NUSANTARANEWS.CO, Moskwa – Kebijakan peluncuran rudal nuklir baru Rusia. Presiden Vladimir Putin pada hari Selasa menandatangani kebijakan pencegahan nuklir yang memungkinkan pemerintah menggunakan senjata nuklir dalam menanggapi serangan konvensional yang menargetkan infrastruktur penting pemerintah dan militer negara. Dengan kata lain, Presiden Putin dibolehkan merespon dengan senjata nuklir jika pemerintah memperoleh “informasi yang dapat dipercaya” tentang serangan rudal balistik yang menargetkan Rusia atau sekutunya
Dokumen yang ditandatangani oleh Presiden Putin tersebut, menggantikan dokumen yang telah berusia 10 tahun yang berakhir tahun ini – yang menguraikan jenis-jenis ancaman yang dapat memicu penggunaan senjata nuklir Rusia.
Kebijakan baru ini juga sejalan dengan doktrin militer Rusia ke yang menegaskan kembali bahwa Rusia dapat menggunakan senjata nuklir sebagai respons terhadap serangan nuklir atau agresi yang melibatkan senjata konvensional yang “mengancam keberadaan negara.”
Dokumen itu bahkan menyatakan bahwa Rusia dapat menggunakan persenjataan nuklirnya jika mendapat “informasi yang dipercaya” tentang peluncuran rudal balistik yang menargetkan wilayahnya atau sekutunya yang berdampak melumpuhkan.
Referensi serangan non-nuklir boleh jadi sebagai tanggapan terhadap kelanjutan doktrin Perang Dingin atau “New Cold War” yang dicanangkan oleh Washington – yang menganggap Rusia sebagai musuh. Apalagi fakta dilapangan menunjukkan bahwa NATO telah menumpuk pasukan dan senjata konvensional di sepanjang perbatasan Rusia. Belum lagi aset pertahanan rudal dan senjata berbasis ruang angkasa yang diidentifikasi sebagai salah satu ancaman dalam dokumen baru.
Kremlin juga telah berulang kali menyuarakan keprihatinan tentang penyebaran pasukan dan rudal balistik AS di Eropa, termasuk pasukan sekutu di Baltik, dan latihan NATO di dekat perbatasan Rusia.
Melihat ancaman nyata NATO dan penyebaran pasukan sekutu di sepanjang perbatasannya, Presiden Putin pada akhir tahun 2018 telah memperkenalkan beragam senjata baru yang di klaim membuat pertahanan rudal AS menjadi usang. Seperti rudal hipersonik Avangard yang mampu melesat 27 kali lebih kecepatan suara, dan mampu melakukan manuver menghindari sistem pertahanan rudal musuh dalam perjalanan untuk menghancurkan targetnya. Sistem persenjataan Avangard sudah memasuki dinas pelayanan militer Rusia sejak bulan Desember lalu.
Senjata penghancur dahsyat lainnya adalah drone bawah air Poseidon yang bermuatan nuklir dua mega ton yang dapat melaju dengan kecepatan lebih dari 100 kilometer per jam
Moskwa dan Washington telah menarik diri dari Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF) 1987. Sementara satu-satunya perjanjian pengendalian senjata nuklir AS-Rusia yang masih berdiri adalah perjanjian START Baru, yang ditandatangani pada 2010 oleh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev.
Rusia telah menawarkan untuk memperpanjang START Baru yang akan berakhir pada Februari 2021. Sementara Presiden Trump menginginkan pakta kontrol senjata nuklir baru yang melibatkan Cina. Namun Kremlin menggambarkan bahwa gagasan itu tidak layak karena persenjataan nuklir Beijing masih kecil.
Di Dewan Keamanan, Putin memperingatkan bahwa perjanjian START Baru akan berakhir, “Perjanjian ini menjadi penting bukan hanya untuk kita, tetapi untuk seluruh dunia. ”
Diplomat Rusia mengatakan bahwa Avangard dan persenjataan baru lainnya dapat dimasukkan dalam START Baru jika diperpanjang. (Agus Setiawan)