. Dan memang itu benar terjadi. Semua pasangan di sana memiliki wajah yang mirip. Bahkan ayah dan ibu Kembang, mereka bagai pinang dibelah dua. Sedangkan pasangan yang tidak mirip pasti pernikahannya akan kandas di tengah jalan.

Di desa itu, pemuda-pemudi yang seusia dengan Kembang sudah menikah semua. Hanya Kembang yang belum berhasil menikah. Sampai-sampai Kembang dijuluki dengan perawan tua. Cemoohan demi cemoohan mengumpal di hati Kembang, hingga ia putus asa dan tak ingin keluar rumah.

Selama satu bulan Kembang mengurung diri di kamar. Kamar yang gelap dan pengap, sehingga Kembang tak bisa mekar. Dia layu serupa tanaman tak meneguk air seminggu. Berkali-kali Ibu Kembang membujuknya untuk keluar kamar—menghirup udara segar, tapi ajakan itu sama sekali tak digubrisnya.

Pada suatu malam minggu, saat para pemudi di daerahnya keluar dengan jodohnya masing-masing. Kembang membuka jendela kamar, dia pandangi rembulan yang bertengger di atas sana. Dia tersenyum tipis, “kau terlihat tegar meski kau sendiri.”

Kembang membalikkan badannya—tepat di hadapannya ada cermin berbentuk oval lengkap dengan meja rias. Dia melangkah pelan menghampiri cermin tersebut. Dia amati wajahnya sendiri. Wajahnya tampak kusam, matanya cekung dan mempunyai lingkaran hitam.

Rambutnya yang semula hitam lurus menjadi kusut dan kemerahan.

Dengan tangan yang lemas ia membuka laci meja rias tersebut. Kemudian mengambil selembar kertas. Malam itu Kembang bertekad mengambil sedikit demi sedikit bagian wajahnya kemudian dia letakkan di atas kertas. Kembang tak berkutik dari tempat duduknya sebelum wajahnya selesai dia pindah. Hingga fajar menjelang Kembang terlelap di atas wajahnya sendiri.

Keesokan harinya Kembang mandi dan memakai baju yang rapi, tak lupa ia merias wajahnya dan memoles bibirnya dengan gincu sedikit merah. Dia juga ikut sarapan bersama ayah dan ibu. Saat itu Kembang pamit—untuk pergi mencari belahan jiwanya. Mungkin dia—jodoh Kembang—tak ada di desa ini, mungkin ada di desa lain, atau di kota lain. Ayah dan ibu hanya bisa memberi restu, agar Kembang bisa menemukan belahan jiwanya dan yang terpenting mereka bisa segera menyelenggarakan pesta pernikahan. Sehingga istilah perawan tua tak lagi tersemat untuknya.

Kembang melangkahkan kaki dengan mantap—membawa lembaran wajahya sendiri. Dia kelilingi seluruh penjuru kota. Dihampiri setiap orang di jalan, bus, pasar, minimarkaet, alun-alun, taman, bahkan toilet umum—memandangi wajah mereka satu persatu—mempersamakan dengan wajahnya.

Kembang melakukan pencarian itu setiap hari, hingga ia tidak makan, tidak mandi dan tidak tidur. Ia hanya terus berjalan sambil memandangi wajah orang-orang yang ditemuinya. Kembang hanya heran, ke mana jodohnya selama ini? Apakah jodohnya itu belum ingin menikah atau bagaimana, sehingga sulit ditemukan, atau dia memang sedang bersembunyi?

Hampir satu bulan kembang menyusuri jalanan kota, tak seorang pun yang mirip dengan wajahnya. Suatu hari kembang kelelahan berjalan, tubuhnya yang kurus sempoyongan. Dia jatuh pingsan di depan sebuah toko elektronik. Orang yang berkunjung di toko itu langsung berkumpul, melihat Kembang. Salah satu mereka ada yang berkata, “lihat perempuan pencari wajah pingsan, segera hubungi Ambulans.”

Beberapa menit kemudian Ambulans datang, dibawalah Kembang ke rumah sakit terdekat. Pengunjung toko elektronik saling bergunjing tentang Kembang. Ada yang merasa kasihan, ada pula yang mencela: “buat apa keliling kota hanya untuk mencari wajah?.”

****

Di rumah sakit Kembang dirawat di kamar lantai empat—ruangan VIP. Dia dirawat dengan baik di sana. Bajunya pun diganti dengan baju yang bersih. Tak ada satu pasien pun di sana selain Kembang. Perawatnya juga cantik-cantik. Mereka memperlakukan Kembang dengan ramah, seakan melayani putri kerajaan yang sedang sakit.

Beberapa saat kemudian ada seseorang datang membawa setangkai bunga mawar. Dia mengulurkan tangan—menyerahkan bunga mawar itu pada Kembang. Tampak orang itu sangat mirip dengan Kembang. Rambutnya hitam disisir rapi, mempunyai perawakan tegap. Wajahnya pun bersih serta memiliki lesung pipi.

“Kaukah yang kucari selama ini?.”

Laki-lai itu mengangguk, kemudian dia mengajak Kembang turun dari tempat tidur menuju jendela. Di sana dia melihat laki-laki itu melompat—jatuh menimpa mobil yang terparkir di depan gedung. Namun Kembang tak bisa berteriak hanya bisa menatap dengan nanar. Hatinya tersayat, kali ini ia benar-benar gagal.

“Mbak, mbak, bangunlah.” Seorang mengenakan jas putih membangunkan Kembang-Kembang pelan-pelan membuka matanya kemudian mengerjap. Kerongkongannya terasa kering. Dan dia hanya mengeluarkan suara lirih, “air, air.” Orang itu mengambilkan segelas air dan meminumkannya pada Kembang. Kembang belum bisa mengenali wajah di depannya. Matanya masih buram.

Orang itu berkata lagi, “bagaimana keadaan mbak sekarang? Apakah masih pusing?.”

Belum sempat Kembang menjawab, orang itu berkata lagi, “Ow iya, ini kertas yang mbak bawa. Saya rasa wajah di kertas ini mirip dengan wajah kakak saya.”

 

 

 

Tentang penulis:

Sindi Kartika Mahasiswa IAIN Ponorogo. Ketua Laskar Sastra Muda dan pegiat Forum Penulis Muda IAIN Ponorogo. Penulis dapat dihubungi via surel ksindi34@gmail.com, Ig sindikartika21

Exit mobile version