Kecaman ke YLBHI Bukan Masalah Izinnya, Sri Bintang: Tetapi PKI-nya

Sri Bintang Pamungkas/Foto Ucok A/Nusantaranews

Sri Bintang Pamungkas/Foto Ucok A/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aktivis senior Sri Bintang Pamungkas dalam sebuah ulasannya Minggu (17/9/2017) menilai bahwa Trisakti Jokowi yang pertama, kiranya adalah gerakan kebangkitan PKI. Sebagaimana diketahui para simpatisan gerakan itu, kata Sri Bintang mengadakan Pertemuan di YLBHI. Pertemuan yang berlangsung 16-17 September 2017 kali ini, membahas tema tentang pembelaan terhadap para keluarga dan simpatisan PKI dalam Peristiwa G30S 1965.

Para simpatisan ini menyebut dirinya sebagai korban Orde Baru. Kontan, situasi ini kata Sri Bintang memicu ribuan masa anti komunis menggeruduk dan mengecam kegiatan di kantor YLBHI untuk membubarkan pertemuan tersebut.

Ironisnya, pertemuan hari pertama itu dilarang Polda Metro Jaya dengan alasan belum ada pemberitahuan. “Tentu alasan Polda itu salah besar, karena bukan ‘pemberitahuan’ atau ‘ijin’ dari Polri yang menjadi masalah, tetapi PKI-nya! PKI dan segala kegiatannya melalui Tap MPR dilarang negara,” ungkap Sri Bintang.

Maka lanjut Sri Bintang, tentulah Jokowi dalam hal ini dianggap orang yang paling bertanggungjawab. Pasalnya gerakan kebangkitan PKI ini justru muncul kembali dalam periode Jokowi. “Jokowi pun dikaitkan dengan gerakan Cinaisasi, atau gerakan pro-Cina, anti pribumi. Kiranya ini menjadi Trisaktinya Jokowi yang kedua,” sambung dia.

Dirinya menengok tahun 2014 silam, selepas Jokowi dilantik menjadi presiden telah menyampaikan rencananya membangun infrastruktur berupa Tol Laut dan Poros Maritim di Konferensi APEC di Bejing. Jokowi pun ikut menjadi pendiri Bank Pembangunan Infrastruktur Internasional bersama RRC. “Indonesia pun mendapat gelontoran ribuan triliun USD dari RRC. Sampai sekarang tidak kurang dari USD 50 miliar. Belum lagi dana talangan berupa turn key projects,” ungkap Sri Bintang.

Rupanya tol laut dan poros maritim Jokowi ini dianggap sesuai dengan program RRC, One Belt One Road (OBOR), dalam rangka membangun Jalan Sutera Laut untuk menguasai Laut Cina Selatan, dari Pantai Asia Tenggara, Asia Selatan sampai Pantai Afrika Timur.

Parahnya, gelontoran utang luar negeri dari RRC ini justru diikuti oleh program migrasi orang-orang Cina RRC yang disebut sebagai buruh. Buruh-buruh Cina migran itu, selain mengerjakan proyek-proyek infrastruktur dengan dana pinjaman RRC, juga dipersiapkan untuk menjadi buruh yang bekerja di pabrik-pabrik yang mereka kerjakan. “Termasuk menjadi petani-petani untuk sawah dan perkebunan yang mereka buat dengan cara menguasai tanah-tanah negara dan lahan-lahan pertanian penduduk. Semua dilakukan di depan hidung dan mata kepala Jokowi,” tegasnya.

Proyek-Proyek infrastruktur yang didengung-dengungkan itu ternyata sebagian besar adalah berupa pelabuhan-pelabuhan laut dan proyek-proyek pengeboran minyak dan penggalian minerba. Proyek-proyek pelabuhan tol laut itu adalah sebagai batu loncatan atau entry points masuknya Cina-Cina migran RRC ke Indonesia. Sekaligus dengan proyek-proyek lainnya adalah untuk menguras kekayaan alam Indonesia dan mengangkutnya ke RRC lewat pelabuhan-pelabuhan itu. Semua proyek dan utang-utang itu adalah untuk kepentingan RRC.

Terbetiklah berita, bahwa pada 15 Februari 2015, Waperdam Liu Yandong dari RRC dalam ceramahnya di FISIP-UI telah menyampaikan rencananya tentang pertukaran pemuda RRC dan RI sebanyak 10 juta. Tentulah itu bukan pertukaran ‘dua pihak’ melainkan ‘satu pihak’ RRC. “Bagaimana semua ‘perjanjian’ dengan RRC ini terjadi tidak ada yang tahu. Namun yang jelas DPR tidak bergeming, karena sejak Jokowi naik, DPR selalu diobok-obok,” ujarnya.

Pewarta/Editor: Romandhon

Exit mobile version