NusantaraNews.co – Terdapat beberapa warganegara RI “bukan petani” dari kelas menengah atas mengkritik dan mengecam kebijakan Pemerintah ttg perhutanan sosial di Pulau Jawa. Kebijakan itu tertuang di dalam Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Salah seorang pengkritik dan pengecam tsb di antaranya Musikus terkenal dari Kota Bandung.
Mereka mengritik dan mengecam antara lain: akan terjadi “tumpang tindih” pemanfaatan lahan hutan antara fihak pemegang IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) dirancang dalam Permen LHK Nomor P.39 dan fihak mitra kerja Perhutani atau Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lalu, mereka mengaitkan dampak negatif berikutnya, yakni terpicunya konflik horizontal di dalam masyarakat.
Sungguh pemikiran pengkritik dan mengecam Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 ini salah, mengada-ada, berprasangka, apriori, ahistoris dan fiksi. Mengapa?
Pertama, sesuai Pasal 4 Permen LHK Nomor 39 Tahun 2017, lokasi atau wilayah kerja Perhutani yang akan diberikan IPHPS pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan hutan dari atau sama dengan 10 % (sepuluh perseratus) secara terus menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih. Penetapan wilayah kerja ditetapkan oleh Direktur Jenderal yang membidangi planologi kehutanan. Hasil penetapan dimasukkan pada revisi Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Pasal 4 ini menetapkan bahwa lokasi baru bukan di lokasi LMDH. Tidak akan tumpang tindih karena posisi lokasi berbeda.
Kedua, di dalam Bab X Ketentuan Peralihan, Pasal 25 ditetapkan, dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (PHBM) yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang arealnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini (Butir a). Ketentuan ini jelas mengharuskan bagi kondisi tanah hutan negara yang merupakan lokasi LMDH, jika wilayah kerja masih dalam kondisi tutupan lahan yang terbuka dan terdapat tegakkan hutan dari atau sama dengan 10 %, maka harus disesuaikan dengan Permen LHK Nomor P.39. Karena itu bukan “tumpang tindih”, tetapi harus ditataulang sesuai dengan Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini.
Sedangkan bagi PHBM (Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat) yang telah ada sebelum berlakunya Permen LHK P.39 ini yang arealnya di luar ketentuan dalam Pasal 4 dinyatakan tetap berlaku dan selanjutnya pelaksanaannya disesuaikan dengan Ketentuan Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Maknanya adalah bagi lokasi LMDH yang benar-benar kondisi masih “baik”, tidak gundul atau tegakan hutan melebihi 10 %, maka program LMDH terus berlanjut tidak perlu disesuaikan dengan Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017.
Pasal 25 dalam Ketentuan Peralihan ini juga menetapkan, pelaksanaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan di hutan lindung di luar ketentuan Pasal 4 Permen LHK Nomor P.39 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Permen LHK Nomor P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Tidak akan terjadi tumpang tindih dengan program pemberian IPHPS sesuai Permen LHK Nomor P.39. Artinya, pelaksanaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan di hutan lindung dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Permen LHK Nomor P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
Ketiga, Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (PHBM) tetap berlaku dan dievaluasi pelaksanaannya disesuaikan dengan penyusunan NKK (Ketentuan Permen LHK Nomor P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial dan Peraturan Dirjen PSKL Nomor P.18 tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Kesepakatan Bersama).
Tiga alasan ini dapat menyangkal perkiraan atau prediksi sekelompok orang penolak dan pengkritik kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa, yakni akan terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan. Prediksi mereka ini sungguh salah, mengada-ada, berprasangka, apriori, historis dan fiksi.
Sekarang ini program perhutanan sosial versi Permen LHK No.P.39 telah berjalan dalam persiapan antara lain di: 1) Muara Gembong, Jawa Barat; 2) Probolinggo, Jawa Timur; 3) Madiun, Jawa Timur; dan 4) Boyolali, Jawa Barat.
Sebagai sampel, tidak ada terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan antara pemegang IPHPS dan mitra kerja Perhutani yang sudah ada sebelumnya, LMDH. Tidak ada bukti tumpang tindih pemanfaatan lahan sepertimana diprediksi para pengkritik.
Penulis: Muchtar Effendi Harahap (NSEAS)