Kembalikan Pers Sebagai Pilar Demokrasi (Part I)

SBY saat menerima Penghargaan Anugerah Prapanca Agung Dari PWI Jatim. Foto Tri Wahyudi

SBY saat menerima Penghargaan Anugerah Prapanca Agung Dari PWI Jatim. Foto Tri Wahyudi

(Opini dan Analisis Pasca Anugerah Prapanca Agung SBY)

Oleh: Ferdinand Hutahaean

Masih terngiang dalam pemikiran tentang pidato Presiden RI Ke 6, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono saat menerima anugerah Prapanca Agung sebagai Bapak Demokrasi dari PWI di Jawa Timur tanggal 29 Maret 2017 yang baru berlalu. Ada penggalan-penggalan kalimat yang penuh penekanan makna, baik penekanan dalam sikap maupun penekanan dalam pertanyaan.

SBY tampak sangat risau dengan situasi demokrasi kita saat ini yang semakin kehilangan ruh demokrasinya dan terlihat sangat resah dengan posisi serta keberadaan pers sebagai Pilar Demokrasi yang meninggalkan posisinya dan menjadi lebih partisan dalam politik dan demokrasi.

Ada beberapa potong kalimat dari rangkaian pidato SBY yang menjadi fokus pemikiran dan analisis saya. Pertama, “Tidak baik saya disebut penakut dan tidak boleh bicara di negeri sendiri. Maka saya terima bicara tentang Demokrasi dan Pers”. Begitulah sepenggal kalimat pertama yang menarik untuk saya, dan mungkin juga bagi banyak orang. Mengapa SBY menyelipkan kalimat “tidak baik saya disebut penakut?”

Pengamatan saya kemudian tertuju kepada Pilkada Jakarta putaran kedua dimana SBY, AHY dan Demokrat memutuskan sikap tidak mendukung salah satu pasangan calon. Sikap itu kemudian menumbuhkan perdebatan di tengah publik. Hingga ada yang menyebut SBY takut dalam bersikap.

Jika merunut peristiwa, tentu sikap itu muncul bukan karena SBY takut, karena andai SBY takut sebagaimana yang digambarkan sekelompok pihak dengan menganalogikan SBY takut kepada penguasa, tentu SBY atas ketakutan tadi pasti mendukung calon yang didukung kekuasaan. Tidak mendukung salah satu pasangan itu juga bukan karena SBY berani, karena ini bukan masalah berani atau takut, tapi masalah menjaga Demokrasi.

Logis bukan? Ternyata SBY memang bukan takut, tapi SBY sebagai negarawan melihat dan membaca peta politik Jakarta yang sudah tidak sehat. Demokrasi hilang dari Jakarta, Demokrasi menjadi unjuk kekuatan menang-menangan bahkan menghalalkan segala cara. Inilah yang mendasari sikap SBY yang ingin selalu menjaga Demokrasi supaya benar-benar ber etika, ber adab dan menjunjung tinggi hak demokrasi rakyat sebagai tuan atas demokrasi.

Kata tidak takut ini juga kemudian diselipkan oleh SBY karena selama ini hampir tidak ada yang berani bicara mengkritik situasi ini secara tepat dan proporsional meski publik sudah banyak mempersoalkan ketidak netralan media. SBY kemudian secara resmi di forum besar memberikan kritik untuk kebaikan demokrasi kedepan. SBY tidak takut kalaupun karena kritiknya kemudian dijauhi media, tapi SBY mengambil resiko demi masa depan demokrasi dan masa depan negara kedepan.

Kedua, “Demokrasi yang rakyatnya sungguh berdaulat, suaranya didengar dan aktif ikut berpartisipasi.” Pernyataan ini juga menarik untuk dicerminkan kepada era kekinian. Pertanyaannya, Apakah pemerintah, penguasa sebagai hasil dari Demokrasi yang kita lakoni masih menempatkan rakyat sebagai subjek yang berdaulat dalam negara? Apakah suara rakyat masih didengar? Apakah rakyat masih berperan aktif dalam negara?. Pertanyaan itu semua tentu bisa kita jawab bersama-sama. Namun kali ini saya ingin menjawabnya dengan pemikiran saya sendiri, bukan mencoba menerjemahkan msksud dan pemikiran SBY.

Saya tidak lagi melihat bahwa rakyat masih berdaulat dalam negara saat ini, tapi rakyat telah hanya menjadi objek demokrasi untuk diambil suaranya, diambil kedaulatannya hingga kedaulatan itu berpindah ke tangan penguasa. Lihatlah  bagaimana rakyat hanya boleh mengeluh tapi tak punya kesempatan untuk ikut menentukan arah bangsa. Kejadian wafatnya ibu Patmi didepan Istana saat demo menolak pabrik semen di kendeng adalah fakta sahih betapa rakyat kehilangan kedaulatannya.

Bersambung…

Editor: Achmad Sulaiman

Exit mobile version